Membaca Surah Al-Baqarah di rumah memiliki keutamaan yang besar dalam Islam, salah satunya adalah mengusir setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa setan akan lari dari rumah yang dibacakan Surah Al-Baqarah, menjadikan rumah tersebut penuh berkah dan perlindungan.

 

Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan)

ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ

Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu

 

Hadits #1018

ِعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ؛ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ البَقَرَةِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menjadikan rumah kalian bagaikan pekuburan. Sesungguhnya setan lari (benar-benar berpaling) dari rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 780]

 

Faedah hadits

  1. Larangan bagi orang hidup untuk menyerupai orang yang telah mati, karena orang mati tidak dapat mengambil manfaat, hukum-hukum, peringatan yang terkandung di dalam surah Al-Baqarah.
  2. Setan lari dari rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah, ia tidak akan mendekatinya malam itu.
  3. Penjelasan mengenai keutamaan surah Al-Baqarah.
  4. Shalat di pekuburan diharamkan.
  5. Tidak boleh menguburkan mayat di dalam rumah secara mutlak, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjadikan rumah sebagai kuburan. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikuburkan di rumah Aisyah adalah kekhususan syariat untuk beliau saja.

Baca juga: Rumah yang Seperti Kuburan

Membaca Surah Al-Baqarah di rumah bukan hanya menjadi sumber keberkahan, tetapi juga menjadi benteng perlindungan dari gangguan setan. Sebagai seorang Muslim, menjaga amalan ini dapat menjadikan rumah kita senantiasa diberkahi dan terhindar dari segala keburukan. Semoga kita semua dapat istiqamah dalam mengamalkannya, sehingga rumah kita selalu dipenuhi dengan cahaya iman dan ketenangan.

Referensi:

Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:218.

 

 

3 Safar 1446 H, 8 Agustus 2024 @ Darush Sholihin

Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com



Sumber https://rumaysho.com/38898-manfaat-membaca-surah-al-baqarah-di-rumah-setan-tak-berani-mendekat.html

 

 

Renungan Surat al-Kahfi (bagian 01)

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Setiap jumat, kita dianjurkan membaca surat al-Kahfi. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan, orang yang membacanya akan mendapatkan cahaya. Dari Abu Said al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ

“Barang siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada malam Jumat, dia akan disinari cahaya antara dirinya dan Ka’bah.” (HR. ad-Darimi  3470 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahihul Jami’, 6471)

Dalam riwayat lain, beliau bersabda,

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ

“Barang siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat, dia akan disinari cahaya di antara dua Jumat.” (HR. Hakim 6169, Baihaqi  635, dan dishahihkan al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 6470)

Bahkan, karena kuatnya pengaruh cahaya yang Allah berikan, orang yang memperhatikan surat al-Kahfi, akan dilindungi dari fitnah Dajjal. Dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ

 Siapa yang menghafal 10 ayat pertama surat al-Kahfi maka dia akan dilindungi dari fitnah Dajjal. (HR. Muslim 1919, Abu Daud 4325, dan yang lainnya)

Surat Pelindung Fitnah

Jika orang yang merenungi surat al-Kahfi terlindung dari fitnah Dajjal – sementara itu salah satu fitnah terbesar – maka berpeluang besar bagi orang yang memahaminya untuk terlindung dari fitnah (ujian) lainnya.

Dalam surat al-Kahfi, terdapat 4 kisah, yang semuanya memberikan pelajaran kita sikap yang tepat dalam menghadapi berbagai macam fitnah (ujian).

Pertama, ujian karena agama à kisah ashabul kahfi yang lari meninggalkan kampung halamannya dalam rangka menjaga imannya.

Kedua, fitnah harta à kisah shohibul jannatain (pemilik dua kebun), yang kufur kepada Tuhannya karena silau dengan dunianya.

Ketiga, ujian karena ilmu à kisah Musa dengan Khidr. Musa diperintahkan untuk belajar kepada Khidr, sekalipun beliau seorang nabi yang memiliki Taurat. Karena di atas orang yang berilmu, ada yang lebih berilmu.

Keempat, fitnah kekuatan dan kekuasaan à kisah Dzulqarnain. Seorang raja penguasa hampir semua permukaan dunia. Kekuasaannya membentang dari ujung timur hingga ujung barat. Namun beliau jadikan kekuasaannya untuk menegakkan keadilan dan syariat bagi seluruh manusia.

Surat Peneguh Hati

Mayoritas ulama mengatakan, surat al-Kahfi Allah turunkan sebelum hijrah. Sehingga surat ini digolongkan sebagai surat Makiyah. Tepatnya, surat ini diturunkan menjelang hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Seolah surat ini menjadi mukadimah, untuk perjuangan besar bagi kaum muslimin, hijrah meninggalkan kampung halamannya, berikut harta dan keluarganya.

Tentu saja, butuh perjuangan yang tidak ringan. Mereka harus siap dengan segala resiko, ketika mereka pindah ke Madinah. Semuanya serba menjadi taruhan. Mempertaruhkan hartanya untuk ditinggal di Mekah. Mempertaruhkan hubunngan keluarganya karena harus pisah di dua negeri yang berbeda. Mempertaruhkan keselamatan jiwa sesampainya di Madinah, yang masih harus bersaing dengan yahudi di sekitarnya.

Allah kuatkan hati mereka dengan kisah:

  1. Ashabul kahfi, mengajarkan bahwa manusia harus mempertahankan agamanya, sekalipun dia harus terusir dari kampung halamannya.
  2. Cerita Shohibul Jannatain (pemilik kebun), mengajarkan agar manusia tidak silau dengan harta, sehingga lebih memilih dunia dan meninggalkan agamanya.
  3. Kisah Musa & Khidir, bahwa orang harus mendatangi sumber ilmu dan hidayah, dimanapun dia berada.
  4. Kisah Dzulqarnain, bahwa bumi ini akan Allah wariskan kepada siapapun yang Allah kehendaki diantara hamba-Nya.

Demikian istimewanya surat ini, hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jadikan sebagai sumber cahaya bagi manusia. Sehingga mereka terhindari dari fitnah Dajjal, fitnah dunia, dan agama. Tentu saja, ini bagi mereka yang berusaha merenungi kandungan isi dan maknanya.

Berikut, kita akan mengkaji beberapa renungan terhadap kandungan surat al-Kahfi,

Pertama, surat ini diawali dengan menetapkan segala pujian untuk Allah. Dan dalam al-Quran, terdapat 5 surat yang diawali dengan bacaan hamdalah: al-Fatihah, al-An’am, al-Kahfi, Saba’, dan Fathir.

Kita memuji Allah dalam semua keadaan, sekalipun makhluknya  sedang mendapatkan ujian dan musibah.

Kedua, bahwa al-Quran adalah sumber ilmu yang lurus tanpa ada sedikitpun yang bengkok.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا ( ) قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya; ( ) sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh

Ketiga, segala kenikmatan dunia hanya hiasan, dalam menguji manusia, siapakah diantara mereka yang tetap berusaha beribadah dan tidak tertipu dengannya.

إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.

Keempat, dai yang ikhlas, bisa saja mendapatkan tekanan batin karena beban berat dakwah. Tak terkecuali, inipun dialami manusia terbaik, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَى آَثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا

Barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka (orang kafir) berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (al-Quran).

Kelima, manusia harus berusaha menyelamatkan agama dan aqidahnya, sekalipun dia harus terusir dari negerinya. Bahkan sekalipun dia harus tinggal di gua dengan segala keterbatasannya.

أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آَيَاتِنَا عَجَبًا ( ) إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آَتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? ( ) (Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”

Keenam, Allah akan memberi tambahan dan kekuatan hidayah bagi orang yanng komitmen dengan kebenaran dan berani menampakkan

وَرَبَطْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَهًا لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا

Kami meneguhkan hati mereka diwaktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran”.

Ketujuh, meninggalkan kemaksiatan belum dinilai sempurna hingga dia meninggalkan pelakunya,

وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ

Apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu

Kedelapan, orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah ganti dengan yang lebih baik. Asahbul kahfi meninggalkan kehangatan kampung halamannya dan keluarganya, Allah ganti dengan kehangatan hidayah dan rahmat dari-Nya.

وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرفَقًا

Apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.

Kesembilan, Allah jaga hamba-Nya yang sholeh, meskipun mereka sedang istirahat. Ashabul kahfi dijaga oleh Allah, sekalipun mereka sedang istirahat di gua. Sehingga tidak ada satupun makhuk yang berani mengganggu maupun membangunkan mereka.

وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا

Kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari merekadengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.

Kesepuluh, tawakkal yang sejati, adalah pasrah kepada Allah setelah berusaha mengambil sebab. Ashabul kahfi membawa uang untuk bekal mereka ketika mereka pergi meninggalkan kampungnya.

قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ

Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu

Allahu a’lam

Bersambung, insyaaAllah…

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)



Referensi: https://konsultasisyariah.com/23665-renungan-surat-al-kahfi-bagian-01.html

Mengenal Kemukjizatan Al Qur’an (1)

 

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut pembahasan singkat tentang kemukjizatan Al Qur’an, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.

Kemujizatan Al Qur’an dari sisi bahasa

Al Qur’an merupakan mukjizat yang kekal, sebaik-baik perkataan, dan memiliki kefasihan pada tingkatan tertinggi, karena memang turun dari sisi Allah yang Mahabijaksana.

Jika kita perhatikan ayat-ayat Al Qur’an, maka seluruhnya bersih dari tanafurul huruf (huruf yang sulit diucapkan) dan tanafurul kalimat (kata yang sulit diucapkan), tidak menyalahi kaidah tata bahasa, dan tidak terdapat kata-kata yang asing.

Para ulama menjelaskan, bahwa Allah Ta’ala mengutus setiap nabi dengan membawa mukjizat yang sesuai dengan kondisi zaman itu. Di zaman Nabi Musa sihir merebak di mana-mana, dan para tukang sihir dimuliakan, maka Allah Ta’ala mengutus Nabi Musa ‘alaihis salaam dengan mukjizat yang membuat mata terbelalak dan membuat heran para tukang sihir, para tukang sihir akhirnya yakin bahwa hal itu dari sisi Allah, mereka pun masuk Islam dan menjadi orang-orang saleh. Di zaman Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam ilmu pengobatan tersebar di mana-mana, maka Allah Ta’ala mengutus Nabi ‘Isa ’alaihis salaam dengan mukjizat yang tidak bisa ditandingi oleh para dokter. Bagaimana mungkin dokter mampu menghidupkan benda mati, mengobati orang yang buta sejak lahir dan yang terkena penyakit sopak. Demikian juga Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah mengutusnya di zaman para fushaha’ (pandai bahasa) dan para syu’araa (ahli syair). Allah Ta’ala memberikan kepada Beliau kitab yang tidak bisa ditandingi oleh siapa pun meskipun jin dan manusia berkumpul untuk membuatnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/45)

Abu Isa Ar Rummani berkata, “Adapun balaghah (sastra), maka ada tiga tingkatan. Ada yang paling tinggi, ada yang sedang, dan ada yang di bawahnya. Yang paling tinggi itulah yang menjadi mukjizat, yaitu balaghahnya Al Qur’an, sedangkan yang berada di bawahnya seperti balaghah para sastrawan. Namun balaghah itu bukan hanya memahamkan makna, karena terkadang dapat difahami juga perkataan dua orang yang berbicara, dimana yang satu fasih, sedangkan yang satu tidak. Demikian juga balaghah bukan hanya mewujudkan lafaz yang sesuai makna, karena terkadang lafaz sudah sesuai dengan maknanya namun jelek dan tidak disukai, membuat jauh dan terlalu menyusahkan diri. Bahkan balaghah adalah menyampaikan makna ke hati dengan tampilan lafaz yang paling indah. Dengan demikian, tingkatan tertinggi balaghah adalah pada Al Qur’an.”

Imam Baihaqi meriwayatkan dalam Dalailun Nubuwwah dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa Al Walid bin Mughirah pernah datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu Beliau membacakan Al Qur’an kepadanya hingga hatinya tersentuh. Berita ini pun sampai ke telinga Abu Jahal sehingga membuatnya mendatangi Al Walid dan berkata, “Wahai paman! Kaummu ingin mengumpulkan harta untukmu.” Al Walid berkata, “Untuk apa?” Ia menjawab, “Untuk memberikannya kepadamu. Karena engkau telah mendatangi Muhammad untuk menentangnya.” Al Walid berkata, “Kaum Quraisy tahu, bahwa aku adalah orang yang paling kaya hartanya.” Abu Jahal berkata, “Katakanlah tentang Muhammad perkataan yang sampai kepada kaummu bahwa engkau mengingkarinya atau membencinya.” Al Walid berkata, “Apa yang perlu aku ucapkan terhadapnya? Demi Allah, tidak ada di antara kalian yang lebih tahu tentang syair daripada diriku, paling tahu tentang syair rajaz dan qasidahnya dibanding aku, serta tidak ada yang lebih tahu tentang syair jin daripada aku. Demi Allah, yang diucapkannya tidak mirip hal itu. Demi Allah, yang diucapkannya itu manis, dihias keindahan, di atasnya berbuah, bagian bawahnya subur, tinggi dan tidak terkalahkan, serta menghantam yang berada di bawahnya.” (Hr. Baihaqi)

Contoh Fasihnya Al Qur’an

Firman Allah Ta’ala,

قِيلَ يَا نُوحُ اهْبِطْ بِسَلَامٍ مِنَّا وَبَرَكَاتٍ عَلَيْكَ وَعَلَى أُمَمٍ مِمَّنْ مَعَكَ وَأُمَمٌ سَنُمَتِّعُهُمْ ثُمَّ يَمَسُّهُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Difirmankan, "Wahai Nuh! Turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) yang bersamamu. Dan ada (pula) umat-umat yang Kami beri kesenangan kepada mereka (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari kami." (Qs. Hud: 48)

Dalam ayat ini diulang huruf mim sampai 16 kali, namun para pembaca Al Qur’an tidak merasakan kesulitan dalam membacanya, dan tidak terasa berat saat disimak.

Contoh lainnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia (Qabil) berkata, "Aku pasti membunuhmu!" Habil menjawab, "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Maidah: 27)

Dalam ayat ini huruf qaaf diulang sebanyak 10 kali, namun para pembaca Al Qur’an merasakan ringan diucapkan padahal sifatnya syiddah (tertahan suara), qalqalah (memantul), jahr (tertahan nafas), dan isti’al (naiknya bagian belakang lisan sehingga menjadi tebal).

Benarlah firman Allah Ta’ala,

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Qs. Al Qamar: 17)

Al Ashmu’i menceritakan, bahwa ia mendengar ucapan seorang budak wanita, lalu ia berkata kepadanya, “Alangkah fasih perkataanmu!” Budak itu berkata, “Apakah ini masih dianggap fasih di hadapan firman Allah Ta’ala,

وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ

“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (Qs. Al Qashas: 17)

Dalam ayat ini Allah Ta’ala menggabungkan antara dua perintah, dua larangan, dua berita, dan dua kabar gembira.

Contoh lainnya adalah firman Allah Ta’ala,

إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (30) أَلَّا تَعْلُوا عَلَيَّ وَأْتُونِي مُسْلِمِينَ (31)

“Sesungguhnya surat itu dari SuIaiman, dan sesungguhnya (isi)nya, "Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.--Bahwa janganlah kamu berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri." (Qs. An Naml: 30-31)

Dalam ayat ini terdapat tiga perkara, dari siapa surat itu, isinya apa, dan kebutuhannya apa?

Keindahan lafaz-lafaz Al Qur’an

Lafaz-lafaz Al Qur’an dipenuhi hiasan lafaz, di antaranya:

  1. Jinas, yaitu dua lafaz yang sama, namun berbeda dalam makna (arti). Jinas ini ada dua macam:

Pertama, Jinas Tam, yaitu samanya lafaz namun berbeda makna. Contoh firman Allah Ta’ala,

وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَا لَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ كَذَلِكَ كَانُوا يُؤْفَكُونَ

“Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; "Mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja)." Seperti itulah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran).” (Qs. Ar Ruum: 55)

Lafaz “ السَّاعَة ” yang pertama maksudnya Kiamat, sedangkan yang kedua maksudnya waktu yang sebentar.

Kedua, Jinas Naqish yaitu adanya kesamaan namun tidak seluruhnya. Contoh firman Allah Ta’ala,

فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ (9) وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ (10)

“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.--Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.” (Qs. Adh Dhuha: 9-10)

Lafaz “ تَقْهَرْ ” dan “ تَنْهَرْ ” ada kesamaan namun tidak seluruhnya.

  1. Saja’, yaitu persesuaian dua fashilah (pemisah) dalam natsar (prosa; bukan syair) pada huruf akhirnya.

Ibnul Qayyim berkata, “Saja’ atau tidak merupakan dua uslub yang dipakai oleh lisan para ahli sastra bangsa Arab dan para oratornya, mereka menyebutkannya tanpa susah payah dan tanpa serampangan. Dalam Al Qur’an ada ayat yang kosong dari saja’ dan ada ayat yang banyak dipenuhi saja’, bahkan sebagian surat dari awal ayat hingga akhirnya dipenuhi saja’ seperti ayat iqtarabatis saa’ah (surah Al Qamar), surah Adh Dhuha, dan Al kautsar, maka fahamilah.”

Akan tetapi saja’ yang disebutkan Al Qur’an tidak seperti saja para peramal atau lainnya, bahkan sebagai saja’ yang mengandung mukjizat yang mengalahkan para sastrawan. Oleh karena itu, Al Qur’an merupakan asas dimana kaidah-kaidah dalam ilmu Balaghah kembali kepadanya.

Contoh betapa tingginya sastra Al Qur’an adalah firman Allah Ta’ala,

أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنْثَى (21) تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى (22)

“Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan?--Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.” (Qs. An Najm: 21-22)

Disebutkan, bahwa Amr bin Ash pernah menjadi delegasi untuk menemui Musailamah Al Kadzdzab sang nabi palsu. Ketika bertemu, Musailamah berkata kepada Amr bin Ash, “Surat apa yang diturunkan kepada kawanmu pada masa ini?”

Amr bin Ash berkata, “Sungguh telah diturunkan kepadanya surat yang singkat namun dalam maknanya.”

“Apa itu?” Tanya Musailamah.

Amr membacakan ayat,

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

Demi masa.--Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,--Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati agar menaati kebenaran dan nasehat menasehati agar menetapi kesabaran.” (Qs. Al ‘Ashr: 1-3)

Lalu Musailamah berfikir sejenak kemudian berkata, “Demikian juga telah diturunkan kepadaku surat semisalnya.”

Amr berkata, “Surat apa itu?”

Ia menjawab, “Yaitu:

يَا وَبْرُ يَا وَبْرُ، إِنَّمَا أَنْتَ أُذُنَانِ وَصَدْرٌ، وَسَائِرُكَ حَفْزُ نَقْزٍ

Wahai marmut! Wahai marmut! Engkau adalah binatang yang memiliki dua telinga dan dada yang besar. Selebihnya badanmu kecil dan jelek.

Musailamah berkata, “Bagaimana menurutmu wahai Amr?”

Amr menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya engkau tahu bahwa diriku menyaksikan bahwa engkau adalah pendusta.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/683) [i]

Kemujizatan Al Qur’an dari sisi berita

  1. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

الم (1) غُلِبَتِ الرُّومُ (2) فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ (3) فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الْأَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ (4) بِنَصْرِ اللَّهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ (5)

“Alif laam Miim--Telah dikalahkan bangsa Romawi[1],--Di negeri yang terdekat[2] dan mereka setelah dikalahkan itu akan menang[3]--Dalam beberapa tahun lagi[4]. Milik Allah-lah urusan sebelum dan setelah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman,--Karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dia Maha Perkasa lagi Penyayang.” (Qs. Ar Ruum: 1-5)

[1] Maksudnya: Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel.

[2] Maksudnya: terdekat ke negeri Arab yaitu Syria dan Palestina sewaktu menjadi jajahan kerajaan Romawi Timur.

[3] Bangsa Romawi adalah satu bangsa yang beragama Nasrani yang mempunyai kitab suci sedang bangsa Persia beragama Majusi, menyembah api dan berhala (musyrik). Kedua bangsa itu saling perang memerangi. Ketika tersiar berita kekalahan bangsa Romawi oleh bangsa Persia, maka kaum musyrik Mekah menyambutnya dengan gembira karena berpihak kepada orang musyrikin Persia. Sedangkan kaum muslimin berduka cita karenanya. Kemudian turunlah ayat ini dan ayat yang berikutnya menerangkan bahwa bangsa Romawi setelah kalah itu akan mendapat kemenangan dalam masa beberapa tahun saja. Hal itu benar-benar terjadi. Beberapa tahun setelah itu menanglah bangsa Romawi dan kalahlah bangsa Persia. Dengan kejadian yang demikian nyatalah kebenaran Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sebagai Nabi dan Rasul dan kebenaran Al Quran sebagai firman Allah.

[4] Waktu antara kekalahan bangsa Romawi (tahun 614-615) dengan kemenangannya (tahun 622 M.) bangsa Romawi kira-kira tujuh tahun.

  1. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Qs. Al Hijr: 9)

Al Qur’anul Karim sejak diturunkan dari sisi Allah belasan abad yang lalu tidak mengalami perubahan karena dijaga kemurniannya oleh Allah Azza wa Jalla.

Di antara bukti penjagaan Allah terhadap Al Qur’an adalah dengan dihapal dan dituliskan Al Qur’an sejak zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam (ketika Al Qur’an masih turun), dibukukan di zaman Abu Bakar radhiyallahu anhu, diriwayatkan secara mutawatir (jumlah yang banyak dari setiap generasi ke generasi dan dari zaman ke zaman) baik maktub (tulisannya) maupun manthuq (pembacaannya), dihafal oleh kaum muslimin dalam jumlah yang sangat banyak sejak zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam sampai sekarang, tetap disebutkan teks asli Al Qur’an berbahasa Arab ketika diterjemehkan ke dalam bahasa lain, adanya tim tashih di berbagai negara yang mengecek kemurnian Al Qur’an ketika Al Qur’an hendak dicetak untuk diperbanyak, dan dibuatnya software dan aplikasi yang memuat Al Qur’an 30 juz baik tulisan maupun suara sesuai perkembangan zaman.

Imam Baihaqi (Dalaailun Nubuwwah 7/159,160) meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Yahya bin Aktsam, ia berkata, “Khalifah Al Ma’mun memiliki majlis penelitian, ketika itu masuk ke majlis tersebut seorang Yahudi dengan pakaian yang indah dan memakai wewangian, lalu ia berbicara dengan fasihnya. Saat majlis itu selesai, maka Al Ma’mun memanggilnya dan bertanya, “Apakah engkau orang Israel (Yahudi)?” Ia menjawab, “Ya.” Al Ma’mun berkata, “Masuk Islamlah, agar aku berbuat sesuatu untukmu,” Al Ma’mun menjanjikan sesuatu untuknya. Ia menjawab, “Aku akan tetap di atas agamaku dan agama nenek moyangku,” maka orang itu pergi. Setelah berlalu setahun, maka ia datang kembali dalam keadaan telah masuk Islam, lalu ia berbicara tentang fiqih dan berbicara dengan fasihnya. Ketika majlis Al Ma’mun selesai, maka Al Ma’mun memanggilnya dan bertanya, “Bukankah engkau kawan kami yang dulu?” Ia menjawab, “Ya.” “Lalu apa yang menyebabkan kamu masuk Islam,” tanya Al Ma’mun. Ia menjawab, “Setelah aku pergi dari tempatmu, aku menguji beberapa agama, dan aku sebagaimana yang engkau lihat adalah orang yang pandai dalam menulis, maka aku coba mendatangi Taurat dan menyalinnya. Aku salin tiga naskah, aku tambahkan dan aku kurangkan, kemudian aku masukkan ke sinagog, lalu Tauratku terjual. Kemudian aku mendatangi Injil dan menyalinnya. Aku salin tiga naskah, aku tambahkan dan aku kurangkan, kemudian aku tawarkan ke gereja, lalu Injilku terjual. Kemudian aku mendatangi Al Qur’an, lalu aku salin tiga naskah; aku tambahkan dan aku kurangkan, kemudian aku tawarkan ke penjual buku, maka mereka menelitinya, dan saat mereka menemukan adanya penambahan dan pengurangan, mereka pun membuangnya dan tidak mau membeli. Dari sana aku pun tahu, bahwa kitab ini adalah kitab yang terpelihara. Inilah sebab yang membuatku masuk Islam.”

Yahya bin Aktsam berkata, “Pada tahun itu aku naik haji dan bertemu dengan Sufyan bin Uyaynah, lalu aku sampaikan kisah itu, maka ia berkata, “Sesuai sekali dengan yang disebutkan dalam kitabullah (Al Qur’an),” aku bertanya, “Di ayat berapa?” Ia menjawab, “Yaitu pada firman Allah Ta’ala tentang Taurat dan Injil, “Disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah,” (QS. Al Maidah: 44); mereka mendapat amanah untuk menjaganya, tetapi malah menyia-nyiakannya. Allah Azza wa Jalla juga berfirman, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz Dzikr (Al Qur’an), dan Kamilah yang menjaganya.” (QS. Al Hijr: 9); Allah menjaga Al Qur’an untuk kita, sehingga tidak akan terlantar.”

Bersambung...

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Penulis), Risalah Ilal Qalbi (Wahid Abdussalam bali), https://ferkous.com/home/?q=rihab-4-13 , dll.

 

[i] Tentang keshahihan kisah ini perlu ditinjau kembali, karena Amr bin Ash telah masuk Islam lebih dulu sebelum Musailamah mengaku sebagai nabi, sedangkan Musailamah mengaku sebagai nabi pada tahun ke-10 H. Ketika itu Amr bin Ash menjadi delegasi kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersama kaumnya pada tahun ke-10 H sebagaimana dalam As Sirah An Nabawiyyah karya Ibnu Hisyam (3/74), sedangkan Amr bin Ash masuk Islam pada tahun ke-8 H menurut pendapat yang shahih sebagaimana disebutkan dalam Al Ishabah karya Al Hafizh Ibnu Hajar (2/3). Dalam Al Ishabah (3/225) disebutkan, bahwa Amr bin Ash pernah diutus Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam ke Bahrain. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat sedangkan Amr berada di sana, dan bahwa Amr pernah bertemu dengan Musailamah, lalu Musailamah memberinya keamanan dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya Muhammad diutus untuk perkara besar, sedangkan aku diutus untuk perkara ringan,” lalu disebutkan hal yang sama dengan kisah di atas. Al Hafizh juga menyandarkan kisah ini kepada Ibnu Syahin dalam Ash Shahabah. Dengan demikian, bahwa kisah tersebut terjadi setelah Amr bin Ash masuk Islam, tidak sebelumnya, wallahu a’lam.(Lihat: https://ferkous.com/home/?q=rihab-4-13)

Eksistensi Martabat Manusia

(Kajian Tafsir Surat At Tiin)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ (1) وَطُورِ سِينِينَ (2) وَهَذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ (3) لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4) ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ (6) فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ (7) أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ (8)

"Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun,--Dan demi bukit Sinai,--Dan demi kota (Mekah) ini yang aman,--Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya--Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),--Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tidak putus-putusnya.--Maka apa yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan setelah (adanya keterangan-keterangan) itu?--Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?" (QS. At Tiin: 1-8)

Kajian mufradat (kosa kata)

Firman Allah Ta'ala "Tin," menurut sebagian mufassir adalah tempat tinggal Nabi Nuh, yaitu Damaskus yang banyak pohon Tin; sedangkan Zaitun adalah Baitul Maqdis yang banyak tumbuh Zaitun. Ada pula yang menafsirkan, bahwa Tin adalah masjid Nabi Nuh 'alaihis salam yang berada di atas bukit Judi. Menurut Mujahid, bahwa Tin di ayat ini adalah buah Tin, sedangkan Zaitun adalah buah yang biasa diperas. Menurut Abu Bakar Al Jaza'iri, bahwa Zaitun adalah buah yang daripadanya dikeluarkan minyak.

Firman Allah Ta'ala "Thursinin" maksudnya bukit Sinai, yaitu tempat Nabi Musa 'alaihis salam menerima wahyu dari Allah Azza wa Jalla.

Adapun maksud firman Allah Ta'ala "Kota yang aman" dalam ayat di atas adalah kota Mekkah, sebagaimana yang dinyatakan Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Al Hasan, Ibrahim An Nakha'i, Ibnu Zaid, dan Ka'ab Al Ahbar. Allah menyatakan bahwa kota Mekkah adalah kota yang aman adalah karena ia adalah tanah haram tidak boleh terjadi peperangan di sana. Oleh karena itu, siapa saja yang mendatanginya, maka ia akan berada dalam keamanan.

Sebagian ulama berkata, "Tempat yang tiga ini, pada masing-masingnya Allah mengutus seorang nabi dan rasul yang termasuk rasul ulul 'azmi para pemilik syariat yang besar."

 

Tempat dimana banyak pohon Tin dan Zaitun adalah Baitulmaqdis, yang di sana Allah Subhaanahu wa Ta'ala mengutus Nabi Isa 'alaihis salam. Di bukit Sinai, Allah Azza wa Jalla berbicara langsung dengan Nabi Musa 'alaihis salam dan mengangkatnya sebagai rasul, sedangkan di kota yang aman (Mekkah), Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan demikian, Allah Subhaanahu wa Ta'ala bersumpah dengan tempat-tempat yang mulia ini, dari tempat yang mulia, lalu ke tempat yang lebih mulia daripada sebelumnya, kemudian tempat yang lebih mulia daripada keduanya.

Firman Allah Ta'ala "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya," maksudnya dalam rupa dan bentuk yang sebaik-baiknya, dengan perawakan yang sempurna dan beranggotakan badan yang indah. Ayat ini dan setelahnya adalah jawabul qasam (isi sumpahnya).

Firman Allah Ta'ala, "Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya," maksudnya adalah neraka, sebagaimana yang dinyatakan oleh Mujahid, Abul 'Aliyah, Al Hasan, Ibnu Zaid, dan lain-lain. Maksud ayat ini adalah setelah penciptaan yang bagus ini dan penampilan yang indah, lalu tempat kembali mereka ke neraka jika mereka tidak taat kepada Allah dan mengikuti Rasul-Nya. Oleh karena itulah, pada ayat setelahnya Allah berfirman, "Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tidak putus-putusnya."

Dengan demikian ayat di atas seperti firman Allah Ta'ala di surat Al 'Ashr ayat 1-3.

Menurut Ibnu Abbas, maksud firman Allah Ta'ala, "Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya," adalah Dia mengembalikan mereka kepada usia yang paling buruk (pikun). Abu Bakar Al Jaza'iriy juga berpendapat demikian, ia berkata, "Yakni kembali kepada usia yang paling buruk sehingga ia pun pikun, dan keadaannya menjadi tidak tahu lagi yang sebelumnya tahu."

Meskipun demikian, menurut Ikrimah, orang yang menghimpun Al Qur'an (menghapalnya), maka tidak akan dikembalikan kepada usia yang paling buruk.

Menurut Al Jaza'iriy ketika menafsirkan ayat di atas, bahwa apa yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman, berupa menjalankan kewajiban dan amalan sunat, semua ketataan dan berbagai bentuk ibadah, maka tidak akan putus pahalanya meskipun mereka telah tua dan tidak sanggup lagi melakukannya secara maksimal ketika telah tua dan pikun, berbeda dengan orang kafir dan fasik, maka mereka tidak memiliki amal yang berlanjut, kecuali mereka yang mencontohkan keburukan, maka dosanya tidak akan berhenti ketika orang-orang mengikutinya.

Firman Allah Ta'ala, "Maka apa yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan setelah (adanya keterangan-keterangan) itu?" kata "kamu" di sini adalah anak cucu Adam (manusia). Sedangkan kata "Ad Diin" adalah hari pembalasan di akhirat. Yakni engkau tahu, bahwa engkau diciptakan sebelumnya, maka yang menciptakan kamu sebelumnya, tentu mampu mengulangi lagi penciptaan lagi setelahnya. Oleh karena itu, atas dasar apa kamu mendustakan hari pembalasan?

Firman Allah Ta'ala, "Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?" Maksudnya bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya yang tidak pernah berbuat zalim, dimana di antara keadilan-Nya Dia mengadakan hari pembalasan, yang di sana orang-orang yang terzalimi dibela-Nya.

Kajian umum tafsir surat At Tiin

Abu Bakr Al Jaza'iriy dalam Aisarut Tafasir berpendapat, bahwa isi sumpah Allah Azza wa Jalla mengandung bukti kekuasaan, ilmu, dan rahmat-Nya, dimana hal ini menghendaki untuk beriman kepada Allah, mentauhidkan-Nya, dan beriman kepada pertemuan dengan-Nya. Inilah yang diingkari oleh penduduk Mekkah ketika itu.

Keadaan manusia yang dicipta dengan bentuk dan rupa yang sebaik-baiknya menunjukan kekuasaan Allah Azza wa Jalla dan ilmu-Nya, dan bahwa Dia mampu membangkitkan manusia yang telah mati.

Hal ini juga menghendaki manusia untuk mensyukuri nikmat yang besar ini. Meskipun begitu, manusia tidak mensyukuri nikmat ini; dia tidak beriman kepada Allah dan tidak mau mengikuti Rasul-Nya, tidak mentauhidkan-Nya dan tidak beriman kepada kebangkitan sehingga Allah Subhaanahu wa Ta'ala mengembalikan dia kepada keadaan yang paling rendah yang sebelumnya mulia.

Kemuliaan manusia di atas makhluk yang lain

Di samping keadaan manusia yang diciptakan Allah dalam bentuk dan rupa yang sebaik-baiknya, Allah Azza wa Jalla juga memuliakan dan melebihkan manusia di atas makhluk lainnya, Dia berfirman,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً

"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak cucu Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan." (QS. Al Israa': 70)

Bayangkan, semua yang ada di bumi, baik hewan maupun tumbuhan, Allah berikan untuk manusia, Dia berfirman,

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً

"Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu." (QS. Al Baqarah: 29)

Nikmat-nikmat Allah terus mengalir kepada manusia siang dan malam, di setiap waktu dan setiap saat dari mulai ia lahir ke dunia hingga meninggalkannya. Kalau seandainya manusia mau menghitung nikmat-nikmat yang Allah berikan, maka mereka tidak akan sanggup menghitungnya. Allah berfirman,

وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ الإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

"Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, kamu tidaklah dapat menjumlahkannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)." (QS. Ibrahim: 34)

Belum lagi dengan nikmat hidayah yang Dia turunkan agar mereka tidak tersesat. Sungguh banyak nikmat yang Allah berikan kepada manusia.

Bahkan, Allah memuliakan manusia sampai pada saat mereka meninggal dunia, Dia berfirman,

ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ

"Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur," (QS. Abasa: 21)

Coba perhatikan, makhluk-makhluk yang lain, banyak yang ketika mati dibiarkan begitu saja tidak dimasukkan ke dalam kubur.

Namun sangat disayangkan sekali, banyak manusia yang tidak bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat yang begitu banyak ini; perintah-perintah Allah ditinggalkan, sedangkan larangan-larangan-Nya malah dikerjakan. Maka termasuk keadilan Allah, jika kemudian Dia mengembalikan manusia yang tidak bersyukur itu kepada ke tempat yang paling rendah (neraka), wal 'iyadz billah.

Siapakah orang yang paling mulia?

Sebagian manusia mengira, bahwa orang yang mulia adalah orang yang kaya raya, orang yang memiliki pangkat dan kedudukan, orang yang terkenal, dan sebagainya, padahal di sisi Allah, orang yang mulia di sisi-Nya adalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

"Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al Hujurat: 13)

Kesimpulan surat At Tiin

  1. Manfaat buah Tin dan Zaitun, dan anjuran menanam dua pohon ini serta memperhatikannya.
  2. Keutamaan Syam dan Mekkah. Syam meliputi Suriah, Yordania, Palestina, dan Libanon.
  3. Karunia Allah kepada manusia dengan menjadikannya dalam bentuk dan rupa yang sebaik-baiknya.
  4. Karunia Allah kepada seorang muslim, yaitu ketika Dia memanjangkan usianya, lalu ia menjadi tua dan pikun, maka amal yang biasa dikerjakan di masa mudanya tetap dicatat oleh-Nya.

Hal ini sejalan dengan yang disebutkan dalam hadits,

«إِذَا مَرِضَ العَبْدُ، أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا»

"Apabila seorang hamba sakit atau bersafar, maka akan dicatat amal yang biasa dikerjakan ketika mukim dan sehat." (HR. Bukhari)

  1. Martabat manusia tetap eksis ketika beriman dan beramal saleh atau bertakwa.
  2. Anjuran mengucapkan "Balaa wa anaa 'ala dzaalika minasy syahidin" setelah membaca surat At Tiin. (Namun hadits yang menjelaskan perintah mengucapkan hal ini didhaifkan oleh Al Albani, lihat Sunan Abi Dawud 1/234 Maktabah 'Ashriyyah, Shaida Beirut).

Wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji': Maktabah Syamilah versi 3.45, Al Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibnu Katsir (Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri), Aisarut Tafasir (Abu Bakar Al Jaza'iri), Tafsir Juz 'Amma (Musa'id Ath Thayyar), dll.

بسم الله الرحمن الرحيم

Siapakah Orang-Orang Yang Sukses?

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Sebagian orang beranggapan bahwa orang yang sukses adalah orang yang memiliki kedudukan tinggi di tengah masyarakat, seperti sebagai pejabat. Sebagian lagi berpendapat, bahwa orang yang sukses adalah orang yang berharta banyak, memiliki rumah mewah, memiliki kendaraan yang banyak, dan lain-lain. Sebagian lagi berpendapat, bahwa orang yang sukses adalah orang yang telah menyelesaikan S1, S2, S3, atau berpendidikan tinggi. Sebagian lagi berpendapat, bahwa orang yang sukses adalah orang yang berhasil menjadi orang besar dan terkenal. Dan sebagian lagi berpendapat, bahwa orang yang sukses adalah orang yang berhasil mendapatkan apa yang dicita-citakannya.

Memang orang yang memperoleh semua itu dan memperoleh apa yang dicita-citakan adalah orang yang sukses. Akan tetapi kesuksesan itu adalah kesuksesan sementara yang kemudian akan ditinggalkannya. Adapun kesuksesan yang sesungguhnya adalah ketika seseorang masuk ke surga dan terhindar dari neraka. Allah Subhaanahu wa Ta'ala,

فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَما الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ

"Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan." (Terj. QS. Ali Imran: 185)

Inilah orang yang sukses. Hal itu, karena ketika seseorang masuk surga, maka apa yang diinginkannya ada. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,

وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ وَأَنتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

"Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya." (Terj. QS. Az Zukhruf: 71)

Dan kenimatan-kenikmatan yang ada di dalamnya kekal dan sempurna, tidak seperti di dunia yang sementara dan penuh keterbatasan. Coba fikirkan, apakah harta benda, jabatan, dan kedudukan yang ada pada kita akan kekal selama-lamanya? Dan coba fikirkan, apakah kenikmatan-kenikmatan yang ada di dunia ini sempurna? Tentu tidak, harta yang ada pada kita akan kita tinggalkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَتْبَعُ المَيِّتَ ثَلاَثَةٌ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ: يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ

“Ada tiga yang akan mengantarkan seorang mayit; yang dua pulang kembali, sedangkan yang satu akan bersamanya; yang tiga itu adalah keluarganya, hartanya, dan amalnya. Keluarga dan hartanya akan kembali, dan yang akan tinggal menemaninya adalah amalnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di samping itu kenikmatan-kenikmatan yang ada di dunia ini tidak sempurna; ada hidup-ada mati, ada sehat-ada sakit, ada senang-ada sedih, ada mudah-ada susah, dan ada muda-ada tua. Hal ini menunjukkan keterbatasan kenikmatan dunia.

Jalan orang-orang yang sukses

Masuk surga adalah kesuksesan paling besar, akan tetapi untuk memasukinya seseorang harus menempuh jalannya. Jalan tersebut telah Allah Subhaanahu wa Ta'ala terangkan dalam firman-Nya:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2) وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ (3) وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ (4) وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7) وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (8) وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ (9) أُولَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ (10) الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (11)

"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,--(yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya,--Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna,--Dan orang-orang yang menunaikan zakat,--Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,--Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak terceIa.—Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.--Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.--Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.--Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi,--(yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya." (Terj. QS. Al Mu'minun: 1-11)

Apa yang disebutkan dalam ayat di atas adalah jalan orang-orang yang sukses. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba menimbang dirinya dengan beberapa ayat di atas, di mana dengannya mereka dapat mengetahui sejauh mana keimanan mereka, bertambah atau kurang, banyak atau sedikit.

Firman Allah Ta'ala, " Sungguh beruntung orang-orang yang beriman," yakni sungguh berbahagia, sukses dan berhasil memperoleh apa yang diinginkan.

Firman Allah Ta'ala, "(yaitu) orang yang khusyu' dalam shalatnya,"

Khusyu’ artinya hadirnya hati dan diamnya anggota badan. khusyu dalam shalat akan diperoleh bagi orang yang hatinya tertuju kepada shalat, sibuk dengannya serta mengutamakannya, maka ketika itu shalat akan menjadi istirahatnya dan penyejuk pandangannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ

"Dijadikan aku suka dari dunia ini adalah wanita dan wewangian, dan dijadikan penyejuk mataku dalam shalat." (HR. Ahmad dan Nasa'i)

Khusyu’ merupakan ruhnya shalat, semakin besar kekhusyuan seseorang, maka semakin besar pahalanya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ تُسْعُهَا ثُمْنُهَا سُبْعُهَا سُدْسُهَا خُمْسُهَا رُبْعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا

"Sesungguhnya seseorang ketika selesai shalat, maka tidak dicatat (pahalanya) kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperempatnya, sepertiganya, dan setengahnya." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban dari Ammar bin Yasir, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 1626).

Firman Allah Ta'ala, "Dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna,"

Yang tidak berguna di sini adalah yang tidak ada kebaikan dan faedahnya. Jika perbuatan yang tidak berguna mereka jauhi, maka perbuatan yang haram lebih mereka jauhi lagi. Oleh karena itulah, apabila seseorang mampu mengendalikan anggota badan yang paling ringan digerakkan (lisan), maka sudah tentu dia dapat mengendalikan anggota badan yang lain, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal, “Maukah kamu aku beritahukan penopang semua itu?” Mu’adz berkata, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Jagalah ini.” Yakni lisanmu. Nah, orang-orang mukmin, karena sifat mereka yang terpuji, mereka jaga lisan mereka dari perkataan sia-sia dan hal-hal yang haram.

Menurut Ibnu Katsir, laghw (perkara sia-sia atau tidak berguna) adalah kebatilan, termasuk ke dalamnya syirk dan kemaksiatan, serta perkataan dan perbuatan yang tidak ada faedahnya sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya." (Terj. QS. Al Furqan: 72)

Firman Allah Ta'ala, "Dan orang yang menunaikan zakat," Yakni mereka berbuat ihsan dalam beribadah kepada Allah, yaitu dengan berbuat khusyu’ dalam shalat dan berbuat ihsan kepada manusia dengan membayar zakat. Termasuk zakat pula adalah membersihkan jiwa dari noda syirk dan kekufuran.

Firman Allah, "Dan orang yang memelihara kemaluannya," Yakni dari yang haram, seperti zina, homoseksual, dsb. Menjaga kemaluan dapat menjadi sempurna ketika seseorang menjauhi semua yang dapat mendorong kepada zina, seperti memandang wanita, menyentuhnya, berduaan dengannya dsb.

Kemudian Allah mengecualikan kepada istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak terceIa dalam hal ini.

Firman Allah Ta'ala, "Tetapi barang siapa mencari di balik itu," yakni selain istri dan budak, "maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas,"

Firman Allah Ta'ala, "Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat," yakni baik amanah yang di dalamnya terdapat hak Allah maupun yang di dalamnya terdapat hak manusia. Apa yang Allah wajibkan kepada hamba merupakan amanah, sehingga seorang hamba wajib melaksanakannya, seperti shalat lima waktu, zakat, puasa di bulan Ramadhan, dsb. Sedangkan amanah yang di sana terdapat hak manusia adalah apa yang dipercayakan atau dibebankan mereka kepada kita, seperti menjaga harta yang mereka titipkan, melaksanakan tugas yang dibebankan, dsb.

Firman Allah Ta'ala, "dan (memelihara) janjinya," yakni baik janji antara mereka dengan Allah, maupun janji antara mereka dengan sesamanya.

Firman Allah Ta'ala, "Serta orang yang memelihara shalatnya," Yakni memelihara shalat pada waktunya.

Ibnu Mas'ud pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Amal apa yang paling dicintai Allah Ta’ala?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” Ia bertanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Ia bertanya lagi, “Selanjutnya apa?” Beliau menjawab, “Berjihad fii sabiilillah.” (HR. Bukhari-Muslim)

Di samping itu, mereka pelihara pula syarat dan rukunnya, yang wajibnya dan melakukan adab-adabnya. Qatadah berkata, "Yakni mereka memelihara waktunya, (memelihara pula) rukunya dan sujudnya."

Allah memuji mereka karena shalat mereka yang khusyu’ dan karena mereka menjaganya. Dengan begitu shalat mereka menjadi sempurna, karena tidak mungkin shalat seseorang sempurna, jika selalu memeliharanya namun tidak khusyu’, atau khusyu’ dalam shalatnya namun tidak memelihara(waktu)nya.

Dalam beberapa ayat di atas, Allah menyebutkan sifat terpuji orang mukmin, dimana Dia mengawalinya dengan shalat dan mengakhirinya dengan shalat pula. Hal ini menunjukkan keutamaan shalat yang begitu besar. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلَاةَ، وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ

"Ketahuilah, bahwa amal kalian yang paling baik adalah shalat, dan tidak ada yang menjaga wudhu selain orang mukmin." (HR. Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani)

Oleh karena itulah, mengapa dalam azan, ajakan kepada shalat disudahi dengan "Hayya 'alal falah," (marilah menuju kepada keberuntungan). Hal itu, karena dengan seseorang mendatangi shalat sesungguhnya ia mendatangi keberuntungan dan kesuksesan. Seakan-akan kalimat azan itu mengatakan, "Jika kalian menginginkan keberuntungan dan kesuksesan, maka datangilah shalat."

Menurut Mujahid, tentang firman Allah Ta'ala, "Mereka itulah orang yang akan mewarisi," (Terj. QS. Al Mu'minun: 10), bahwa kaum mukmin akan mewarisi tempat-tempat orang-orang kafir (di surga), karena mereka diciptakan untuk beribadah kepada Allah Ta'ala saja tidak ada sekutu bagi-Nya. Ketika kaum mukmin menjalankan kewajiban ibadah itu, sedangkan mereka (kaum kafir) meninggalkannya, maka kaum mukmin mengambil bagian orang-orang kafir itu.

Ya Allah, masukkanlah kami ke surga dan jauhkanlah kami dari neraka. Ya Allah, masukkanlah kami ke surga dan jauhkanlah kami dari neraka. Ya Allah, masukkanlah kami ke surga dan jauhkanlah kami dari neraka.

Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Di Antara Kandungan Surat Al Fatihah

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut pembahasan tentang sebagian kandungan surat Al Fatihah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Pengantar

Sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam manusia berada dalam kejahiliyahan. Mereka disebut ‘jahiliyah’ karena mereka tidak berpengetahuan atau berada dalam kebodohan. Namun dalam hal apa mereka jahil (tidak mengetahui)? Apakah dalam urusan dunia atau dalam urusan apa? Tentunya bukan dalam urusan dunia, karena dalam urusan dunia banyak di antara mereka yang pandai sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka lalai terhadap (kehidupan) akhirat.” (Qs. Ar Ruum: 7)

Ayat ini menunjukkan bahwa mereka pandai dalam urusan dunia namun jahil (bodoh) dalam urusan akhirat atau dalam urusan agama. Secara lebih rincinya, mereka jahil atau tidak mengenal Tuhan mereka dan siapa yang berhak mereka sembah, mereka juga tidak mengetahui untuk apa mereka diciptakan di dunia, dan jalan mana yang harus mereka tempuh dalam hidup di dunia.

Karena kejahilan atau tidak mengenal Tuhan mereka sehingga menyebabkan mereka serampangan dalam menyembah. Di antara mereka ada yang menyembah batu dan pepohonan, ada yang menyembah matahari, bulan atau benda-benda langit lainnya, ada yang menyembah patung dan berhala, ada yang menyembah jin, manusia, atau malaikat, dan ada pula yang menyembah api seperti halnya orang-orang Majusi. Saking menyimpangnya, mereka sampai menyembah sesuatu yang lebih lemah daripada diri mereka sendiri, dimana sesembahan itu tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri apalagi menyelamatkan para penyembahnya.

Demikian pula karena kejahilan mereka terhadap tujuan mereka diciptakan di dunia, sehingga mereka mengira bahwa tujuan mereka hidup di dunia hanyalah untuk makan, minum, memenuhi nafsunya, dan bersenang-senang menikmati kesenangan dunia seperti halnya hewan. Oleh karenanya, di benak mereka hanyalah fikiran bagaimana caranya meraih kesenangan dunia sebanyak-banyaknya, dan yang mereka kejar hanyalah dunia, waktu mereka habis untuknya; tidak ada kesempatan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.

Demikian pula karena jahilnya mereka terhadap jalan yang seharusnya mereka tempuh dalam kehidupan dunia mengakibatkan mereka menempuh jalan mana saja, baik hak maupun batil, benar atau salah, mendatangkan keridhaan Allah atau mendatangkan kemurkaan-Nya. Yang penting bagi mereka adalah jalan itu sesuai dengan selera hawa nafsunya.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala adalah Rabbul alamin, Dia yang menciptakan, yang menguasai, yang memberi rezeki, dan yang mengatur alam semesta. Maka sebagaimana Dia telah menciptakan manusia dan tidak membiarkan mereka dalam kelaparan dan kehausan, Dia berikan mereka rezeki agar mereka dapat melangsungkan kehidupan di dunia dan jasmani mereka dapat tumbuh dengan baik dan sehat. Ini adalah bukti perhatian-Nya dalam urusan jasmani mereka demikian pula menunjukkan rahmat(kasih sayang)-Nya. Jika urusan jasmani mereka saja diperhatikan-Nya, apalagi urusan rohani mereka. Tentu Dia memperhatikan pula. Oleh karena itu, Dia mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab untuk membimbing manusia agar tidak tersesat dan sengsara. Dia berfirman,

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى

“Barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (Qs. Thaahaa: 123)

Sebaliknya,

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta." (Qs. Thaahaa: 124)

Petunjuk dan peringatan-Nya ada dalam kitab yang diturunkan-Nya dan pada sunnah yang dibawa Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya Muhammad shallallahu alaihi wa sallam untuk mengeluarkan umat manusia dari berbagai kegelapan, baik dari gelapnya kebodohan (kejahiliyah), gelapnya kekafiran, maupun gelapnya kemaksiatan kepada cahaya pengetahuan, cahaya keimanan, dan cahaya ketaatan, Dia berfirman,

الر كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

“Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan kepada cahaya yang terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (Qs. Ibrahim: 1)

Siapa saja yang menyambut seruan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, maka keluarlah dirinya dari belenggu kegelapan dan kejahiliyahan atau kebodohan. Sebaliknya siapa saja yang tidak mau menyambut seruan Rasul-Nya setelah diutusnya, seperti tetap menyembah selain Allah, tidak mengisi hidupnya dengan beribadah, atau memilih gaya hidup sesuai selera hawa nafsunya, maka berarti orang tersebut masih berada dalam kegelapan, kejahiliyahan, kebodohan, kerusakan, dan ketertinggalan seperti halnya kaum Jahiliyah terdahulu[i].

Abu Bakar bin Iyasy rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk bumi sedangkan mereka berada dalam kerusakan, maka Allah memperbaiki kondisi mereka dengan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, barang siapa yang mengajak untuk mengikuti selain petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang mengadakan kerusakan.”

Di antara kandungan surat Al Fatihah

Di antara isi kitab yang diturunkan-Nya adalah surat Al Fatihah; yang merupakan surat paling agung dalam Al Qur’an karena muatannya yang begitu dalam, bijaksana, membimbing, indah dan memuat kandungan yang ada dalam Al Qur’an secara garis besar sehingga disebut Ummul Qur’an (Induk Al Qur’an). Surat ini dinamai juga As Sab’ul Matsani (lihat Qs. Al Hijr: 87) karena jumlah ayatnya ada tujuh dan karena dibaca berulang kali oleh seorang hamba dalam shalatnya, baik shalat fardhu maupun shalat sunah, dan di setiap rakaatnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya memerintahkan kita terus membacanya dalam shalat kita di antara hikmahnya adalah agar nilai-nilai yang terkandung dalam surat Al Fatihah tetap terngiang-ngiang dalam benak fikiran kita sehingga hidup kita tidak jauh dari nilai-nilai itu, di samping untuk menjalin hubungan kita dengan Allah agar hidup ini tetap berada dalam bimbingan dan arahan-Nya meskipun di hadapannya terdapat banyak fitnah atau godaan sebagaimana dalam permintaan kita yang ada dalam surat Al Fatihah ini, yaitu pada ayat ihdinash shirathal mustaqim (artinya: Tunjukkanlah kami jalan yang lurus).  

Di dalam surat Al Fatihah kita diperkenalkan tentang siapa Tuhan kita dan siapa yang berhak kita sembah, demikian pula di surat ini kita diperkenalkan untuk apa kita diciptakan di dunia, dan diperkenalkan jalan mana yang seharusnya kita dalam kehidupan dunia.

Di surat Al Fatihah, kita diperkenalkan siapa Tuhan kita, yang ditunjukkan oleh firman-Nya,

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ -- الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ -- مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.--Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.-- Yang menguasai di hari Pembalasan.” (Qs. Al Fatihah: 2-4)

Dialah Allah Tuhan kita yang menciptakan, menguasai, memberi rezeki, dan mengatur alam semesta yang memiliki nama Ar Rahman Ar Rahim (Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), dimana di dalamnya terdapat sifat rahmat (kasih-sayang)-Nya, dan Dia -di samping sebagai Penguasa alam semesta- juga yang menguasai hari pembalasan dimana ketika itu tidak ada makhluk yang berani berbicara kecuali dengan izin-Nya. Dialah Tuhan yang berhak disembah karena Dialah yang mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta. Dia berfirman,

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tetapi sembahlah Allah yang menciptakannya, jika Dialah yang kamu hendak sembah.” (Qs. Fushshilat: 37)

Di surat Al Fatihah, kita diperkenalkan siapa yang berhak kita sembah dan untuk apa kita diciptakan di dunia, yang ditunjukkan oleh firman-Nya,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.” (Qs. Al Fatihah: 5)

Allah-lah yang berhak kita sembah dan kita tujukan berbagai macam bentuk ibadah; tidak selain-Nya, dan bahwa kita diciptakan di dunia ini adalah untuk menyembah hanya kepada-Nya dan mengisi hidup di dunia dengan mengabdi dan beribadah kepada-Nya, sebagaimana diperjelas oleh firman Allah Ta’ala di surat Adz Dzariyat: 56,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku.”

Demikian pula di surat Al Fatihah kita diperkenalkan jalan mana yang harus kita tempuh dalam hidup di dunia. Hal ini ditunjukkan oleh firman-Nya,

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ -- صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus,--(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Qs. Al Fatihah: 6-7)

Jalan orang-orang yang Allah berikan kenikmatan dan kebahagiaan itulah yang seharusnya kita tempuh. Mereka ini terdiri dari para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh (lihat Qs. An Nisaa’: 69) dimana ciri jalan mereka adalah mengetahui yang hak (benar) dan mengamalkannya, bukan jalan orang-orang yang dimurkai seperti jalannya orang-orang Yahudi, dimana ciri jalan mereka adalah mengetahui kebenaran namun tidak mau mengikutinya, dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat seperti jalan orang-orang Nasrani, dimana ciri jalan mereka adalah tidak mengetahui yang hak, namun sudah berani beramal akhirnya tersesat.

Inilah beberapa kandungan dari surat Al Fatihah yang sebenarnya masih banyak lagi kandungannya sebagaimana telah diterangkan secara panjang lebar oleh para ulama dalam kitab-kitab tafsir mereka.

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji’: Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Penulis), Aqidatut Tauhid (Dr. Shalih Al Fauzan), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

 

[i] Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Jahiliyah adalah keadaan bangsa Arab sebelum Islam, berupa jahil atau tidak mengenal Allah dan Rasul-Nya, jahil terhadap syariat Islam, berbangga dengan nasab, bersikap sombong dan sewenang-wenang, dan sebagainya yang dinisbatkan kepada kejahilan atau tidak ada ilmu, atau tidak mengikuti ilmu.”

Ia juga berkata, “Singkatnya, bahwa jahiliyah itu nisbat kepada jahil, yakni tidak ada ilmu. Ia terbagi dua:

  1. Jahiliyah ammah (umum), yaitu keadaan sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, dan telah hilang setelah ditusnya Beliau.
  2. Jahiliyah khashshah (khusus), yaitu yang menimpa sebagian negara atau sebagian orang. Hal ini senantiasa ada. Dari sini diketahui kelirunya orang yang menyatakan secara umum bahwa zaman ini zaman jahiliyah, seperti mengatakan, “Jahiliyah abad ini” atau “Jahiliyah abad 20” dsb. Yang benar adalah mengatakan “Jahiliyah sebagian orang di abad ini” atau “Kahiliyah sebagian besar orang di abad ini”. Adapun menyatakan secara umum atau merata, maka tidak benar dan tidak boleh, karena setelah diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam jahiliyah secara umum (merata) sudah hilang. (Aqidatut Tauhid hal. 90)