Penuntut ilmu memiliki tanggung jawab yang sangat besar di tengah-tengah masyarakat. Besarnya tergantung tingkat keilmuan yang dimilikinya, tingkat kebutuhan masyarakat terhadap-nya serta kemampuan yang dimilikinya. Diantara tanggung jawab terpenting atas para penuntut ilmu adalah:
Tanggung jawab terhadap diri sendiri Yaitu mempersiapkan diri dan jiwa untuk belajar dan berdakwah, menunaikan kewajiban serta perhatian terhadap ilmu, tafaqquh (berusaha sungguh sungguh) dalam memahami agama. Di samping itu ia harus banyak menelaah
dalil-dalil syar'i serta perhatian terhadapnya, sebab seorang penuntut ilmu sangat membutuhkan perbendaharaan dalil sebanyak mungkin. Selain itu ia harus memahami pendapat-pendapat para ulama serta perbedaan (khilafiyah) yang terjadi di antara mereka, mengetahui pendapat yang terkuat berdasar dalil dari Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah bukan semata-mata karena taklid terhadap ulama fulan. Sebab jika sekedar taklid semua orang tentu bisa dan tak perlu membutuhkan ilmu.
Imam Ibnu Abdil Barr (Penulis kitab "At-Tamhid", seorang ulama terkemuka pada masanya) pernah berkata: "Para ulama sepakat bahwa muqallid (orang yang bertaklid) tidaklah dianggap sebagai ulama. "
Faham betul terhadap dalil merupakan keharusan dan tanggung jawab seorang penuntut ilmu, ia harus bersungguh sungguh mengerti setiap persoalan dengan jelas. Dasar-dasar pengambilan hukum haruslah berpijak kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah serta kaidah-kaidah yang mu'tabarah di atas bayyinah (penjelasan) yang terang. Ia hendaknya juga menghubungkan serta memperkuat (hujjah) dengan ucapan para ulama. Memahami
pendapat para ulama sangat membantu dalam memahami dalil, menarik kesimpulan hukum serta membantu dalam mengeta-hui pendapat yang kuat dan yang lemah.
Penuntut ilmu harus bersikap ikhlas semata-mata karena Allah Yaitu untuk mendekatkan diri kepadaNya dan hanya untuk mencapai keridhaanNya. Juga kesadaran bahwa itu merupakan kewajiban yang harus ditunaikan dan lebih dari itu adalah agar dapat memberikan manfaat kepada sesama manusia. Jangan sekali-kali seorang penuntut ilmu bertujuan (dengan ilmunya) untuk sekedar mendapatkan harta dunia serta perolehan yang bersifat sementara. Atau bertujuan agar dipandang (riya') serta populer di tengah manusia (sum'ah) yang kesemua itu merupakan sifat dan keadaan orang munafik-wal 'iyadzu billah.
Seorang thalib ilmu atau da'i ucapan, penjelasan, fatwa serta perbuatannya harus diatas bayyinah (petunjuk ilmu), dan ia tidak boleh menyepelekan masalah ini. Tingkah laku dan tindak tanduk seorang penuntut ilmu (santri, ustadz, kiyai dan sebagainya, red) akan menjadi sorotan dan ikutan bagi orang yang disekitarnya.
Seorang pengajar misalnya, tentu perilakunya akan menjadi panutan dan contoh bagi anak didiknya. Seorang mufti jelas ucapannya akan diambil oleh banyak orang, demikian pula dengan para da'i, dan akan lebih besar lagi urusan-nya adalah jika ia seorang qadhi (hakim).
Maka wajib bagi para penuntut ilmu untuk menentukan sikap dihadapan Rabbnya, yaitu sikap ikhlas dan jujur dalam mencari ridhaNya. Memiliki semangat dan kemauan yang tanpa batas dalam menyelami dalil serta menelitinya, selalu berdiri diatas dalil tersebut. Dengan ini terbentanglah dihadapannya dunia, berfatwa berdasar ilmu, berdakwah dan mengajar atas dasar ilmu, beramar ma'ruf nahi munkar dengan ilmu sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Katakanlah: "Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata (ilmu)." (Yusuf: 108)
Mengajarkan serta menyampai-kan ilmu kepada orang lain. Para ulama adalah pengganti rasul dan pewaris para nabi. Telah jelas kedudukan para rasul adalah sebagai
pemandu dan penunjuk jalan bagi umatnya, mengantarkan mereka menuju kebahagiaan dan keselamatan.
Para ulama juga menempati posisi dan kedudukan ini, yaitu menyampaikan dan mengajarkan ilmu, karena sudah tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam.
Jadi yang harus dilakukan adalah menyampaikan syari'at yang dibawa oleh Nabi Muhammad, mendakwahkan, menjelaskan serta menyebarkannya kepada umat manusia. Orang-orang yang ahli dan berkompeten dalam bidang ini tak lain adalah mereka para
ulama. Mereka adalah penyeru dan penuntun umat dengan ucapan, perbuatan, tingkah laku baik yang lahir maupun yang batin.
Kewajiban para da'i amatlah besar, demikian pula resiko dan bahayanya. Umat berada dalam tanggungannya, mereka semua butuh bimbingan dan pengarahan melalui berbagai cara dan bentuk. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
"Siapakah yang lebih baik perkata-annya daripada orang yang menyeru kepada Allah,mengerjakan amal yang saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. (Fushshilat: 33).
Memang demikianlah kenyataannya bahwa tiada ucapan yang paling baik melebihi ucapan mereka para da'i yang menyeru ke jalan Allah, yang pelopor dan pembesarnya adalah para rasul dan anbiya' alaihimus salam, kemudian diikuti oleh para alim ulama dan para da'i.
Agar mencapai hasil yang optimal dalam dakwah seorang da'i dituntut untuk memperbanyak ilmu, memperbaiki ketakwaan, rasa takut kepada Allah serta keikhlasan semata-mata karenaNya.
Dengan demikian maka manfaat yang diperoleh semakin banyak dan luas serta tabligh yang ia lakukan akan sempurna.
Allah menerangkan bahwa Nabi n diutus untuk keperluan dakwah (menye-ru) ke jalan Allah di atas bashirah,sebagaimana firman Allah dalam surat Yusuf ayat 108.
Maka wajib bagi setiap penuntut ilmu untuk menelusuri jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah yaitu berdakwah di atas bashirah (petunjuk ilmu). Itulah jalan Nabi dan para pengikutnya. Seorang hamba tak mungkin akan menjadi pengikut Nabi yang baik jika tidak menempuh jalan tersebut.Dengan diharuskannya berdakwah maka berarti seorang penuntut ilmu dan da'i tidak boleh menyembunyikan ilmu, namun hendaknya ia berusaha menjelaskan yang haq serta berusaha membela Islam dari pihak-pihak yang
menentang atau menyelewengkannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, Kecuali mereka yang telah taubat
dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebe-naran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (Al-Baqarah: 159-160)
Dalam ayat di atas Allah memperingatkan kita dari menyembunyikan ilmu sekaligus memberi ancaman serta melaknat pelakunya. Dan agar kita semua selamat dari laknat dan ancaman tersebut Allah menjelaskan tiga perkara yang harus ditempuh, yaitu taubat, ishlah dan bayan. Taubat dari berbagai dosa dan kekurangan di masa lalu, ishlah atau memperbaiki diri dalam berbagai segi dan bayan atau menjelaskan ilmu atau amalan yang dulu disembunyi-kan, ta'wil yang salah karena adanya tujuan pribadi yang sifatnya sementara.
Setiap penuntut ilmu berkewajiban untuk memiliki akhlak yang luhur sebagaimana yang dicontohkan Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam Dia harus jujur dihadapan Allah dalam perbuatan dan bicaranya, menyampaikan perintah dan larangan Allah, beramar ma'ruf nahi mungkar kepada orang lain sesuai kemampuan-nya. Hal ini merupakan keharusan apalagi di zaman sekarang ini di mana kemaksiatan dan kemungkaran merajalela sedangkan jumlah ulama sangatlah sedikit, tak seimbang dengan umat yang harus ditanganinya.
Hampir tak terhitung penyeru-penyeru yang mengajak kepada kebatilan, perilaku rendah dan mengajak ke neraka dengan berbagai macam bentuk, cara dan sarana. Maka dibutuhkan pasukan kebaikan sebanyak mereka bahkan jika perlu lebih banyak lagi untuk membendung para antek kemungkaran tersebut.Tidak lain yang diinginkan syetan dan bala tentaranya dengan seruannya, melainkan kehancuran umat Islam dan
menggiring mereka ke neraka. Mereka semua menginginkan agar kita kaum muslimin sama dengan mereka dalam tingkah laku, kehidupan dan gaya sehingga akhirnya bersama-sama pula masuk Neraka menemani mereka.
Sebagaimana difrmankan Allah:
"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syetan-syetan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala." (Fathir: 6)
Seorang penuntut ilmu pantang untuk bersikap lemah dan patah semangat dalam menyampai-kan agama Allah kepada manusia. Di manapun berada terus berusaha untuk saling menasehati dengan segenap kemampuan. Menasehati siapa saja yang ia mampu, pemimpin, tokoh masyarakat, para pemuka atau siapa saja yang terpandang dan punya
kedudukan di desa maupun di kota. Berbicara dengan mereka secara baik-baik dan saling menolong dalam kebaikan dan takwa, menasihati dan saling mengingatkan dengan ucapan yang sopan, lembut dan tidak saling mencela.
Demikian pula jika mampu ia dapat menasihati para pejabat dan petinggi negara, para hakim atau qadhi sesama da'i dan secara umum kepada segenap kaum muslimin. Wallahu a'lam. (Dari "Mas'uliyah Thalib Al-Ilm", Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz).