Syariat Dzikir Pagi dan Sore

Perlu diketahui bahwa di antara dzikir dan doa yang disyariatkan bagi seorang muslim dalam sehari semalam adalah dzikir pagi dan sore, bahkan dzikir jenis ini merupakan dzikir yang terikat dengan waktu yang paling banyak disebutkan dalam dalil-dalil, baik konteks dalil tersebut adalah mendorong seorang muslim mengucapkannya maupun konteksnya menyebutkan macam-macam dzikir yang diucapkan pada dua waktu yang utama ini (pagi dan sore).

Allah Ta’ala berfirman,

وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan sore.”

هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۚ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” (QS. Al-Ahzab: 42-43). Makna Al-Ashiil dalam ayat yang agung ini adalah waktu antara ashar sampai sebelum tenggelamnya matahari.

فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ

Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu sore dan pagi” (QS. Ghafir: 55).

Makna Al-Ibkaar dalam ayat yang agung ini adalah awal hari (pagi), sedangkan makna Al-‘Asiyiyy adalah akhir hari (sore).

فَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ

Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya)” (QS. Qaf: 39).

فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ

Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di sore hari dan waktu kamu berada di waktu pagi hari” (QS. Ar-Rum:17).

Waktu Dzikir Pagi dan Sore

Kapankah dzikir pagi dan sore dilaksanakan? Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَأَنْ أَقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَعَالَى مِنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ : أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَةً مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ ، وَلَأَنْ أَقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللَّهَ مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ : أَحَبُّ إِلَيَّ مَنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَةً

“Aku duduk bersama orang-orang yang berdzikrullah Ta’ala mulai dari (waktu) sholat shubuh hingga terbit matahari lebih aku cintai daripada memerdekakan empat orang budak dari putra Nabi Isma’il. Dan aku duduk bersama orang-orang yang berdzikrullah mulai dari (waktu) sholat Ashar sampai terbenam matahari lebih aku cintai daripada memerdekakan empat orang budak” (HR. Abu Dawud: 3667, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani).

Dari hadits yang agung di atas menunjukkan keutamaan orang yang duduk bersama orang-orang yang berdzikrullah Ta’ala dari shalat shubuh hingga terbit matahari lebih dicintai oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam daripada memerdekakan empat orang budak dari putra Nabi Isma’il alaihis salam, demikian pula disebutkan keutamaan orang yang duduk bersama orang-orang yang berdzikrullah Ta’ala dari shalat Ashar sampai terbenam matahari.

Dalam hadits di atas, nampak petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terkait dengan waktu dzikir pagi dan sore, yaitu pagi hari dimulai dari shalat shubuh hingga terbit matahari, sedangkan sore hari dimulai dari shalat Ashar sampai terbenam matahari.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

الفصل الأول في ذكر طرفي النهار
وهما ما بين الصبح وطلوع الشمس، وما بين العصر والغروب….. وقال تعالى: {وسبح بحمد ربك قبل طلوع الشمس وقبل الغروب} وهذا تفسير ما جاء في الأحاديث: من قال كذا وكذا حين يصبح وحين يمسي، أن المراد به قبل طلوع الشمس وقبل غروبها، وأن محل هذه الأذكار بعد الصبح وبعد العصر.

Pasal Pertama: Penjelasan tentang dzikir dua penghujung hari.

Rentang kedua waktu tersebut adalah antara (masuk waktu) shubuh dan terbitnya matahari, serta antara (masuk waktu)  ashar dan terbenamnya matahari….

Allah Ta’ala berfirman,

وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ

“Bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya)” (QS. Qaf: 39), dan ini merupakan penafsiran dari apa yang disebutkan dalam beberapa hadits bahwasanya “barangsiapa yang mengucapkan begini dan begitu pada pagi dan sore hari…” maksudnya adalah sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, dan waktu (mulai)nya adalah setelah (masuk waktu) shubuh dan setelah (masuk waktu) ashar” (Al-Wabilush Shayyib, 1/93, Syamilah).

Apakah Dzikir Pagi dan Sore Boleh Diucapkan antara Adzan dan Iqamah Shalat Shubuh?

Syaikh Bin Baz rahimahullah dalam website resmi beliau pernah ditanya,

هل الأذكار الواردة في الحديث -أعني أذكار الصباح والمساء- هل هي قبل الصلاة أو بعدها؟

“Apakah dzikir yang ada dalam hadits -yaitu: dzikir pagi dan sore- apakah dzikir tersebut (diucapkan) sebelum shalat atau sesudahnya?”

الأمر موسع قبل الصلاة وبعدها……وأذكار الصباح تكون في أول النهار قبل الصبح أو بعد صلاة الصبح

“Perkara ini luas, (mencakup) sebelum shalat maupun sesudahnya…..dan dzikir pagi bisa (diucapkan) di awal hari sebelum (shalat) shubuh atau setelah shalat shubuh” (http://www.binbaz.org.sa/noor/2563).

Markaz Fatwa Islamweb.net juga menjelaskan bahwa,

فأذكار الصباح يبدأ وقتها الشرعي حسب ما يظهر من تحقق طلوع الفجر….فلا ما نع من أن تقال الأذكار المذكورة بين الأذان والإقامة مع تحقق دخول وقت الصبح

“Yang nampak (dari dalilnya), waktu dzikir pagi yang disyariatkan adalah dimulai dari terbitnya fajar …., maka tidak mengapa dzikir tersebut diucapkan antara adzan dan iqomah, asalkan benar-benar dipastikan telah masuk waktu shubuh.”[1]

Apakah Harus Urut dalam Mengucapkan Dzikir Pagi dan Sore?

Markaz Fatwa Islamweb.net menjelaskan bahwa seorang muslim boleh mengucapkan dzikir pagi dan sore ini dengan cara tidak urut atau disela dengan aktifitas yang bermanfaat lainnya, karena tidak ada dalil yang menunjukkan harus urut dalam mengucapkannya.[2]

Maksudnya seorang muslim boleh dalam mengucapkan dzikir-dzikir pagi dan sore lalu berhenti pada satu lafal -setelah lafal tersebut sempurna diucapkan, lalu ia selingi dengan melakukan aktifitas yang bermanfaat lainnya, misal memasak, bersiap-siap untuk berangkat mencari nafkah, dan selainnya, kemudian ia lanjutkan lagi melengkapi dzikirnya yang terhenti tadi.


_______
 

Daftar Rujukan:

[1]. fatwa.Islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&lang=A&Id=57328

[2] . fatwa.Islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=249280

***

Penulis:
Artikel: Muslim.or.id



Sumber: https://muslim.or.id/29658-keutamaan-dzikir-pagi-dan-sore-1.html

Pertanyaan:


Apa hukum berbuat curang (menyontek) ketika ujian? Saya lihat, banyak mahasiswa yang melakukan kecurangan lalu saya menasehati mereka, tapi mereka malah mengatakan, "Ini tidak apa-apa."

Jawaban:
Curang dalam ujian, ibadah atau muamalah hukumnya haram, berdasarkan sabda Nabi shollallohu 'alaihi wasallam,

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا.


"Barangsiapa mencurangi kami maka bukan dari golongan kami."

Di samping itu, hal tersebut dapat menimbulkan banyak mudharat baik di dunia maupun di akhirat. Maka seharusnya menghindari perbuatan tersebut dan saling mengingatkan untuk meninggalkannya.

Al-Fatawa, Kitab ad-Da’wah, hal. 157, Syaikh Ibnu Baz.

2. Apakah Hadits, "Barangsiapa yang Mencurangi Kami maka Bukan dari Golongan Kami," Mencakup Perkara Ujian?

Pertanyaan:

Saya seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di kota Riyadh, saya perhatikan sebagian mahasiswa melakukan kecurangan dalam ujian, terutama pada sebagian materi yang di antaranya materi bahasa inggris, ketika saya berdialog dengan mereka mengenai hal ini, mereka mengatakan, "Berbuat curang dalam mata pelajaran bahasa inggris tidak haram, sebagian Syaikh telah menfatwakan demikian." Saya mohon penjelasan tentang masalah ini dan fatwa tersebut.

Jawaban:
Telah disebutkan dalam sebuah hadits dari Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda,

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا.


"Barangsiapa yang mencurangi kami maka bukan dari golongan kami."

Ini mencakup semua bentuk kecurangan dalam muamalah dan ujian, mencakup pula materi bahasa inggris dan lainnya. Maka para mahasiswa dan mahasiswi tidak boleh berbuat curang dalam semua materi karena keumuman hadits tersebut. Hanya Allahlah sumber petunjuk.

Al-Fatawa, Kitab ad-Da’wah, hal. 158, Syaikh Ibnu Baz.

1. Dalil Disyariatkannya Tayammum

a. Allah SWT berfirman, “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dan tempat buang air atau rnenyetubuhi wanita, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (Al-Maidah: 6)

b. Rasulullah saw. bersabda, "Bahwasanya debu yang bersih adalah sebagai pembersih bagi orang muslim, walaupun ia tidak mendapatkan air (selama) sepuluh tahun.” (Shahih: Shahih Abu Dawud no: 322, Tirmidzi I: 81 no: 124, Ma’bud I: 528 no: 329. dan Nasa’i I: 171 dengan lafadz yang mirip).

 

2. Sebab-Sebab Yang Membolehkan Tayammum

Dibolehkan bertayamun ketika tidak mampu menggunakan air, baik karena tidak ada air, atau karena dikhawatirkan semakin memburuknya kondisi badan yang sakit atau karena suhu dingin yang mencapai titik maksimum sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits-hadits di bawah ini: 

Dari Imran bin Hushain r.a. ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah saw. dalam satu perjalanan, beliau shalat bersama para sahabat, ternyata, ada seorang sahabat yang mengucilkan diri (dari mereka). Maka kemudian beliau bertanya (kepadanya) ‘Apakah gerangan yang menghalangimu shalat (bersama kami)?’ Jawabnya, ‘Saya Junub dan tidak (ada) air.’ Maka Nabi saw. bersabda, "Hendaklah kamu (bertayammum) dengan debu karena sesunggahnya ia cukup bagimu." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari I: 477 no: 344, Muslim I: 474 no: 682 dan Nasa’i I: 171).

Dari Jabir, berkata, “Kami keluar dalam satu perjalanan, lalu seseorang di antara kami tertimpa sebuah batu sampai melukai kepalanya kemudian ia mimpi basah lalu bertanya kepada para sahabatnya, ‘Apakah kalian mendapatkan rukhshah bagiku untuk bertayammum?’ Maka jawab mereka, ‘Kami tidak mendapatkan rukhshah untukmu, karena engkau mampu menggunakan air. ' Kemudian ia mandi besar sehingga meninggal dunia. Kemudian tatkala kami sampai ke hadapan Rasulullah saw., hal tersebut diinformasikan kepada beliau, maka beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya, maka Allah akan membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya, bila mereka tidak mengetahui. Karena sesungguhnya obat kebodohan hanyalah bertanya. Cukuplah baginya hanya dengan tayammum.” (Hasan: Shahih Abu Daud no: 326 dan ‘Aunul Ma’bud, I; 532 no: 332.) (Dalam riwayat Abu Daud ini ada Ziyadah mungkarah tambahan yang diriwayatkan rawi yang mungkar, yaitu, ‘Dan menahan atau membalut lukanya dengan kain perban, kemudian mengusap di atasnya dan menyiram sekujur tubuhnya. Dalam ‘Aunul Ma’bud 1:535. Syamsul Haq menegaskan “Riwayat yang menghimpun tayammum dengan mandi, hanyalah dinwayatkan oleh Zubair bin Khuraiq. Mengenai rawi ini, di samping ia tidak kuat hafalannya dalam meriwayatkan hadits. Juga berlawanan dengan semua rawi yang meriwayatkan dan Athal bin Abi Rabbah. Karena itu, riwayat yang memuat tayammum dan mandi sekaligus adalah riwayat yang dha’if yang tidak bisa, dijadikan acuan dalam menetapkan hukum.’ Selesai. Karena itu, perhatikan masalah mi sampai halaman selanjutnya)

Dan Amr bin Ash bahwa tatkala ia diutus (oleh Nabi ) dalam peperangan Dzatul Salasil, Ia bercerita. “Pada suatu malam yang dingin, yang suhunya mencapai titik maksimum saya ihtilam(bermimpi), lalu saya khawatir jika mandi saya akan celaka, maka tayammum lalu shalat shubuh dengan rekan-rekanku. Kemudian, tatkala, kami sampai kepada Rasulullah, mereka menceritakan hal tersebut kepada beliau lalu beliau bersabda. “Ya Amr, apakah engkau shalat bersama rekan-rekanmu dalam keadaan junub?” Maka saya jawab, “Aku ingat Firman Allah SWT. (Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian). Kemudian aku bertayamum lalu shalat.” Maka Rasulullah saw. tersenyum dan tidak berkomentar sedikitpun (Shahih: ShahihAbu Dawud: no: 323, al-Fathu Rabbani II: 191 no:16, Aunul Ma’bud I: 530 no: 330 dan Mustadrakul Hakim I: 177).

3. Pengertian Shaid (Debu)

Dalam kamus Lisanul ‘Arab 111:254. Ibnul Manzhur menulis sebagai berikut. “Kata sha’id ( berarti tanah. Ada yang berpendapat ia adalah tanah yang baik ada pula yang mengatakan ia adalah setiap debu yang baik. Di dalam al-Qur’an ditegaskan, “fatayammamu sha’ii-dan thayyiban” Maka bertayammumlah dengan debu yang bersih) .‘Abla Ishaq menyatakan, Sha’id ialah permukaan tanah, maka orang yang hendak tayammum cukup menepukkan kedua tangannya pada permukaan tanah, dan ia tidak perlu ambil pusing apakah pada perrnukaan yang dimaksud terdapat debu ataupun tidak. Karena, shaid bukanlah debu. tetapi ia adalah di permukaan tanah baik berupa debu ataupun lainnya.’ Karena itu, seandainya suatu kawasan seluruhnya berupa padang batu yang tak berdebu kemudian orang yang akan tayammum rnenepukkan tangannya pada permukaan batu itu. maka yang demikian itu baginya sebagai media pembersih jika dia mengusap wajah dengan tepukan itu.” Selesai.

4. Sifat Tayammum/Cara Bertayammum

Dari Ammar bin Yasir r.a., berkata, “(Pada suatu saat) aku junub, lalu tidak mendapatkan air, kemudian aku berguling-guling di atas permukaan tanah lalu shalat, setelah itu kusampaikan hal itu kepada Nabi, beliau kemudian bersabda, “Sebenarnya cukuplah bagimu hanya (berbuat) begini” Yaitu Nabi menepukkan kedua telapak tangannya pada permukaan tanah, kemudian meniup keduanya, lalu Beliau mengusapkan keduanya pada wajah dan kedua telapak tangannya.“( Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari I : 455 no : 347. Muslim I:280 no: 368’ Aunul Ma’bud I: 514 no: 317 dan Nasa’i I: 166).

Kesimpulan: Pada prinsipnya tayammum menduduki posisi wudhu’ maka dihalalkan dengan tayamum apa saja yang dihalalkan dengan wudhu’ dan boleh tayammum sebelum tibanya waktu shalat serta boleh mengerjakan shalat semampunya sebagaimana, boleh shalat dengan wudhu sebanyak raka’at yang dia mau.

5. Hal-Hal Yang Membatalkan Tayammum

Tayammum akan batal dengan apa-apa yang membatalkan wudhu. Tayammum juga batal karena ada air bagi yang bertayamum karena tidak ada air dan karena mampu menggunakan air bagi orang yang bertayamum tidak mampu menggunakan air. Sedangkan shalatnya yang sudah dikerjakan tetap sah tidak perlu mengulanginya.

Dan Abi Sa’id al-Khudri r.a., berkata, "Ada dua orang keluar melakukan safar lalu tibalah waktu shalat sementara keduanya tidak membawa air, maka mereka bertayammum dengan permukaan tanah yang bersih, lalu shalat. Kemudian pada waktu itu mereka berdua mendapatkan air. Kemudian seorang dan keduanya mengulangi wudhu’ dan shalat, sedangkan yang satunya lagi tidak mengulanginya. Kemudian mereka berdua datang kepada Rasulullah saw., lalu menceritakan hal itu kepada beliau. Maka, beliau bersabda kepada orang yang tidak mengulangi (shalatnya), “Engkau telah sesuai dengan sunnah(ku) dan shalatmu sudah cukup bagimu.” Dan kepada orang yang berwudhu’ dan yang mengulangi (shalatnya) beliau bersabda, “Engkau mendapatkan dua pahala.” (Shahih: Shahih Abi Daud 327, ‘Aunul Ma’bud I: 536 no: 334 dan Nasa’i I: 2 13).

Kesimpulan: Barangsiapa yang membalut lukanya dengan perban atau menambal tulangnya yang retak, maka gugurlah kewajiban membasuh anggota wudhu’ yang dibalut atau yang ditambal itu, dan ia tidak harus mengusap di atasnya bahkan ia tidak juga wajib bertayammum. 

Dalil hal ini ialah firman Allah SWT, “Allah tidak (pernah) memikulkan seseorang, melainkan sesuai dengan kadar kemampuannya.” (Al-Baqarah: 286)

Dan sabda Nabi saw., "Apabila aku memerintahkan kalian (melakukan) sesuatu, maka kerjakanlah semampumu.” (Shahih: Mukhtshar Muslim no: 639. Muslim, II: 975 no: 1337. dan Nasa’i V: 110).

Dengan demikian gugurlah berdasar Al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. segala sesuatu yang tidak bisa diemban atau berhak dilaksanakan seseorang. Sedangkan yang berhak menentukan pengganti dan mengusap di atas anggota wudhu’ atau anggota tayammum yang dibalut atau ditampal hanyalah syara’, sementara syara’ menetapkan segala sesuatu hanya dengan ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi saw., padahal keduanya tidak pernah menetapkan pengganti mengusap anggota wudhu’ atau anggota tayammum yang dibalut dan tidak pula menetapkan obat sebagai pengganti membasuh anggota wudhu’ yang tidak mampu dibasuh, maka tertolaklah pendapat yang mengharuskan membasuh atau mengusapnya (al-Muhalla II: 74).

6. Boleh Tayammum Dengan Tembok

Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Saya sendiri dan Abdullah bin Yasar, bekas budak Maimunah, istri Nabi saw. pergi hingga kami sampai di (rumah) Abu Juhaim bi al-Harist bin ash-Shimah al-Anshari. Lalu Abu Juhaim mengatakan, “Nabi saw. datang dari arah Sumur Jamal, lalu Rasulullah bertemu dengan seorang sahabat, kemudian mengucapkan salam kepadanya. Namun Nabi saw. belum menjawabnya sebelum mendekat ke tembok, (setelah menepukkan kedua telapak tangannya pada tembok)”. Lalu beliau mengusap wajahnya dan kedua tangannya, kemudian menjawab salamnya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari I:441 no:337, Muslim I:281 secara mu’allaq, ‘Aunul Ma’bud I:521 no:325 dan Nasai’i I:165). 

(Baik yang terbuat dari tanah ataupun dari batu, dipolesi minyak ataupun tidak. Demikian menurut fatwa Syaikh kami al-Albani hafizhahullah dan beliau berkata, “Dan Allah tidak lupa.”) 

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 116- 122.

بسم الله الرحمن الرحيم

Masihkah Kita Meremehkan Shalat?

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut pembahasan tentang kedudukan shalat dalam Al Qur’an dan diulang-ulangnya ibadah ini di dalamnya yang menunjukkan tingginya kedudukan shalat dalam Islam -belum yang disebutkan dalam hadits-,    semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Kedudukan Shalat Dalam Al Qur’an

Tahukah engkau isi wahyu yang diterima Nabi Musa ‘alaihis salam saat mendatangi lembah suci bernama Thuwa; untuk menerima perintah yang besar dari Allah Azza wa Jalla? Inilah isi wahyunya,

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي (14)

“Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Qs. Thaha: 14)

*******

Tahukah engkau, di saat kapan datang berita akan lahirnya anak dari Nabi Zakariya setelah ia lanjut usia, di samping keadaan istrinya yang mandul? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَنَادَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَى

“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedangkan ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya), "Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya.” (Qs. Ali Imran: 39)

*******

Tahukah engkau apa ucapan kaum Nabi Syu’aib ‘alaihis salam saat Beliau melarang mereka berbuat syirik dan melarang mereka merusak ekonomi masyarakat. Ini ucapan mereka,

يَا شُعَيْبُ أَصَلَاتُكَ تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ

“Wahai Syu'aib! Apakah shalatmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang Kami berbuat apa yang kami kehendaki terhadap harta kami. “ (Qs. Huud: 87)

Bukankah ayat di atas menunjukkan, bahwa shalat merupakan ciri khas orang-orang yang mengadakan perbaikan, dan bahwa shalat merupakan ibadah yang mereka agungkan?

*******

Tahukah engkau, apa doa yang dipanjatkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam saat meninggalkan keluarganya di padang pasir yang kering? Inilah doanya,

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ

“Wahai Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Wahai Rabb Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat.” (Qs. Ibrahim: 37)

*******

Tahukah engkau, apa yang membuat Nabi Sulaiman ‘alaihis salam rela mengorbankan kuda-kuda pilihannya? Karena kuda-kuda itu membuatnya terlambat melakukan shalat Ashar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

إِذْ عُرِضَ عَلَيْهِ بِالْعَشِيِّ الصَّافِنَاتُ الْجِيَادُ (31) فَقَالَ إِنِّي أَحْبَبْتُ حُبَّ الْخَيْرِ عَنْ ذِكْرِ رَبِّي حَتَّى تَوَارَتْ بِالْحِجَابِ (32) رُدُّوهَا عَلَيَّ فَطَفِقَ مَسْحًا بِالسُّوقِ وَالْأَعْنَاقِ (33)

“(ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore,--Maka ia berkata, "Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan."--"Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku". Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu.” (Qs. Shaad: 31-33)

*******

Tahukah engkau, apa perintah Allah kepada Nabi Isa ‘alaihis salam saat ia masih dalam buaian? Ini wasiatnya,

وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا (31) وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا (32)

“Dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;--Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (Qs. Maryam: 31-32)

*******

Bahkah saking agungnya ibadah ini ‘Shalat’ Allah memerintahkan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun beserta kaumnya untuk tetap menjaganya di saat mereka ditindas oleh Fir’aun,

وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَنْ تَبَوَّآ لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَاجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya, "Ambillah olehmu berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat shalat dan dirikanlah olehmu shalat serta berikanlah kabar gembira orang-orang yang beriman." (Qs. Yunus: 87)

*******

Tahukah engkau apa perintah Allah kepada orang-orang mukmin dalam menghadapi situasi yang genting,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ (153)

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Qs. Al Baqarah: 153)

*******

Tahukah engkau, apa ibadah yang harus dijaga baik ketika sebagai mukim maupun sebagai musafir, baik ketika aman maupun suasana mencekam? Itulah shalat. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (238) فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (239)

“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa (Ashar). Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.--Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (Qs. Al Baqarah: 238-239)

*******

Tahukah engkau, ciri dan sifat orang-orang yang beruntung yang Allah tetapkan? Dia berfirman,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى (14) وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى (15)

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan dirinya,--Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu Dia mendirikan shalat.” (Qs. Al A’laa: 14-15)

*******

Tahukah engkau, bahwa shalat yang lima waktu ini diwajibkan di atas langit ketujuh saat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan israa dan mi’raj? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى (10)

“Lalu Dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan.” (Qs. An Najm: 10)

Di antara yang Allah wahyukan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kewajiban melaksanakan shalat yang lima waktu.

*******

Tahukah engkau, bahwa ibadah ini tidak boleh ditinggalkan, sehingga Allah tetap mewajibkan shalat meskipun dalam kondisi perang? Sehingga turun ayat berkenaan tatacara pelaksanaan shalat khauf (ketika suasana perang), Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. “ (Qs. An Nisaa’: 102)

*******

Tahukah engkau, apa ancaman Allah kepada mereka yang menyia-nyiakan shalat dan menundanya hingga tiba waktu berikutnya? Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan,” (Qs. Maryam: 59)

*******

Tahukah engkau, di mana Allah menempatkan orang-orang yang meninggalkan shalat di akhirat nanti? Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ (42) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ (43)

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?"--Mereka menjawab, "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (Qs. Al Muddatstsir: 42-43)

*******

Jika semua ayat yang kami sampaikan belum cukup untuk mendorongmu untuk mendirikan shalat, maka kami katakan,

مَنْ أَرَادَ حُجَّةً فَالْقُرْآنُ يَكْفِيْهِ ، وَ مَنْ أَرَادَ مُغِيْثًا فَاللهُ يَكْفِيْهِ ، وَ مَنْ أَرَادَ وَاعِظًا فَالْمَوْتُ يَكْفِيْهِ ، وَ مَنْ لَمْ يَكْفِهِ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ فَإِنَّ النَّارَ تَكْفِيْهِ، قَالَ تَعَالَى :" أَلَيْسَ اللهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ"

“Barang siapa yang menginginkan hujjah (alasan) yang kuat, maka Al Qur’an sudah cukup baginya. Barang siapa yang hendak mencari pelindung, maka Allah sudah cukup baginya. Barang siapa yang hendak mencari penasihat, maka kematian sudah cukup baginya. Dan barang siapa yang merasa tidak cukup dengan semua itu, maka neraka sudah cukup baginya. Allah Ta’ala berfirman, “Bukankah Allah yang mencukupi hamba-hamba-Nya?”

Jika Anda ingin mengetahui kedudukan shalat sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, lihat risalah kami di sini: http://wawasankeislaman.blogspot.co.id/2012/02/kedudukan-shalat-dalam-islam.html

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘Alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam

Marwan bin Musa

Bersuci dan Shalat Orang Yang Sakit

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya semua. Amma ba’du:

Pengantar

Di antara bukti tingginya kedudukan shalat  dalam Islam dan pentingnya adalah diwajibkannya ibadah ini meskipun seseorang dalam keadaan sakit, betapa pun berat sakit, tentunya hal ini disesuaikan dengan kemampuannya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (Terj. QS. At Taghaabun: 16)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"صَلِّ قَائِمًا, فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا, فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ"

“Shalatlah sambil berdiri, jika tidak mampu, maka sambil duduk dan jika tidak mampu, maka sambil berbaring.” (HR. Bukhari dari Imran bin Hushshain)

Hadits di atas menunjukkan bahwa shalat fardhu tidak dilakukan sambil duduk kecuali ada uzur, yaitu tidak mampu (berdiri), termasuk pula orang yang khawatir mendapatkan bahaya berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Wa maa ja’ala ‘alaikum fid diini min haraj” (artinya: Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak mengadakan kesempitan dalam agama ini (Al Hajj: 78)). (Lihat Subulus Salam 2/204)

Dalam Subulus Salam juga diterangkan, bahwa hadits tersebut tidak menerangkan cara duduknya, namun kemutlakannya menghendaki sahnya dengan cara bagaimana pun yang dikehendaki orang yang shalat, dan inilah yang dipegang oleh jamaah para ulama. Al Haadiy dan lainnya berpendapat, bahwa sebaiknya ia duduk bersila dengan menaruh kedua tangannya di atas kedua lututnya. Demikian pula seperti itu ulama madzhab Hanafi. Adapun Zaid bin ‘Ali dan jamaah para ulama berpendapat bahwa duduknya seperti duduk tasyahhud. Ada yang berpendapat, bahwa perselisihannya adalah tentang yang paling utama dalam hal cara duduknya. Al Haafizh dalam Fathul Bari berkata, “Diperselisihkan tentang (duduk) yang paling afdhal, menurut imam yang tiga adalah bersila[i]. Ada pula yang berpendapat duduk iftirasy, dan ada pula yang berpendapat duduk tawarruk (seperti pada tasyahhud akhir), dan pada masing-masingnya ada haditsnya.”

Sebelum membahas lebih lanjut cara shalat orang yang sakit, maka di sini akan kami terangkan cara bersuci orang yang sakit.

Bagaimanakah orang yang sakit bersuci?

  1. Orang yang sakit wajib bersuci dengan air. Oleh karena itu, ia harus berwudhu’ karena hadats kecil dan mandi karena hadats besar.
  2. Jika ia tidak sanggup bersuci dengan air karena ketidaksanggupannya, atau takut bertambah sakitnya atau bertambah lama sembuhnya, maka ia bertayammum.
  3. Cara tayammum adalah ia tepuk bumi yang suci dengan kedua tangannya sekali tepuk, lalu ia usap seluruh mukanya, kemudian ia usap kedua telapak tangannya yang satu dengan yang lain.
  4. Jika ia tidak sanggup bersuci sendiri, maka orang lain yang mewudhukannya atau mentayammumkannya.
  5. Jika pada sebagian anggota badan yang harus dibasuh terdapat luka, maka ia basuh dengan air. Tetapi jika membasuh dengan air membuatnya sakit, maka ia usap saja, yaitu ia basahkan tangannya dengan air, lalu ia jalankan tangannya ke atasnya, tetapi jika mengusapnya malah membuatnya sakit, maka ia mentayammumkannya.
  6. Jika pada salah satu anggota badannya ada yang patah yang diikat dengan kain atau digip, maka ia usap atasnya dengan air sebagai ganti dari membasuhnya, dan tidak perlu bertayammum, karena mengusap merupakan ganti dari membasuh.
  7. Boleh bertayammum ke dinding atau ke atas sesuatu yang suci yang memiliki debu. Tetapi jika dindingnya dicat, maka ia tidak boleh bertayammum kepadanya kecuali jika ada debunya.
  8. Jika tidak memungkinkan bertayammum ke bumi, dinding atau sesuatu yang lain yang memiliki debu, maka tidak mengapa diletakkan tanah dalam sebuah wadah atau sapu tangan, dimana ia bertayammum darinya.
  9. Apabila ia bertayammum untuk shalatnya dan masih di atas kesuciannya sampai waktu shalat berikutnya, maka ia (boleh) melakukan shalat itu dengan tayammum pertama, dan tidak perlu mengulangi tayammumnya untuk shalat kedua, karena ia senantiasa di atas kesuciannya dan tidak menemukan sesuatu yang membatalkannya.

10.Orang yang sakit wajib membersihkan badannya dari najis. Jika tidak bisa, maka ia tetap shalat di atas keadaannya itu dan shalatnya sah tidak perlu diulangi.

11.Orang yang sakit wajib shalat dengan pakaian yang suci. Jika pakaiannya bernajis, maka wajib dicuci atau diganti dengan pakaian yang suci. Tetapi jika, tidak mungkin melakukannya, maka ia tetap shalat dalam keadaannya, dan shalatnya sah tanpa perlu diulangi.

12.Orang yang sakit wajib shalat di atas sesuatu yang suci. Jika tempatnya bernajis, maka wajib ia cuci atau ia ganti dengan sesuatu yang suci atau ia taruh di atasnya sesuatu yang suci. Tetapi, jika tidak mungkin, maka ia tetap shalat dalam keadaannya dan shalatnya sah tanpa perlu diulangi.

13.Tidak boleh bagi orang yang sakit menunda shalat sampai habis waktunya karena tidak bisa bercuci, bahkan ia harus bersuci dengan yang bisa dilakukan, lalu shalat pada waktunya meskipun badannya, pakaiannya atau tempat shalatnya masih ada najis yang ia tidak sanggup membersihkannya (lihat risalah Kaifa yatathahharul mariidh wa yushalli oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah).

Faedah:

Orang yang tertimpa beser dan tidak sembuh setelah diobati, maka ia harus berwudhu’ untuk setiap shalat setelah masuk waktunya, dan ia basuh sesuatu yang menimpa badannya, dan ia pakai pakaian yang suci jika tidak menyulitkannya. Jika ternyata menyulitkan, maka dimaafkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Wa maa ja’ala ‘alaikum fid diini min haraj” (artinya: Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak mengadakan kesempitan dalam agama ini (Al Hajj: 78)). Dan hendaknya ia menjaga dirinya agar kencingnya tidak menyebar ke pakaiannya, badannya atau tempat shalatnya (lihat Ahkaam Shalaatil Mariidh oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz).

Bagaimanakah orang yang sakit melakukan shalat?

  1. Orang yang sakit wajib melaksanakan shalat fardhu dengan berdiri, meskipun bersandar ke dinding atau ke tiang atau dengan tongkat.
  2. Jika tidak sanggup shalat berdiri, hendaklah ia shalat sambil duduk. Pada waktu berdiri dan ruku' sebaiknya duduk bersila, sedangkan pada waktu akan sujud, sebaiknya dia rubah duduknya menjadi iftirasy (seperti duduk ketika tasyahhud awal) agar bisa melakukan sujud dengan sempurna.
  3. Jika tidak sanggup shalat sambil duduk, boleh shalat sambil berbaring, bertumpu pada sisi badan kanan menghadap kiblat. Dan bertumpu pada sisi kanan lebih utama daripada sisi kiri. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap ke kiblat, boleh menghadap ke mana saja dan tidak perlu mengulangi shalatnya.
  4. Jika tidak sanggup shalat sambil berbaring, ia boleh shalat sambil terlentang dengan menghadapkan kedua kaki ke kiblat. Yang lebih utama yaitu dengan mengangkat kepala sedikit untuk menghadap kiblat. Jika tidak bisa menghadapkan kedua kakinya ke kiblat, dibolehkan shalat menghadap ke mana saja.
  5. Orang sakit wajib melaksanakan ruku' dan sujud. Jika tidak sanggup, cukup dengan membungkukkan badan pada waktu ruku' dan sujud, dan ketika sujud hendaknya lebih rendah dari ruku'. Jika sanggup ruku' saja dan tidak sanggup sujud, dia boleh ruku' saja dan menundukkan kepalanya saat sujud. Demikian juga sebaliknya, jika dia sanggup sujud saja dan tidak sanggup ruku', dia boleh sujud saja dan ketika ruku' dia menundukkan kepala.
  6. Jika tidak mampu berisyarat dengan kepala di waktu ruku’ dan sujud maka boIeh berisyarat dengan mata, yaitu dengan memejamkan mata sedikit ketika ruku' dan dengan memejamkan lebih kuat ketika sujud. Adapun isyarat dengan telunjuk, seperti yang dilakukan sebagian orang yang sakit adalah keliru.
  7. Jika tidak sanggup shalat berisyarat dengan kepala atau berisyarat dengan mata, hendaknya ia shalat dengan hatinya, ia bertakbir, membaca Al Qur’an dan berdzikr shalat lainnya, dia berniat ruku' ketika ruku’, berniat sujud dan sebagainya. Masing-masing orang akan diberi pahala sesuai dengan niatnya.
  8. Orang yang sakit wajib melaksanakan shalat setiap shalat pada waktunya dan melakukan semua yang bisa dia lakukan berupa perbuatan yang wajib di dalamnya. Jika ia kesulitan melakukan setiap shalat pada waktunya, maka ia boleh menjama’ (menggabung) antara shalat Zhuhur dengan Ashar, serta shalat Maghrib dengan Isya, baik dengan jamak taqdim (di waktu shalat yang pertama) maupun dengan jamak ta’khir (di waktu shalat yang kedua) sesuai yang mudah baginya. Adapun shalat Subuh, maka tidak bisa dijama’ dengan shalat sebelumnya maupun sesudahnya.
  9. Jika orang yang sakit sebagai musafir yang sedang berobat di negeri lain, maka ia mengqashar shalat yang berjumlah empat rakaat menjadi dua rakaat sampai ia kembali ke negerinya, baik safarnya lama atau sebentar.

Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraaji’: Subulus Salam (Imam Ash Shan’aani), Nailul Awthar (Imam Asy Syaukani), Kaifa yatathahharul mariidh wa yushalli (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin), Ahkaam Shalaatul Maridh (Syaikh Ibnu Baz), Modul Fiqh SD (penyusun), Tuntunan Shalat Menurut Al Quran dan Hadits (Syaikh Abdurrahman Al Jibrin) dll.

 

[i] Para ulama berkata, “Sifat bersila adalah dengan menjadikan bagian bawah kaki kanannya di bawah pahanya yang kiri dengan tenang, dan kedua telapak tangan di atas kedua lututnya dengan membuka jari-jarinya seperti orang yang ruku’ (Subulus Salam 2/149).

Mengenal Kaidah Fiqih Yang Lima

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut pembahasan ‘Kaidah Fiqih Yang Lima’, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Ta’rif (definisi) Qawaid Fiqhiyyah

Qawa’id Fiqhiyyah artinya kaidah-kaidah fiqih. Menurut Tajuddin As Subkiy, bahwa Qawa’id Fiqhiyyah adalah kaidah kulli (umum), dimana masalah-masalah juz’iyyah (bagian/parsial) yang begitu banyak masuk ke dalamnya, yang daripadanya diketahui hukum-hukum juz’iyyah (Al Asybah wan Nazhair 1/11 karya Tajuddin Abdul Wahhab As Subkiy).

Perbedaan Antara Ushul Fiqih dan Qawa’id Fiqhiyyah

Ushul Fiqih membahas tentang dasar-dasar atau jalan secara garis besar yang dibutuhkan oleh Ahli Fiqih untuk memperoleh hukum-hukum furu seperti ‘hukum asal perintah adalah wajib kecuali ada dalil yang memalingkannya’, ‘hukum asal larangan adalah haram’, dst. Sedangkan kaidah fiqih adalah pengelompokkan hukum-hukum furu (cabang/fiqih) yang bermacam-macam ke dalam satu wadah ‘kaidah yang kulli (umum)’ yang mencakup seluruh masalah furu tersebut.

Faedah Mempelajari Ilmu Qawaid Fiqhiyyah

Prof. Dr. T.M Hasbi As Shiddieqy dalam bukunya ‘Pengantar Hukum Islam’ menyatakan,

“Tak dapat diragukan, bahwa seseorang yang hendak berijtihad memerlukan kaidah-kaidah kulliyyah (umum) yang perlu dipedomani dalam menetapkan hukum. Ulama-ulama Ushul berkata, “Apabila kaidah-kaidah kokoh terhunjam di dalam dada, mudah dan lancarlah lidah-lidah menuturkan furu (hukum fiqih).”

Para ulama terdahulu mengatakan,

مَنْ رَاعَى الْأُصُوْلَ كَانَ حَقِيْقًا بِالْوُصُوْلِ وَمَنْ رَاعَى الْقَوَاعِدَ كَانَ خَلِيْقًا بِإِدْرَاكِ الْمَقَاصِدِ

“Barang siapa yang memperhatikan (memahami dan mengikuti) ilmu ushul fiqih, tentu ia akan sampai kepada maksud (hukum-hukum fiqih), dan barang siapa yang memperhatikan kaidah fiqih, tentu dia akan mencapai yang dimaksud (hukum-hukum fiqih).”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

مَنْ ضَيَّعَ الْأُصُوْلَ حُرِمَ الْوُصُوْلُ ، وَمَنْ تَرَكَ الدَّلِيْلَ ضَلَّ السَّبِيْلُ

“Barang siapa yang meremehkan ushul, maka akan terhalang dari mencapai maksudnya (menggali hukum syar'i), dan barang siapa yang meninggalkan dalil, maka akan tesesat jalannya.” (Ad Durar As Sunniyyah fil Kutub An Najdiyyah 5/352).

Mengenal Kaidah Yang Lima

Menurut sebagian ulama, bahwa seluruh masalah fiqih dikembalikan kepada kaedah yang lima berikut ini:

ا- اَلْأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا

  1. Semua perbuatan tergantung niatnya.

2- اَلْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ

  1. Keyakinan tidak dapat disingkirkan oleh keraguan.

3- اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

  1. Kesulitan mendatangkan kemudahan.

4- اَلضَّرَرُ يُزَالُ

  1. Bahaya harus disingkirkan

5- اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ

  1. Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum.

Akan tetapi menurut Imam Izzuddin bin Abdussalam, bahwa hukum fiqih seluruhnya kembali kepada kalimat ini,

اِعْتِبَارُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ الْمَفَاسِدِ

Memperhatikan (mendatangkan) maslahat dan menolak mafsadat (kerusakan/bahaya).

Dalil dan Penjelasan Secara Garis Besar Kaedah Fiqih Yang Lima.

Dalil kaedah no. 1 (Al Umur bimaqashidiha) adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal itu tergantung niat, dan seseorang akan mendapatkan sesuai niatnya.” (Hr. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

Maksud kaedah ini adalah setiap perbuatan manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun antara sesama makhluk ditentukan oleh niat dan tujuan dilakukannya.

Dalam ibadah yang kaitannya dengan Allah Azza wa Jalla, niat adalah rukun, sehingga menentukan sah-tidaknya suatu amal. Sedangkan dalam perbuatan yang kaitannya dengan sesama makhluk, seperti muamalah, munakahah (pernikahan), jinayat (tindak pidana), niat merupakan penentu; apakah perbuatan tersebut mempunyai nilai ibadah atau sebaliknya, dan apakah sebagai perbuatan yang membawa dosa atau tidak.

Niat juga merupakan pembeda antara ibadah yang satu dengan yang lain, seperti ibadah yang fardhu dan yang sunah. Demikian juga merupakan pembeda antara ibadah atau sekedar amal kebiasaan. Ini semua yang membedakannya adalah niat. Dan niat itu tempatnya di hati; bukan di lisan.

Dalil kaedah no. 2 (Al Yaqin laa yuzalu bisy syak) adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berikut,

« إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ

“Apabila salah seorang di antara kamu ragu-ragu dalam shalatnya, ia tidak ingat apakah sudah shalat tiga rakaat atau empat rakaat, maka singkirkanlah keragu-raguan dan dasarilah sesuai yang diyakini.” (HR. Muslim)

Yakin artinya maa kaana tsaabitan bin nazhar wad dalil, yakni sesuatu yang pasti, dengan dasar pemeriksaan atau dengan dasar dalil (bukti). Sedangkan syak (ragu-ragu) artinya adalah keadaan yang tidak pasti, berada di tengah-tengah antara betul atau tidak tanpa bisa dikalahkan salah satunya.

Maksud kaidah kedua adalah bahwa sesuatu yang telah meyakinkan tidak dapat digoyahkan oleh sesuatu yang masih meragukan, kecuali yang meragukan itu naik menjadi yakin.

Contoh penerapan kaedah kedua adalah seorang yang telah berwudhu, kemudian datang keraguan apakah ia telah berhadats, maka dalam hal ini ditetapkan yang telah diyakini, yakni masih ada wudhu dan belum berhadats.

Dalil kaedah no. 3 (Al Masyaqqah tajlibut taisir) adalah firman Allah Ta’ala berikut,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ

“Allah menginginkan kemudahan untukmu dan tidak mengingikan kesulitan.” (Qs. Al Baqarah: 185)

Para ulama menerangkan, bahwa dari kaedah di atas keluar segala bentuk rukhshah atau keringanan. Di antaranya:

Ketika safar, seseorang boleh mengqashar (mengurangi jumlah rakaat dari 4 menjadi 2), boleh berbuka, boleh mengusap khuff lebih dari sehari-semalam, dsb.

Ketika sakit, boleh shalat sambil duduk atau berbaring ketika tidak sanggup berdiri, boleh tayammum ketika berbahaya menggunakan air, boleh berbuka puasa, dsb.

Ketika lupa, bebas dari dosa karena lupa, seperti makan pada waktu puasa Ramadhan, atau salam sebelum selesai shalat, kemudian berbicara dengan sengaja karena mengira shalatnya telah selesai, maka dia tidak batal shalatnya.

Ketika terpaksa (darurat), seseorang boleh memakan makanan yang diharamkan agar dirinya tidak binasa.

Ketika jahil (tidak tahu), seperti berbicara ketika shalat karena tidak tahu hukumnya, maka shalatnya tidak batal.

Ketika sulit atau umumul balwa (keadaan yang sulit dihindari), seperti shalat dengan terkena najis yang sulit dihindari, adanya kotoran burung yang tersebar di masjid, dsb.

Dalil kaedah no. 4 (Adh Dhararu yuzal) adalah hadits,

«لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ»

Tidak boleh membahayakan diri dan orang lain. (Hr. Ibnu Majah, dan dinyatakan shahih lighairih oleh Syaikh Al Albani)

Contoh penerapan kaedah ini dalam masalah muamalah adalah, diperbolehkan mengembalikan barang yang telah dibeli jika ternyata ada cacat. Demikian pula dalam transaksi jual beli karena terdapat perbedaan sifat yang tidak sesuai dengan yang telah disepakati, disyariatkannya hajr (pencegahan melakukan transaksi pada harta) bagi orang yang safih (dungu/kurang akal), anak yatim yang belum cerdas atau orang yang hilang akalnya. Dasar pertimbangan diberlakukan ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk menghindarkan sejauh mungkin madharat (bahaya) yang merugikan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

Dalam masalah jinayat, Islam menetapkan qishas (membalas serupa). Juga ditetapkan hukuman hudud agar tidak terulang lagi perbuatan berbahaya yang dilakukan, adanya kaffarat, mengganti rugi kerusakan, mengangkat para penguasa untuk menumpas para pengacau keamanan dan menindak para pelaku kriminalitas, dsb.

Dalam masalah munakahat (pernikahan), Islam membolehkan perceraian dalam situasi dan kondisi rumah tangga yang sudah tidak teratasi agar kedua suami istri tidak mengalami penderitaan batin terus-menerus. Demikian pula dizinkan faskh (pembatalan pernikahan) karena aib.

Dalil kaedah no. 5 (Al Adah muhakkamah) adalah pernyataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu,

«مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ»

“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), maka hal itu baik pula di sisi Allah.”

Maksud kaidah ini adalah bahwa adat dapat menjadi rujukan hukum dalam beberapa keadaan.

Maksud ‘adat’ menurut para Ahli Fiqih adalah,

عِبَارَةٌ عَمَّا يَسْتَقِرُّ فِي النُّفُوْسِ مِنَ الْأُمُوْرِ الْمُتَكَرِّرَةِ الْمَعْقُوْلَةِ عِنْدَ الطَّبَائِعِ السَّلِيْمَةِ

Istilah untuk sesuatu yang berulang kali yang telah menetap dalam jiwa karena sejalan dengan akal menurut tabiat yang masih sehat.

Berdasarkan definisi di atas, adat merupakan perkara yang berulang-ulang dikerjakan oleh manusia, sehingga melekat pada jiwa, diterima dan dibenarkan oleh akal dan tabiat yang masih sehat.  Adat menjadi hujjah adalah ketika bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syariat. Oleh karena itu, tidak termasuk adat sama sekali hal-hal yang membawa kepada kerusakan, kemaksiatan, dan tidak ada faedahnya sama sekali, seperti muamalah secara riba, berjudi, menyabung ayam, dan sebagainya meskipun perbuatan-perbuatan itu menjadi kebiasaan dan bahkan mungkin sudah tidak dirasakan lagi keburukannya.

Contoh penerapan kaedah di atas adalah tentang usia haidh dan baligh, batas minimal darah haidh dan nifas, lamanya jeda yang bertentangan dengan muwalah (berurutan) dalam wudhu, banyaknya gerakan menurut adat yang dianggap membatalkan shalat, dsb.

Dalam hubungannya dengan kaidah di atas, para Ahli Fiqih menyatakan,

كُلُّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا وَلاَ ضَابِطَ لَهُ فِيْهِ وَلاَ فِي اللُّغَةِ يُرْجَعُ فِيْهِ إِلَى الْعُرْفِ

“Semua yang datang dari syara secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama maupun bahasa, maka dikembalikan kepada uruf (adat yang berlaku).”

Contohnya ukuran nafkah kepada istri dan bentuk ihsan kepada kedua orang tua, serta bentuk silaturrahim.

Catatan:

Setiap lima kaidah yang disebutkan di atas memiliki kaidah-kaidah turunan yang tidak kami sebutkan di sini.

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji’: Al Asybah wan Nazhair (Jalaluddin As Suyuthi), Al Asybah wan Nazhair (Tajuddin As Subkiy), Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih (Drs. Abdul Mujib), Idhahul Qawa’id Al Fiqhiyyah (Abdullah bin Sa’id Al Lahji), http://www.alukah.net/sharia/0/87835/ , dll.