Pertanyaan:

Apa dan bagaimana fitnah Dajjal itu?

 

 

Jawaban:

Termasuk kebijaksanaan Allah ‘Azza wa Jalla adalah bahwa Dia memberikan kepadanya tanda-tanda dan bukti kehebatannya yang sebenarnya merupakan fitnah yang besar. Dajjal akan mendatangi suatu kaum lalu menyeru mereka, dan mereka pun akhirnya mengikutinya. Mereka mau mengikuti Dajjal, sehingga tanah merekapun menjadi subur dan tumbuh berbagai macam tanaman, ternaknya gemuk-gemuk, susunya melimpah, dan mereka benar-benar hidup dalam kemakmuran.

Dajjal juga mendatangi suatu kaum dan menyeru mereka, namun mereka tidak mau mengikutinya. Akibatnya, mereka menjadi melarat, tidak memiliki apa-apa. Ini merupakan fitnah dan ujian yang amat berat, apalagi bagi kaum Badui atau orang-orang awam.

Dia pun melewati suatu reruntuhan bangunan, lalu ia berkata, “Keluarkan perbendaharaanmu!” Maka, keluarlah segala perbendaharaan dan simpanan yang ada di dalam reruntuhan itu, seperti keluarnya gerombolan lemah berupa emas dan perak serta perhiasan lainnya tanpa alat dan tanpa bebatuan apa pun.

Ini sebagai fitnah dan ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah Dajjal dan mu’amalahnya dengan penduduk dunia bagi yang ingin bersenang-senang dengan dunia atau celaka di dalamnya.

Fitnahnya yang lain adalah Allah menjadikan jannah (surga) dan naar (neraka) ada di tangannya, menurut penglihatan mata kepala manusia. Akan tetapi jannahnya adalah naar, dan naarnya adalah jannah.

Barangsiapa yang menurutinya, maka ia akan masuk ke dalam jannahnya, menurut penglihatan manusia, namun sebenarnya jannahnya itu adalah naar yang membakar, na’udzu billah.

Barangsiapa yang mendurhakainya akan dimasukkan ke dalam naar, menurut penglihatan manusia, yang sebenarnya adalah jannah yang menyenangkan.

Oleh karena itulah, kita semua membutuhkan keteguhan dari Allah, karena jika seseorang itu tidak diteguhkan oleh Allah, pasti dia akan sesat. Kita semua perlu mendapatkan keteguhan dari Allah agar kuat dalam berpegang terhadap agama.

Fitnahnya lagi, ada seorang pemuda yang menemuinya dan mengatkan, “Engkau adalah Dajjal yang telah diceritakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami!”

Dajjal menyeru pemuda itu, namun ia enggan mengikutinya sehingga ia dipukul dan dilukai, dan selanjutnya dibunuh dan dipotong menjadi dua. Lalu, Dajjal lewat di antara dua potongan itu untuk membuktikan bahwa si pemuda itu benar-benar telah dipotong menjadi dua.

Kemudian, Dajjal menyerunya lagi dan ia pun bangkit dengan muka berseri-seri, seraya berkata, “Engkau adalah Dajjal yang diceritakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami!”

Maka, Dajjal pun hendak membunuhnya namun ia tidak mampu lagi, dan ia tidak akan mampu menguasai seorang pun setelah pemuda tadi. Ini termasuk manusia yang persaksiannya paling agung di sisi Allah, karena dalam kondisi seperti itu kita tidak mampu membayangkan.

Hanya orang yang langsung menghadapi ketakutan seperti itulah yang bisa membayangkannya. Dalam keadaan seperti itu, pemuda tersebut berani berterus terang bahwa sosok di hadapannya adalah Dajjal yang disebut-sebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini berarti, ia menyuruh orang lain untuk berhati-hati dan memperingatkan akan fitnah Dajjal itu.

Demikianlah Dajjal dan seruannya.

Sumber: Soal-Jawab Masalah Iman dan Tauhid, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Pustaka at-Tibyan, 2002.

(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa dan aksara oleh redaksi KonsultasiSyariah.com)



Referensi: https://konsultasisyariah.com/2233-fitnah-dajjal.html

 

Fatwa Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan:
Apakah hukum merayakan maulid nabi?

Jawaban:
Merayakan hari ulang tahun tidak memiliki dasar (landasan) dalam syariat. Bahkan hal itu termasuk bid’ah berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusanku ini (agama) yang tidak ada dasarnya, maka hal itu tertolak.” Hadits ini disepakati keshahihannya.

Dalam lafadz Muslim dan Bukhari meriwayatkan secara mu’allaq dalam kitab Shahih-nya dengan shighah jazm (tegas),

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amal tersebut tertolak.

Telah diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merayakan hari lahirnya sepanjang hidup beliau dan beliau tidak pula memerintahkan hal itu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pula mengajarkan kepada para sahabat dan juga khulafaur rasyidin (tidak mengajarkan atau mencontohkannya). Seluruh sahabat tidak merayakan maulid nabi. Padahal mereka adalah orang yang paling mengetahui sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, paling mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan orang yang paling bersemangat dalam mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu disyariatkan, tentu mereka akan bersegara melaksanakannya. Demikian pula tidak ada satu pun sahabat di masa kejayaan (Islam) yang mengerjakannya dan tidak pula memerintahkannya.

Sehingga bisa diketahui bahwa hal itu bukanlah termasuk bagian dari syariat yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami bersaksi kepada Allah Ta’ala dan seluruh kaum muslim, seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan atau memerintahkannya, atau para sahabat radhiyallahu ‘anhum memerintahkan hal itu, kami akan bersegera melaksanakannya dan mendakwahkannya. Karena kami, alhamdulillah, bersemangat untuk mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengagungkan perintah dan larangan nabinya.

Kami memohon kepada Allah Ta’ala untuk diri-diri kami dan juga seluruh saudara kami kaum muslimin, agar diberikan keteguhan di atas kebenaran, dan diselamatkan dari berbagai hal yang menyelisihi syariat Allah Ta’ala. Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Dzat Yang maha mulia.
***

Selesai diterjemahkan di pagi hari, Rotterdam NL 24 Dzulqa’dah 1438/17 Agustus 2017
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Referensi:
Diterjemahkan dari: https://binbaz.org.sa/fatawa/82



Sumber: https://muslim.or.id/34595-hukum-merayakan-maulid-nabi.html

Sebagian orang yang merayakan peringatan Maulid Nabi mereka beralasan: “perayaan Maulid ini hanya sekedar muamalah bukan ibadah, dan hukum asal muamalah adalah mubah.”

Jawabannya, itu sekedar retorika saja yang tidak sesuai dengan kenyataan. Realitanya, yang merayakan peringatan Maulid Nabi mereka merasa sedang beribadah kepada Allah dengan merayakannya.

 

Penjelasan para ulama

Syekh Alwi bin Abdil Qadir As Saqqaf hafizhahullah menjelaskan,

“Perkataan mereka bahwa, ‘peringatan Maulid Nabi ini hanya ‘adah (muamalah), bukan ibadah, mengapa kalian mengingkari perkara adah?’.

Jawabnya, ini adalah sebuah fallacy (pola pikir yang keliru) dari mereka. Dan merupakan bentuk lari dari kenyataan yang sebenarnya. Karena bagaimana mungkin acara kumpul-kumpul untuk membaca Al-Quran, berzikir, berdoa, mengingatkan tentang sirah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan sifat-sifat beliau, dengan tujuan untuk ber-taqarrub kepada Allah ‘azza wa jalla, dan mereka mengajak serta memotivasi masyarakat untuk melakukannya, bahkan mereka mengklaim ini adalah amalan yang agung, dan akan mendapatkan pahala yang sangat besar, bagaimana mungkin disebut bahwa ini adalah ‘adah (muamalah) dan bukan ibadah? Kalau demikian, lalu apa makna ibadah?” (Al Maulid An Nabawi Syubuhat wa Rudud,  [1]).

Syekh Khalid bin Bulihid hafizhahullah juga mengatakan,

“Kalau kita tanya mereka apa hakekat perayaan Maulid Nabi ini? Mereka menjawab, ‘ini sekedar adat sebagaimana perayaan-perayaan duniawi yang lain, tidak ada kaitannya dengan agama. Maka hukum asalnya boleh dan memang dibolehkan merayakan Maulid Nabi sebagaimana bolehnya membuat perayaan naik pangkat, perayaan ditemukannya orang yang hilang, perayaan ketika dapat suatu nikmat harta atau kelahiran anak, atau semisalnya.’

Sanggahannya, pernyataan mereka ini adalah sebuah fallacy yang fatal. Dan juga bentuk pengelabuan terhadap masyarakat juga terhadap ilmu mantiq (logika) dan juga terhadap akal sehat.

Karena setiap orang, walaupun dia orang awam yang tidak bisa baca tulis sekalipun, ketika pertama kali melihat perayaan Maulid Nabi dia tentu akan menyatakan ini adalah perayaan agama. Dan orang yang merenungkan hakikat perayaan Maulid Nabi ini, dia akan yakin bahwa ini diadakan atas dasar cinta kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Bahkan tujuan yang lebih besar dari itu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala dan menjadikannya sebagai sarana untuk membersihkan hati, berzikir, mengkhusyukkan diri, dan berdoa kepada Allah.

Maka dari sini jelaslah bahwa perayaan ini adalah bentuk ibadah yang dianggap dapat mendekatkan diri pelakunya kepada Allah. Bahkan mereka menjadikannya sebagai salah satu dari syiar Islam yang mereka senantiasa rutinkan. Mereka juga mengajak masyarakat untuk melakukannya. Bahkan mereka mengingkari orang-orang yang tidak mau melakukannya dan menuduh mereka radikal.

Jika sudah jelas bahwa perayaan ini adalah bentuk ibadah, maka ibadah itu harus memenuhi syaratnya (yaitu ikhlas dan sesuai tuntunan Nabi). Jika tidak, maka menjadi perkara yang batil dan tidak memiliki landasan” (Al Hiwar ma’a Ansharil Maulidin Nabawi, [2]).

 

Maulid Nabi adalah id (hari raya) yang bidah

Kemudian jika kita asumsikan bahwa perayaan Maulid Nabi adalah ‘adah (muamalah). Maka perkara muamalah juga bisa jadi ibadah dan bisa masuk dalam bab bidah jika menjadi suatu ritual untuk taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) tanpa dalil.

Diantara kaidah lain dalam mengenal bidah adalah,

كل تقرب إلى الله بفعل شيئ من العادات أو المعاملات من وجه لم يعتبره الشارع فهو بدعة

“Setiap bentuk taqarrub kepada Allah dengan cara melakukan suatu perkara adat (non ibadah) atau muamalah dengan cara yang tidak dituntunkan syariat maka perbuatan tersebut adalah bidah.” (Qawa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 106).

Contohnya, Nabi shallallahu’alaihi Wa sallam melarang tabattul, yaitu sengaja tidak menikah untuk taqarrub kepada Allah, seperti para rahib dan pendeta. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu’anhu, ia berkata:

رَدَّ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ علَى عُثْمَانَ بنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ، ولو أذِنَ له لَاخْتَصَيْنَا

“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam melarang Utsman bin Mazh’un untuk melakukan tabattul. Andaikan tabattul dibolehkan, sungguh kami akan melakukan kebiri.” (HR. Bukhari no.5073, Muslim no. 1402).

Padahal menikah atau tidak menikah itu perkara muamalah. Namun ketika tidak menikah diniatkan untuk taqarrub, maka menjadi bidah.

Kemudian, jika suatu perayaan dianggap sebagai ‘adah (muamalah), jika ia dilakukan secara rutin dan berkala, kemudian mengumpulkan orang-orang untuk mengekspresikan kegembiraan atau kesedihan, maka ini disebut dengan id, atau hari raya. Dalam kamus Lisaanul Arab disebutkan,

والعِيدُ عند العرب الوقت الذي يَعُودُ فيه الفَرَح والحزن

“id dalam bahasa Arab artinya waktu dimana orang-orang mengulang rasa sedih atau rasa gembira.”

Dalam Maqayis Al Lughah juga disebutkan,

العِيد: كلُّ يومِ مَجْمَع

“id adalah hari yang dijadikan momen untuk kumpul-kumpul.”

Dan ini salah satu poin bidahnya Maulid Nabi, yaitu karena ia merupakan suatu id (hari raya) yang dibuat-buat tanpa dalil. Sedangkan perkara membuat hari id, ini adalah perkara ibadah. Syekh Nashir Al-‘Aql menjelaskan,

الأعياد من جملة الشرائع والمناسك ، كالقبلة ، والصلاة ، والصيام ، وليست مجرد عادات ، وهنا يكون أمر التشبه والتقليد فيها للكافرين أشد وأخطر ، وكذلك تشريع أعياد لم يشرعها الله يكون حكمًا بغير ما أنزل الله ، وقولًا على الله بغير علم ، وافتراء عليه ، وابتداعًا في دينه

“Hari id termasuk syiar agama dan manasik (rangkaian ritual ibadah), sebagaimana kiblat, salat, dan puasa. Maka hari id itu bukan sekedar adat. Dari sini, maka perkara membuat hari id baru, selain termasuk tasyabbuh dan taqlid kepada orang kafir, bertambah lagi keharamannya dan bahayanya. Demikian juga, membuat hari id yang tidak pernah Allah syariatkan, ini termasuk berhukum dengan selain hukum yang Allah turunkan. Dan termasuk berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan membuat-buat kedustaan atas nama Allah, serta membuat kebidahan dalam agama Allah.” (Muqaddimah Iqtidha Shiratil Mustaqim, hal. 58).

Kesimpulannya, perayaan Maulid Nabi tetap tidak dibenarkan walaupun mereka beralasan ini adalah ‘adah (muamalah) saja, karena perbuatan ‘adah jika diniatkan untuk taqarrub tanpa dalil maka ia juga termasuk bidah. Dan karena perayaan Maulid Nabi merupakan id baru yang tidak dilandasi dalil, sedangkan menetapkan id adalah perkara ibadah.

Semoga Allah ta’ala memberi hidayah dan taufik.

 

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Catatan Kaki:

[1] https://bit.ly/2GHoeyx

[2] http://www.saaid.net/Doat/binbulihed/8.htm



Sumber: https://muslim.or.id/59460-syubhat-maulid-nabi-ini-hanya-sekedar-muamalah-bukan-ibadah.html

Firman Allah SWT, "Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih." (Ali 'Imran: 188).

Diriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab r.a. dari Rasulullah saw. bersabda, "Suatu kali Nabi Musa as berkhutbah di hadapan Bani Israil, lalu ia ditanya, 'Siapakah orang yang paling berilmu.' Lalu Allah menegurnya, karena tidak mengembalikan perkara ilmu tersebut kepada-Nya. Lalu Allah mewahyukan kepadanya bahwa salau seorang hamba-Nya yang bertempat dipertemuan antara dua lautan. Hamba itu lebih berilmu daripadamu. Nabi Musa As berkata, 'Wahai Rabbi, bagaimana caranya agar aku bisa bertemu dengannya?' Lalu diwahyukan kepadanya, 'Bawalah seekor ikan dalam sebuah keranjang, di mana engkau kehilangan ikan tersebut, maka di situlah ia berada…" (HR Bukhari [122] dan Muslim [2380]).

 

Diriwayatkan dari 'Umar bin Khaththab r.a. berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Dinul Islam ini akan jaya sehingga para pedagang hilir mudik di lautan dan kuda-kuda dipacu demi menegakkan agama Allah. Kemudian akan muncul satu generasi yang membaca Al-Qur’an, lalu berkata, 'Kamilah yang paling mahir Al-Qur’an! Kamilah yang paling berilmu dan kamilah yang paling paham!' jawab para Sahabat. Rasulullah saw. berkata, 'Mereka berasal dari ummat ini dan mereka adalah bahan bakar api Neraka’," (Hasan lighairihi, HR Thabrani dalam al-Ausath [6238] dan al-Bazzar [173] lihat Kasyful Astaar). Kandungan Bab:

Haram hukumnya mengaku paling berilmu dan paling paham tentang Al-Qur’an, karena sesungguhnya orang yang mengakui sesuatu yang tidak ia miliki ibarat orang yang mengenakan dua pakaian palsu.

Pengakuan akan terbukti dengan keterangan-keterangan yang nyata. Jika telah terbongkar kedoknya, hendaklah orang yang mengaku-ngaku itu tidak mencela kecuali dirinya sendiri. Sungguh elok perkataan berikut ini, "Barangsiapa mengaku-ngaku apa yang tidak ia miliki. Bukti-bukti akan membongkar kedustaan pengakuannya itu. Berlaku dalam masalah ilmu seperti kuda yang telah bertanding. Ditinggalkan oleh kuda-kuda yang lain pada hari perlombaan."

Salah satu bentuk klaim itu adalah menyudutkan ulama dalam majelis-nya, maka kamu lihat para ahli fiqih itu mengerumuni ulama. Apabila ulama tersebut ditanya tentang sebuah masalah, maka salah seorang dari mereka mendahuluinya memberi jawaban. Jika jawaban ulama itu tidak memuaskan maka mereka pun mencibirnya.

 

Diriwayatkan dari Abu 'Ashim an-Nabil, ia berkata, "Saya mendengar bahwa di majelis Sufyan ats-Tsauri hadir seorang pemuda dari kalangan ahli ilmu. Pemuda itu menganggap dirinya lebih tinggi, berusaha menguasai pem-bicaraan dan takabbur dengan ilmu yang dimilikinya terhadap ahli ilmu yang lebih tua darinya. Maka Sufyan pun marah dan berkata, 'Tidaklah demikian perangai generasi Salaf. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengaku dirinya imam dan tidak pula berusaha menguasai majells, sehingga ia menuntut ilmu ini selama tiga puluh tahun. Adapun engkau bersikap angkuh terhadap orang yang lebih tua darimu. Menyingkirlah dariku dan janganlah coba-coba mendekati maj elisku’. "

 

Aku juga pernah mendengar Sufyan at-Tsauri berkata, "Jika engkau lihat seorang pemuda berbicara di hadapan masyaaikh -meskipun ia telah mencapai derajat ilmu yang tinggi-, maka jangan harapkan kebaikan darinya, sebab ia adalah orang yang tidak punya malu." (Lihat kitab al-Madkhal ilas Sunanil Kubra karangan al-Baihaqi [679]).

 

Kemudian engkau dapat lihat sekarang salah seorang dari mereka duduk sambil menongkrongkan kakinya, kadangkala tapak kakinya tepat di hadapan seorang ulama. Sekiranya salah seorang dari mereka ditanya tentang sebuah masalah, maka ia hanya bisa tertawa terkekeh-kekeh. Seolah-olah Abu Yazid ad-Dabuusi menyindir mereka lewat bait syairnya:

 

"Mengapa ia hanya bisa tertawa dan terbahak-bahak Bila aku ajukan kepadanya hujjah-hujjah yang nyata, sekiranya tertawa itu adalah bukti kedalaman fiqih seseorang. Maka betapa dalamnya fiqih beruang gurun sahara," (Lihat al-Fawaa-idul Bahiyyahfi Taraajimil Hanafiyah halaman [109]).

 

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/205 - 207.

Diriwayatkan dari Abu Waa’il berkata, “Dahulu, ‘Abdullah bin Mas’ud r.a. menyampaikan nasihat setiap hari Kamis. Lalu salah seorang dari hadirin berkata, ‘Wahai Abu ‘Abdurrahman, alangkah baiknya bila engkau memberikan nasihat kepada kami setiap hari!’ Maka ‘Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata: ‘Sesungguhnya, tidak ada yang menghalangiku untuk itu. Hanya saja, aku tidak ingin membuat kalian bosan.[1] Dan aku telah memilih waktu yang tepat buat kalian sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap kami, karena beliau khawatir membuat kami bosan’,” (HR Bukhari [70] dan Muslim [2821]).

Diriwayatkan dari ‘Ikrimah, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a. berkata, “Sampaikanlah nasihat kepada orang-orang setiap Jum’at sekali. Jika mereka merasa kurang, maka dua kali dalam sepekan. Jika engkau ingin lebih banyak, maka tiga kali dalam sepekan. Janganlah membuat orang-orang bosan mendengarkan Al-Qur’an. Jangan sampai aku dapati engkau mendatangi sekelompok orang yang sedang asyik berbicara lalu engkau datang menyampaikan nasihat kepada mereka sehingga mereka harus memutus pembicaraan mereka, sebab engkau akan membuat mereka bosan. Akan tetapi tahanlah dulu nasihatmu, jika mereka menyuruhmu berbicara maka sampaikanlah nasihatmu itu karena mereka pasti suka mendengarnya. Hindarilah kata-kata sajak dalam berdo'a, sebab aku melihat Rasulullah saw. dan para sahabat beliau menjauhinya." (HR Bukhari [6337]).

 

Kandungan Bab:

 

Al-Khathib al-Baghdadi berkata dalam kitab al-Jaami' li Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami' [11/127] dalam bab: Makruh hukumnya membuat bosan pendengar dan membuat mereka gaduh karena terlalu panjang atau terlalu banyak menyampaikan pembicaraan, sebagai berikut: "Seyogianya seorang muhaddits (pembicara) tidak memperpanjang majelis. Hendaklah ia menyampai-kan pembicaraan yang sedang-sedang saja. Dan supaya para pendengar tidak merasa bosan dan jemu sehingga akan membuat mereka malas dan tidak ber-gairah mendengarnya."

 

Kemudian beliau menukil perkataan al-Mubarrid berikut ini, "Barangsiapa memperpanjang pembicaraan dan memperbanyak kata-kata, maka ia akan membuat bosan para pendengar dan mengacaukan majelis. Sekiranya ia sisakan pembicaraan untuk kesempatan berikut tentu lebih baik daripada memaksa para hadirin untuk mendengar pembicaraannya sementara mereka tidak suka dan tidak bergairah lagi mendengarnya."

 

Beliau juga menukil perkataan 'Abdullah bin al-Mu'taz berikut ini, "Di antara para muhaddits ada yang pintar menyampaikan dan menyimak pembicaraan. la pintar menghindari kebosanan dengan mengurangi pembicaraan. Sebab gairah akan bertambah bilamana dibacakan kata-kata hikmah. la juga harus pintar memutus dan menyambung pembicaraan, menukil dan mengisyarat-kannya. Semua itu akan memperelok etika bicara. Sebagaimana dirinya akan bertambah elok bila dihiasi dengan adab yang terpuji."

 

Seperti yang sudah dimaklumi, pendengar lebih cepat merasa bosan daripada pembicara. Dan bahwasanya hati juga bisa merasa bosan sebagaimana halnya anggota tubuh yang lain.

 

Oleh sebab itu dianjurkan agar membawakan kata-kata hikmah untuk menyegarkan hati. Berdasarkan atsar yang diriwayatkan oleh az-Zuhri sebagai berikut: "Dahulu, ada seorang laki-laki ikut menghadiri majelis seorang Sahabat Nabi yang sedang memberikan nasihat kepada orang-orang. Setelah berbicara panjang dan setelah merasa berat berbicara, ia pun berkata: 'Sesungguhnya telinga juga bisa merasa bosan. Dan sesungguhnya hati ini juga butuh penyegaran. Lantunkahlah sya'ir-sya'ir dan kisah-kisah kalian’." (HR Al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Jaami' li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami' [11/129-130] dan al-Baihaqi dalam al-Madkhal ilas Sunanil Kubra [606]).

 

Oleh sebab itu, apabila imam az-Zuhri diminta menyampaikan hadits, beliau mengatakan, "Segarkanlah kami dengan pembicaraan yang lain." (HR Al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Jaami 'li Akhlaaqir Raawi waAdaabis Saami' [11/130] dan al-Baihaqi dalam al-Madkhal ilas Sunanil Kubra [606]).

 

Muhammad bin 'Abdul Wahhab berkata, "Sebabnya adalah, seekor unta biasa melahap rumput, lalu ia bosan memakannya. Lalu ia beralih memakan syauraq, yakni sejenis tumbuhan yang masam. Setelah memakan syauraq itu akan timbul kerinduannya memakan rumput kembali. Oleh karena itulah beliau mengatakan, 'Segarkanlah kami!' Yakni sertakanlah pembicaraan lain selain hadits sehingga jiwa bisa kembali segar." (Al-Madkbal ilas Sunanil Kubra [360]).

 

.......................................

 

[1] Yakni, mengatur jadwal untuk kemaslahatan kami, maksudnya, beliau memilih waktu yang tepat untuk menyampaikan nasihatnya kepada kami.

 

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/220-222.

Materi pertama yang harus diketahui seorang muslim adalah materi Aqidah Islam. Hal itu, karena ‘Aqidah merupakan pondasi agama, maka perlu diperkuat dan diperkokoh agar bangunan yang di atasnya tidak mudah roboh. Berikut ini di antara ‘Aqidah yang harus dimiliki oleh seorang muslim, disusun dalam bentuk tanya jawab.

  1. Pertanyaan: “Untuk apa Allah menciptakan kita?”

Jawab, “Untuk beribadah hanya kepada-Nya, lihat surat Adz Dzariyat: 56.”

  1. Pertanyaan: “Bagaimanakah cara kita beribadah kepada Allah?”

Jawab, “Caranya adalah dengan mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya dengan disertai rasa ikhlas karena Allah dalam mengerjakannya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَن عَمِلَ عمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أمْرُنا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang mengerjakan amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)

Ini adalah syarat diterimanya ibadah.

  1. Pertanyaan: “Haruskah dalam beribadah kepada Allah ada rasa khauf (takut) dan rajaa’ (berharap)?”

Jawab, “Ya, Allah berfirman,

“Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan berharap.” (Terj. QS. Al A’raaf : 56)

Yakni takut terhadap siksa-Nya dan berharap akan surga-Nya, di samping harus adanya rasa cinta (mahabbah) kepada Allah. Inilah pilar-pilar ibadah.

  1. Pertanyaan: “Apa maksud ihsan dalam beribadah?”

Jawab, “Maksudnya adalah kita beribadah dengan merasakan adanya pengawasan Allah kepada kita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“(Ihsan adalah) kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, namun jika kamu tidak merasakan begitu, maka ketahuilah bahwa Dia melihatmu.” (HR. Muslim)

  1. Pertanyaan: “Mengapa Allah mengutus para rasul?”

Jawab, “Agar mengajak manusia menyembah hanya kepada Allah saja (tauhid) dan menjauhi sesembahan selain-Nya (syirk) serta memberitahukan kepada manusia mana jalan yang diridhai Allah dan mana jalan yang dimurkai-Nya.”

  1. Pertanyaan: “Apa makna “Laaailaahaillallah” & “Muhammad Rasulullah”?”

Jawab, “Maknanya adalah “Laaa ma’buuda bihaqqin illallah”  artinya, “Tidak ada tuhan yang berhak disembah/diibadahi kecuali Allah”, yang mengharuskan kita hanya beribadah kepada-Nya dan meniadakan sesembahan selain-Nya. Sedangkan makna Muhammad Rasulullah adalah kita meyakini dan mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah, yang mengharuskan kita menaati perintahnya, menjauhi larangannya, membenarkan setiap sabdanya dan beribadah kepada Allah Ta’ala sesuai contohnya.”

  1. Pertanyaan: “Kita diperintahkan untuk mentauhidkan Allah baik dalam uluhiyyah, rububiyyah maupun asmaa’ wa shifaat, lalu apa maksudnya?”

Jawab, “Tauhid Uluhiyyah maksudnya kita mengarahkan ibadah hanya kepada Allah Ta’ala saja. Misalnya berdoa, bertawakkal, berkurban, meminta pertolongan dan perlindungan, ruku’-sujud dan ibadah lainnya kepada Allah saja. Tauhid Rububiyyah maksudnya kita meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya yang menciptakan, memberi rezeki, menguasai alam semesta dan yang mengurus semua makhluk-Nya. Sedangkan Tauhid Asmaa’ wa Shifaat maksudnya kita meyakini bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat sebagaimana yang disebutkan Allah dalam Al Qur’an dan Rasul-Nya dalam As Sunnah tanpa menyerupakan sifat Allah tersebut dengan sifat makhluk-Nya (tamtsil), menanyakan bagaimana sifat Allah (takyif), meniadakan sifat Allah (ta’thil) dan tanpa menakwil sifat Allah tersebut (tahrif).

  1. Pertanyaan: “Adakah Nabi lagi setelah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam?”

Jawab, “Tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau adalah penutup para nabi, tidak ada lagi nabi sesudahnya, lihat surat Al Ahzaab ayat 40.

  1. Pertanyaan: “Di manakah Allah?”

Jawab, “Di atas langit, bersemayam di atas ‘Arsy(singgasana)-Nya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bertanya -untuk mengetes- seorang budak wanita dengan pertanyaan:

أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

“Di manakah Allah?” Budak itu menjawab, “Di atas langit”, maka Beliau bersabda, “Bebaskanlah dia, karena dia seorang mukminah.” (HR. Muslim) jawaban wanita itu dibenarkan oleh Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.

  • Pertanyaan: “Dosa apakah yang paling besar?”

Jawab, “Dosa yang paling besar adalah syirk (menyekutukan Allah), lihat surat Luqman: 13.

Syirk terbagi dua: Syirk Akbar dan Syirk Asghar. Syirk Akbar (besar) misalnya syirk dalam rububiyyah dan uluhiyyah Allah. Dalam Rububiyyah maksudnya meyakini bahwa di samping Allah ada juga yang mengatur dan menguasai alam semesta. Sedangkan syirk dalam Uluhiyyah adalah mengarahkan segala macam ibadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Misalnya berdoa dan meminta kepada selain Allah, ruku’ dan sujud kepada selain Allah, berkurban untuk selain Allah (seperti membuat sesaji untuk jin atau penghuni kubur), bertawakkal kepada selain Allah dan mengarahkan berbagai macam penyembahan/ibadah kepada selain Allah.

Adapun Syirk Asghar (kecil) adalah  perbuatan, ucapan atau niat yang dihukumi syirk namun tidak mengeluarkan seseorang dari Islam, karena bisa mengarah kepada Syirk Akbar. Contohnya adalah bersumpah dengan nama selain Allah, riya’, beribadah dengan tujuan mendapatkan dunia, Thiyarah (merasa sial dengan sesuatu sehingga tidak melanjutkan keinginannya). Termasuk  syirk ashghar juga seperti yang dijelaskan Ibnu ‘Abbas berikut ketika menafsirkan surat Al Baqarah ayat 22:

"Tandingan-tandingan tersebut adalah perbuatan syirk, di mana hal itu lebih halus daripada semut di atas batu yang hitam di kegelapan malam. Misalnya kamu mengatakan "Demi Allah dan demi hidupmu hai fulan", dan "Demi hidupku", juga kata-kata "Kalau seandainya tidak ada anjing kecil ini tentu kita kedatangan pencuri", dan kata-kata "Kalau seandainya tidak ada angsa ini tentu kita kedatangan pencuri", juga pada kata-kata seseorang kepada kawannya "Atas kehendak Allah dan kehendakmu", dan pada kata-kata seseorang "Kalau seandainya bukan karena Allah dan si fulan (tentu…)", jangan kamu tambahkan fulan padanya, semua itu syirk."

  • Pertanyaan: “Bolehkah kita meminta pertolongan kepada orang yang sudah mati atau orang yang jauh tidak berada di dekat kita?”

Jawab: “Tidak boleh, kita harus meminta pertolongan kepada Allah saja.”

  • Pertanyaan: “Bolehkah kita meminta pertolongan kepada orang yang hidup dan berada di dekat kita?”

Jawab: “Boleh, dalam hal yang mereka mampu menolongnya.”

Perlu diketahui bahwa meminta pertolongan itu terbagi terbagi dua:

  • ü Isti’anah Tafwidh, meminta pertolongan dengan menampakkan kehinaan, pasrah dan sikap harap, ini hanya boleh kepada Allah saja. Hukumnya syirk apabila mengarahkan kepada selain Allah.
  • ü Isti’anah Musyarakah, meminta pertolongan dalam arti meminta keikut-sertaan orang lain untuk turut membantu, maka tidak mengapa kepada makhluk, namun dengan syarat dalam hal yang mereka mampu membantunya.
  • Pertanyaan: “Bolehkah shalat menghadap kubur atau di depannya ada kubur?”

Jawab: “Tidak boleh, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا

“Janganlah kalian duduk di atas kubur dan jangan shalat ke arahnya.” (HR. Muslim)

Perlu diketahui, bahwa jika di depan masjid ada kubur maka tidak cukup dinding masjid sebagai pemisah dengan kubur, bahkan harus ada pemisah lagi.

  • Pertanyaan: “Apa hukum mempraktekkan sihir seperti pelet, santet, tenung dsb?”

Jawab: “Hukumnya haram dan termasuk dosa-dosa besar yang membinasakan seseorang dunia-akhirat, bahkan termasuk pembatal keislaman.”

  • Pertanyaan: “Bolehkah pergi ke dukun atau paranormal untuk bertanya sesuatu?”

Jawab: “Tidak boleh, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “

مَنْ أتَى عَرّافاً فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةُ أرْبََعِيْنَ لَيْلَةً

“Barang siapa yang mendatangi paranormal, lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka tidak akan diterima shalatnya selama 40 malam.” (HR. Muslim)

Apabila ditambah dengan membenarkan kata-kata mereka maka sama saja ia telah kufur kepada Al Qur’an, karena tidak ada yang mengetahui yang ghaib selain Allah saja.

  • Pertanyaan: “Bolehkah kita memakai jimat atau penangkal?”

Jawab: “Tidak boleh, bahkan termasuk syirk. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ

“Barang siapa yang memakai jimat, maka sesungguhnya ia telah berbuat syirk.” (Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad)

Jika ia meyakini bahwa jimat itu sebagai sebab saja maka ia telah berbuat Syirk Asghar (kecil), karena Allah sama sekali tidak menjadikan benda-benda tersebut sebagai sebab, namun apabila ia meyakini bahwa jimat tersebut dengan sendirinya bisa mendatangkan manfaat dan menolak bahaya maka ia telah berbuat Syirk Akbar.

  • Pertanyaan: “Dengan apakah kita bertawassul (memakai perantara dalam berdoa) kepada   Allah?”

Jawab: “Dengan nama-nama Allah, sifat-Nya dan dengan amal saleh yang kita kerjakan. Dengan nama Allah misalnya “Ya Allah, Engkau adalah Ar Razzaq (Maha Pemberi rezeki), maka karuniakanlah rezeki kepadaku”, sedangkan dengan amal saleh misalnya mengatakan “Ya Allah, jika sedekah yang aku keluarkan ini ikhlas karena Engkau maka kabulkanlah permohonanku.” Selain itu kita diperbolehkan bertawassul dengan doa orang saleh yang masih hidup, misalnya mengatakan “Ustadz, doakan saya agar Allah menyelamatkan saya di perjalanan.”

  • Pertanyaan: “Sebagian orang ada yang mengatakan “Wahai Rasulullah, syafa’atkanlah kami” benarkah perkataan tersebut menurut syari’at?”

Jawab: “Tidak benar, apabila kita ingin mendapatakan syafa’at Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan meminta kepada Allah seperti mengatakan “Ya Allah, berilah kami syafa’at Rasul-Mu” dan dengan mengerjakan amalan yang jika dikerjakan akan mendapat syafa’at Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti bershalawat setelah azan, ikhlas mengucapkan Laailaahaillallah dsb.

  • Pertanyaan: “Bolehkah menghukumi kafir kepada seseorang?”

Jawab, “Tidak boleh mengkafirkan seorang muslim karena ia melakukan dosa besar kecuali apabila ia melakukan dosa-dosa besar yang mengeluarkan dari Islam berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah yang shahihah bahwa dosa besar itu mengeluarkan dari Islam, dan telah terpenuhi syarat-syaratnya yaitu apabila ia melakukannya dengan kerelaan (yakni tidak dipaksa), merasa tentram hati dengannya, sadar, baligh dan berakal.

Takfir adalah masalah yang butuh kehati-hatian, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ *

“Dan barang siapa yang memanggil seseorang “Kafir” atau “Musuh Allah” padahal orang itu tidak demikian keadaannya maka akan kembali kepadanya (yang memanggilnya). (HR. Muslim)

  • Pertanyaan: “Bolehkah mengada-ngada (berbuat bid’ah) dalam agama, dan apakah ada bid’ah hasanah (yang baik)?”

Jawab, “Tidak boleh, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٍ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Jauhilah olehmu perkara yang diada-adakan, karena semua yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat ”(Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud)

Hadits ini juga menunjukkan bahwa tidak ada bid’ah hasanah."

  • Pertanyaan: “Kapankah kaum mislimin akan kembali jaya?”

Jawab: “Apabila mereka kembali kepada agamanya dengan mengamalkannya.”

Marwan bin Musa

Maraji’: ‘Aqiidatu kulli Muslim (M. bin Jamil Zainu), dll.

Page 1 of 2