Diriwayatkan dari Abu Waa’il berkata, “Dahulu, ‘Abdullah bin Mas’ud r.a. menyampaikan nasihat setiap hari Kamis. Lalu salah seorang dari hadirin berkata, ‘Wahai Abu ‘Abdurrahman, alangkah baiknya bila engkau memberikan nasihat kepada kami setiap hari!’ Maka ‘Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata: ‘Sesungguhnya, tidak ada yang menghalangiku untuk itu. Hanya saja, aku tidak ingin membuat kalian bosan.[1] Dan aku telah memilih waktu yang tepat buat kalian sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap kami, karena beliau khawatir membuat kami bosan’,” (HR Bukhari [70] dan Muslim [2821]).
Diriwayatkan dari ‘Ikrimah, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a. berkata, “Sampaikanlah nasihat kepada orang-orang setiap Jum’at sekali. Jika mereka merasa kurang, maka dua kali dalam sepekan. Jika engkau ingin lebih banyak, maka tiga kali dalam sepekan. Janganlah membuat orang-orang bosan mendengarkan Al-Qur’an. Jangan sampai aku dapati engkau mendatangi sekelompok orang yang sedang asyik berbicara lalu engkau datang menyampaikan nasihat kepada mereka sehingga mereka harus memutus pembicaraan mereka, sebab engkau akan membuat mereka bosan. Akan tetapi tahanlah dulu nasihatmu, jika mereka menyuruhmu berbicara maka sampaikanlah nasihatmu itu karena mereka pasti suka mendengarnya. Hindarilah kata-kata sajak dalam berdo'a, sebab aku melihat Rasulullah saw. dan para sahabat beliau menjauhinya." (HR Bukhari [6337]).
Kandungan Bab:
Al-Khathib al-Baghdadi berkata dalam kitab al-Jaami' li Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami' [11/127] dalam bab: Makruh hukumnya membuat bosan pendengar dan membuat mereka gaduh karena terlalu panjang atau terlalu banyak menyampaikan pembicaraan, sebagai berikut: "Seyogianya seorang muhaddits (pembicara) tidak memperpanjang majelis. Hendaklah ia menyampai-kan pembicaraan yang sedang-sedang saja. Dan supaya para pendengar tidak merasa bosan dan jemu sehingga akan membuat mereka malas dan tidak ber-gairah mendengarnya."
Kemudian beliau menukil perkataan al-Mubarrid berikut ini, "Barangsiapa memperpanjang pembicaraan dan memperbanyak kata-kata, maka ia akan membuat bosan para pendengar dan mengacaukan majelis. Sekiranya ia sisakan pembicaraan untuk kesempatan berikut tentu lebih baik daripada memaksa para hadirin untuk mendengar pembicaraannya sementara mereka tidak suka dan tidak bergairah lagi mendengarnya."
Beliau juga menukil perkataan 'Abdullah bin al-Mu'taz berikut ini, "Di antara para muhaddits ada yang pintar menyampaikan dan menyimak pembicaraan. la pintar menghindari kebosanan dengan mengurangi pembicaraan. Sebab gairah akan bertambah bilamana dibacakan kata-kata hikmah. la juga harus pintar memutus dan menyambung pembicaraan, menukil dan mengisyarat-kannya. Semua itu akan memperelok etika bicara. Sebagaimana dirinya akan bertambah elok bila dihiasi dengan adab yang terpuji."
Seperti yang sudah dimaklumi, pendengar lebih cepat merasa bosan daripada pembicara. Dan bahwasanya hati juga bisa merasa bosan sebagaimana halnya anggota tubuh yang lain.
Oleh sebab itu dianjurkan agar membawakan kata-kata hikmah untuk menyegarkan hati. Berdasarkan atsar yang diriwayatkan oleh az-Zuhri sebagai berikut: "Dahulu, ada seorang laki-laki ikut menghadiri majelis seorang Sahabat Nabi yang sedang memberikan nasihat kepada orang-orang. Setelah berbicara panjang dan setelah merasa berat berbicara, ia pun berkata: 'Sesungguhnya telinga juga bisa merasa bosan. Dan sesungguhnya hati ini juga butuh penyegaran. Lantunkahlah sya'ir-sya'ir dan kisah-kisah kalian’." (HR Al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Jaami' li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami' [11/129-130] dan al-Baihaqi dalam al-Madkhal ilas Sunanil Kubra [606]).
Oleh sebab itu, apabila imam az-Zuhri diminta menyampaikan hadits, beliau mengatakan, "Segarkanlah kami dengan pembicaraan yang lain." (HR Al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Jaami 'li Akhlaaqir Raawi waAdaabis Saami' [11/130] dan al-Baihaqi dalam al-Madkhal ilas Sunanil Kubra [606]).
Muhammad bin 'Abdul Wahhab berkata, "Sebabnya adalah, seekor unta biasa melahap rumput, lalu ia bosan memakannya. Lalu ia beralih memakan syauraq, yakni sejenis tumbuhan yang masam. Setelah memakan syauraq itu akan timbul kerinduannya memakan rumput kembali. Oleh karena itulah beliau mengatakan, 'Segarkanlah kami!' Yakni sertakanlah pembicaraan lain selain hadits sehingga jiwa bisa kembali segar." (Al-Madkbal ilas Sunanil Kubra [360]).
.......................................
[1] Yakni, mengatur jadwal untuk kemaslahatan kami, maksudnya, beliau memilih waktu yang tepat untuk menyampaikan nasihatnya kepada kami.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/220-222.