Materi pertama yang harus diketahui seorang muslim adalah materi Aqidah Islam. Hal itu, karena ‘Aqidah merupakan pondasi agama, maka perlu diperkuat dan diperkokoh agar bangunan yang di atasnya tidak mudah roboh. Berikut ini di antara ‘Aqidah yang harus dimiliki oleh seorang muslim, disusun dalam bentuk tanya jawab.
- Pertanyaan: “Untuk apa Allah menciptakan kita?”
Jawab, “Untuk beribadah hanya kepada-Nya, lihat surat Adz Dzariyat: 56.”
- Pertanyaan: “Bagaimanakah cara kita beribadah kepada Allah?”
Jawab, “Caranya adalah dengan mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya dengan disertai rasa ikhlas karena Allah dalam mengerjakannya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَن عَمِلَ عمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أمْرُنا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengerjakan amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)
Ini adalah syarat diterimanya ibadah.
- Pertanyaan: “Haruskah dalam beribadah kepada Allah ada rasa khauf (takut) dan rajaa’ (berharap)?”
Jawab, “Ya, Allah berfirman,
“Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan berharap.” (Terj. QS. Al A’raaf : 56)
Yakni takut terhadap siksa-Nya dan berharap akan surga-Nya, di samping harus adanya rasa cinta (mahabbah) kepada Allah. Inilah pilar-pilar ibadah.
- Pertanyaan: “Apa maksud ihsan dalam beribadah?”
Jawab, “Maksudnya adalah kita beribadah dengan merasakan adanya pengawasan Allah kepada kita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“(Ihsan adalah) kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, namun jika kamu tidak merasakan begitu, maka ketahuilah bahwa Dia melihatmu.” (HR. Muslim)
- Pertanyaan: “Mengapa Allah mengutus para rasul?”
Jawab, “Agar mengajak manusia menyembah hanya kepada Allah saja (tauhid) dan menjauhi sesembahan selain-Nya (syirk) serta memberitahukan kepada manusia mana jalan yang diridhai Allah dan mana jalan yang dimurkai-Nya.”
- Pertanyaan: “Apa makna “Laaailaahaillallah” & “Muhammad Rasulullah”?”
Jawab, “Maknanya adalah “Laaa ma’buuda bihaqqin illallah” artinya, “Tidak ada tuhan yang berhak disembah/diibadahi kecuali Allah”, yang mengharuskan kita hanya beribadah kepada-Nya dan meniadakan sesembahan selain-Nya. Sedangkan makna Muhammad Rasulullah adalah kita meyakini dan mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah, yang mengharuskan kita menaati perintahnya, menjauhi larangannya, membenarkan setiap sabdanya dan beribadah kepada Allah Ta’ala sesuai contohnya.”
- Pertanyaan: “Kita diperintahkan untuk mentauhidkan Allah baik dalam uluhiyyah, rububiyyah maupun asmaa’ wa shifaat, lalu apa maksudnya?”
Jawab, “Tauhid Uluhiyyah maksudnya kita mengarahkan ibadah hanya kepada Allah Ta’ala saja. Misalnya berdoa, bertawakkal, berkurban, meminta pertolongan dan perlindungan, ruku’-sujud dan ibadah lainnya kepada Allah saja. Tauhid Rububiyyah maksudnya kita meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya yang menciptakan, memberi rezeki, menguasai alam semesta dan yang mengurus semua makhluk-Nya. Sedangkan Tauhid Asmaa’ wa Shifaat maksudnya kita meyakini bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat sebagaimana yang disebutkan Allah dalam Al Qur’an dan Rasul-Nya dalam As Sunnah tanpa menyerupakan sifat Allah tersebut dengan sifat makhluk-Nya (tamtsil), menanyakan bagaimana sifat Allah (takyif), meniadakan sifat Allah (ta’thil) dan tanpa menakwil sifat Allah tersebut (tahrif).
- Pertanyaan: “Adakah Nabi lagi setelah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam?”
Jawab, “Tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau adalah penutup para nabi, tidak ada lagi nabi sesudahnya, lihat surat Al Ahzaab ayat 40.
- Pertanyaan: “Di manakah Allah?”
Jawab, “Di atas langit, bersemayam di atas ‘Arsy(singgasana)-Nya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bertanya -untuk mengetes- seorang budak wanita dengan pertanyaan:
أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Di manakah Allah?” Budak itu menjawab, “Di atas langit”, maka Beliau bersabda, “Bebaskanlah dia, karena dia seorang mukminah.” (HR. Muslim) jawaban wanita itu dibenarkan oleh Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.
- Pertanyaan: “Dosa apakah yang paling besar?”
Jawab, “Dosa yang paling besar adalah syirk (menyekutukan Allah), lihat surat Luqman: 13.
Syirk terbagi dua: Syirk Akbar dan Syirk Asghar. Syirk Akbar (besar) misalnya syirk dalam rububiyyah dan uluhiyyah Allah. Dalam Rububiyyah maksudnya meyakini bahwa di samping Allah ada juga yang mengatur dan menguasai alam semesta. Sedangkan syirk dalam Uluhiyyah adalah mengarahkan segala macam ibadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Misalnya berdoa dan meminta kepada selain Allah, ruku’ dan sujud kepada selain Allah, berkurban untuk selain Allah (seperti membuat sesaji untuk jin atau penghuni kubur), bertawakkal kepada selain Allah dan mengarahkan berbagai macam penyembahan/ibadah kepada selain Allah.
Adapun Syirk Asghar (kecil) adalah perbuatan, ucapan atau niat yang dihukumi syirk namun tidak mengeluarkan seseorang dari Islam, karena bisa mengarah kepada Syirk Akbar. Contohnya adalah bersumpah dengan nama selain Allah, riya’, beribadah dengan tujuan mendapatkan dunia, Thiyarah (merasa sial dengan sesuatu sehingga tidak melanjutkan keinginannya). Termasuk syirk ashghar juga seperti yang dijelaskan Ibnu ‘Abbas berikut ketika menafsirkan surat Al Baqarah ayat 22:
"Tandingan-tandingan tersebut adalah perbuatan syirk, di mana hal itu lebih halus daripada semut di atas batu yang hitam di kegelapan malam. Misalnya kamu mengatakan "Demi Allah dan demi hidupmu hai fulan", dan "Demi hidupku", juga kata-kata "Kalau seandainya tidak ada anjing kecil ini tentu kita kedatangan pencuri", dan kata-kata "Kalau seandainya tidak ada angsa ini tentu kita kedatangan pencuri", juga pada kata-kata seseorang kepada kawannya "Atas kehendak Allah dan kehendakmu", dan pada kata-kata seseorang "Kalau seandainya bukan karena Allah dan si fulan (tentu…)", jangan kamu tambahkan fulan padanya, semua itu syirk."
- Pertanyaan: “Bolehkah kita meminta pertolongan kepada orang yang sudah mati atau orang yang jauh tidak berada di dekat kita?”
Jawab: “Tidak boleh, kita harus meminta pertolongan kepada Allah saja.”
- Pertanyaan: “Bolehkah kita meminta pertolongan kepada orang yang hidup dan berada di dekat kita?”
Jawab: “Boleh, dalam hal yang mereka mampu menolongnya.”
Perlu diketahui bahwa meminta pertolongan itu terbagi terbagi dua:
- ü Isti’anah Tafwidh, meminta pertolongan dengan menampakkan kehinaan, pasrah dan sikap harap, ini hanya boleh kepada Allah saja. Hukumnya syirk apabila mengarahkan kepada selain Allah.
- ü Isti’anah Musyarakah, meminta pertolongan dalam arti meminta keikut-sertaan orang lain untuk turut membantu, maka tidak mengapa kepada makhluk, namun dengan syarat dalam hal yang mereka mampu membantunya.
- Pertanyaan: “Bolehkah shalat menghadap kubur atau di depannya ada kubur?”
Jawab: “Tidak boleh, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا
“Janganlah kalian duduk di atas kubur dan jangan shalat ke arahnya.” (HR. Muslim)
Perlu diketahui, bahwa jika di depan masjid ada kubur maka tidak cukup dinding masjid sebagai pemisah dengan kubur, bahkan harus ada pemisah lagi.
- Pertanyaan: “Apa hukum mempraktekkan sihir seperti pelet, santet, tenung dsb?”
Jawab: “Hukumnya haram dan termasuk dosa-dosa besar yang membinasakan seseorang dunia-akhirat, bahkan termasuk pembatal keislaman.”
- Pertanyaan: “Bolehkah pergi ke dukun atau paranormal untuk bertanya sesuatu?”
Jawab: “Tidak boleh, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “
مَنْ أتَى عَرّافاً فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةُ أرْبََعِيْنَ لَيْلَةً
“Barang siapa yang mendatangi paranormal, lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka tidak akan diterima shalatnya selama 40 malam.” (HR. Muslim)
Apabila ditambah dengan membenarkan kata-kata mereka maka sama saja ia telah kufur kepada Al Qur’an, karena tidak ada yang mengetahui yang ghaib selain Allah saja.
- Pertanyaan: “Bolehkah kita memakai jimat atau penangkal?”
Jawab: “Tidak boleh, bahkan termasuk syirk. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barang siapa yang memakai jimat, maka sesungguhnya ia telah berbuat syirk.” (Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad)
Jika ia meyakini bahwa jimat itu sebagai sebab saja maka ia telah berbuat Syirk Asghar (kecil), karena Allah sama sekali tidak menjadikan benda-benda tersebut sebagai sebab, namun apabila ia meyakini bahwa jimat tersebut dengan sendirinya bisa mendatangkan manfaat dan menolak bahaya maka ia telah berbuat Syirk Akbar.
- Pertanyaan: “Dengan apakah kita bertawassul (memakai perantara dalam berdoa) kepada Allah?”
Jawab: “Dengan nama-nama Allah, sifat-Nya dan dengan amal saleh yang kita kerjakan. Dengan nama Allah misalnya “Ya Allah, Engkau adalah Ar Razzaq (Maha Pemberi rezeki), maka karuniakanlah rezeki kepadaku”, sedangkan dengan amal saleh misalnya mengatakan “Ya Allah, jika sedekah yang aku keluarkan ini ikhlas karena Engkau maka kabulkanlah permohonanku.” Selain itu kita diperbolehkan bertawassul dengan doa orang saleh yang masih hidup, misalnya mengatakan “Ustadz, doakan saya agar Allah menyelamatkan saya di perjalanan.”
- Pertanyaan: “Sebagian orang ada yang mengatakan “Wahai Rasulullah, syafa’atkanlah kami” benarkah perkataan tersebut menurut syari’at?”
Jawab: “Tidak benar, apabila kita ingin mendapatakan syafa’at Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan meminta kepada Allah seperti mengatakan “Ya Allah, berilah kami syafa’at Rasul-Mu” dan dengan mengerjakan amalan yang jika dikerjakan akan mendapat syafa’at Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti bershalawat setelah azan, ikhlas mengucapkan Laailaahaillallah dsb.
- Pertanyaan: “Bolehkah menghukumi kafir kepada seseorang?”
Jawab, “Tidak boleh mengkafirkan seorang muslim karena ia melakukan dosa besar kecuali apabila ia melakukan dosa-dosa besar yang mengeluarkan dari Islam berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah yang shahihah bahwa dosa besar itu mengeluarkan dari Islam, dan telah terpenuhi syarat-syaratnya yaitu apabila ia melakukannya dengan kerelaan (yakni tidak dipaksa), merasa tentram hati dengannya, sadar, baligh dan berakal.
Takfir adalah masalah yang butuh kehati-hatian, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ *
“Dan barang siapa yang memanggil seseorang “Kafir” atau “Musuh Allah” padahal orang itu tidak demikian keadaannya maka akan kembali kepadanya (yang memanggilnya). (HR. Muslim)
- Pertanyaan: “Bolehkah mengada-ngada (berbuat bid’ah) dalam agama, dan apakah ada bid’ah hasanah (yang baik)?”
Jawab, “Tidak boleh, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٍ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Jauhilah olehmu perkara yang diada-adakan, karena semua yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat ”(Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud)
Hadits ini juga menunjukkan bahwa tidak ada bid’ah hasanah."
- Pertanyaan: “Kapankah kaum mislimin akan kembali jaya?”
Jawab: “Apabila mereka kembali kepada agamanya dengan mengamalkannya.”
Marwan bin Musa
Maraji’: ‘Aqiidatu kulli Muslim (M. bin Jamil Zainu), dll.