Seiring dengan makin jauhnya zaman dari masa kenabian shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka semakin banyak pula kesesatan dan bid’ah yang tersebar di tengah kaum muslimin[1], sehingga indahnya sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kebenaran makin asing dalam pandangan mereka. Bahkan lebih dari pada itu, mereka menganggap perbuatan-perbuatan bid’ah yang telah tersebar sebagai kebenaran yang tidak boleh ditinggalkan, dan sebaliknya jika ada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dihidupkan dan diamalkan kembali, mereka akan mengingkarinya dan memandangnya sebagai perbuatan buruk.

Sahabat yang mulia, Hudzaifah bin al-Yaman rahdiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh perbuatan-perbuatan bid’ah akan bermunculan (di akhir zaman) sehingga kebenaran (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak lagi terlihat kecuali (sangat sedikit) seperti cahaya yang (tampak) dari celah kedua batu (yang sempit) ini. Demi Allah, sungguh perbuatan-perbuatan bid’ah akan tersebar (di tengah kaum muslimin), sampai-sampai jika sebagian dari perbuatan bid’ah tersebut ditinggalkan, orang-orang akan mengatakan: sunnah (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah ditinggalkan!”[2].

Keadaan ini semakin diperparah kerusakannya dengan keberadaan para tokoh penyeru bid’ah dan kesesatan, yang untuk mempromosikan dagangan bid’ah, mereka tidak segan-segan memberikan iming-iming janji keutamaan dan pahala besar bagi orang-orang yang mengamalkan ajaran bid’ah tersebut.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau pada saat ini tidak sedikit kaum muslimin yang terpengaruh dengan propaganda tersebut, sehingga banyak di antara mereka yang lebih giat dan semangat mengamalkan berbagai bentuk zikir, wirid maupun shalawat bid’ah yang diajarkan para tokoh tersebut daripada mempelajari dan mengerjakan amalan yang bersumber dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum.

Tentu saja ini termasuk tipu daya setan untuk memalingkan manusia dari jalan Allah Ta’ala yang lurus. Allah Ta’ala berfirman,

{وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا}

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)” (QS al-An’aam:112).

Bahkan setan berusaha menghiasi perbuatan-perbuatan bid’ah dan sesat tersebut sehingga terlihat indah dan baik di mata manusia, dengan mengesankan bahwa dengan mengerjakan amalan bid’ah tersebut hati menjadi tenang dan semua kesusahan yang dihadapi akan teratasi (??!!). Pernyataan-pernyataan seperti ini sangat sering terdengar dari para pengikut ajaran-ajaran bid’ah tersebut, sebagai bukti kuatnya cengkraman tipu daya setan dalam diri mereka. Allah Ta’ala berfirman,

{أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ}

Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS Faathir:8).



Setiap orang yang beriman kepada Allah Ta’ala wajib meyakini bahwa sumber ketenangan jiwa dan ketentraman hati yang hakiki adalah dengan berzikir kepada kepada Allah Ta’ala, membaca al-Qur’an, berdoa kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang maha Indah, dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

{الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ}

Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS ar-Ra’du:28).

Artinya: dengan berzikir kepada Allah Ta’ala segala kegalauan dan kegundahan dalam hati mereka akan hilang dan berganti dengan kegembiraan dan kesenangan[3].

Bahkan tidak ada sesuatupun yang lebih besar mendatangkan ketentraman dan kebahagiaan bagi hati manusia melebihi berzikir kepada Allah Ta’ala[4].

Salah seorang ulama salaf berkata, “Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini”. Maka ada yang bertanya, “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini?” Ulama ini menjawab, “Cinta kepada Allah, merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya[5].

Inilah makna ucapan yang masyhur dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – , “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti[6].

Makna “surga di dunia” dalam ucapan beliau ini adalah kecintaan (yang utuh) dan ma’rifah (pengetahuan yang sempurna) kepada Allah Ta’ala (dengan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya dengan cara baik dan benar) serta selalu berzikir kepada-Nya, yang dibarengi dengan perasaan tenang dan damai (ketika mendekatkan diri) kepada-Nya, serta selalu mentauhidkan (mengesakan)-Nya dalam kecintaan, rasa takut, berharap, bertawakkal (berserah diri) dan bermuamalah, dengan menjadikan (kecintaan dan keridhaan) Allah Ta’ala satu-satunya yang mengisi dan menguasai pikiran, tekad dan kehendak seorang hamba. Inilah kenikmatan di dunia yang tiada bandingannya yang sekaligus merupakan qurratul ‘ain (penyejuk dan penyenang hati) bagi orang-orang yang mencintai dan mengenal Allah I[7].

Demikian pula jalan keluar dan penyelesaian terbaik dari semua masalah yang dihadapi seorang manusia adalah dengan bertakwa kepada Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya,

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ}

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya” (QS. ath-Thalaaq:2-3).

Ketakwaan yang sempurna kepada Allah tidak mungkin dicapai kecuali dengan menegakkan semua amal ibadah, serta menjauhi semua perbuatan yang diharamkan dan dibenci oleh Allah Ta’ala[8].

Dalam ayat berikutnya Allah berfirman,

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4).

Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya)[9].

Adapun semua bentuk zikir, wirid maupun shalawat yang tidak bersumber dari petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun banyak tersebar di masyarakat muslim, maka semua itu adalah amalan buruk dan tidak mungkin akan mendatangkan ketenangan yang hakiki bagi hati dan jiwa manusia, apalagi menjadi sumber penghilang kesusahan mereka. Karena semua perbuatan tersebut termasuk bid’ah[10] yang jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka”[11].

Hanya amalan ibadah yang bersumber dari petunjuk al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari noda dosa dan maksiat yang mengotorinya, yang dengan itulah hati dan jiwa manusia akan merasakan ketenangan dan ketentraman.

Allah Ta’ala berfirman,

{لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ}

Sungguh Allah telah memberi karunia (yang besar) kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur-an) dan Al Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Ali ‘Imraan:164).

Makna firman-Nya “mensucikan (jiwa) mereka” adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya (hidayah Allah I)[12].

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ}

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS Yuunus:57).

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan perumpaan petunjuk dari Allah Ta’ala yang beliau bawa seperti hujan baik yang Allah Ta’ala turunkan dari langit, karena hujan yang turun akan menghidupkan dan menyegarkan tanah yang kering, sebagaimana petunjuk Allah Ta’ala akan menghidupkan dan menentramkan hati manusia. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perumpaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allah wahyukan kepadaku adalah seperti air hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…[13].



Kalau ada yang berkata, Realitanya di lapangan banyak kita dapati orang-orang yang mengaku merasakan ketenangan dan ketentraman batin (?) setelah mengamalkan zikir-zikir, wirid-wirid dan shalawat-shalawat bid’ah lainnya.

Jawabannya: Kenyataan tersebut di atas tidak semua bisa diingkari, meskipun tidak semua juga bisa dibenarkan, karena tidak sedikit kebohongan yang dilakukan oleh para penggemar zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah tersebut untuk melariskan dagangan bid’ah mereka.

Kalaupun pada kenyataannya ada yang benar-benar merasakan hal tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa itu adalah ketenangan batin yang palsu dan semu, karena berasal dari tipu daya setan dan tidak bersumber dari petunjuk Allah I. Bahkan ini termasuk perangkap setan dengan menghiasi amalan buruk agar telihat indah di mata manusia.

Allah Ta’ala berfirman,

{أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ}

Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS Faathir:8).

Artinya: setan menghiasi perbuatan mereka yang buruk dan rusak, serta mengesankannya baik dalam pandangan mata mereka[14].

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

{وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا}

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)” (QS al-An’aam:112).

Artinya: para setan menghiasi amalan-amalan buruk bagi manusia untuk menipu dan memperdaya mereka[15].

Demikianlah gambaran ketenangan batin palsu yang dirasakan oleh orang-orang yang mengamalkan zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah, yang pada hakekatnya bukan ketenangan batin, tapi merupakan tipu daya setan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah Ta’ala, dengan mengesankan pada mereka bahwa perbuatan-perbuatan tersebut baik dan mendatangkan ketentraman batin.

Bahkan sebagian mereka mengaku merasakan kekhusyuan hati yang mendalam ketika membaca zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah tersebut melebihi apa yang mereka rasakan ketika membaca dan mengamalkan zikir-zikir/wirid-wirid yang bersumber dari wahyu Allah Ta’ala.

Padahal semua ini justru merupakan bukti nyata kuatnya kedudukan dan tipu daya setan bersarang dalam diri mereka. Karena bagaimana mungkin setan akan membiarkan manusia merasakan ketenangan iman dan tidak membisikkan was-was dalam hatinya?

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah membuat perumpaan hal ini[16] dengan seorang pencuri yang ingin mengambil harta orang. Manakah yang akan selalu diintai dan didatangi oleh pencuri tersebut: rumah yang berisi harta dan perhiasan yang melimpah atau rumah yang kosong melompong bahkan telah rusak?

Jawabnya: jelas rumah pertama yang akan ditujunya, karena rumah itulah yang bisa dicuri harta bendanya. Adapun rumah yang pertama, maka akan “aman” dari gangguannya karena tidak ada hartanya, bahkan mungkin rumah tersebut merupakan lokasi yang strategis untuk dijadikan tempat tinggal dan sarangnya.

Demikinlah keadaan hati manusia, hati yang dipenuhi tauhid dan keimanan yang kokoh kepada Allah Ta’ala, karena selalu mengamalkan petunjuk-Nya, akan selalu diintai dan digoda setan untuk dicuri keimanannya, sebagaimana rumah yang berisi harta akan selalu diintai dan didatangi pencuri.

Oleh karena itu, dalam sebuah hadits shahih, ketika salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membisikkan (dalam) diriku dengan sesuatu (yang buruk dari godaan setan), yang sungguh jika aku jatuh dari langit (ke bumi) lebih aku sukai dari pada mengucapkan/melakukan keburukan tersebut. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah maha besar, Allah maha besar, Allah maha besar, segala puji bagi Allah yang telah menolak tipu daya setan menjadi was-was (bisikan dalam jiwa)[17].

Dalam riwayat lain yang semakna, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah (tanda) kemurnian iman[18].

Dalam memahami hadits yang mulia ini ada dua pendapat dari para ulama:

– Penolakan dan kebencian orang tersebut terhadap keburukan yang dibisikkan oleh setan itulah tanda kemurnian iman dalam hatinya

– Adanya godaan dan bisikkan setan dalam jiwa manusia itulah tanda kemurnian iman, karena setan ingin merusak iman orang tersebut dengan godaannya[19].

Adapun hati yang rusak dan kosong dari keimanan karena jauh dari petunjuk Allah Ta’ala, maka hati yang gelap ini terkesan “tenang” dan “aman” dari godaan setan, karena hati ini telah dikuasai oleh setan, dan tidak mungkin “pencuri akan mengganggu dan merampok di sarangnya sendiri”.

Inilah makna ucapan sahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika ada yang mengatakan kepada beliau, “Sesungguhnya orang-orang Yahudi menyangka bahwa mereka tidak diganggu bisikan-bisikan (setan) dalam shalat mereka”. Abdullah bin ‘Abbas menjawab, “Apa yang dapat dikerjakan oleh setan pada hati yang telah hancur berantakan?[20].



Tulisan ringkas ini semoga menjadi motivasi bagi kaum muslimin untuk meyakini indahnya memahami dan mengamalkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang hanya dengan itulah seorang hamba bisa meraih kebahagiaan dan ketenangan jiwa yang hakiki dalam kehidupannya. Allah Ta’ala berfirman,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}

Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)[21] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).

Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata, “(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat (indah) hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang bahagia dan indah)…Maka kehidupan baik (bahagia) yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin”[22].

Sebagai penutup, akan kami kutip nasehat Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu yang berbunyi,

“Wahai saudarakau sesama muslim, waspada dan hindarilah (semua) bentuk zikir dan wirid bid’ah yang akan menjerumuskanmu ke dalam jurang syirik (menyekutukan Allah Ta’ala). Berkomitmenlah dengan zikir (wirid) yang bersumber dari (petunjuk) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berbicara bukan dengan landasan hawa nafsu, (melainkan dari wahyu Allah Ta’ala). Dengan mengikuti (petunjuk) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, (kita akan meraih) hidayah Allah Ta’ala dan keselamatan (di dunia dan akhirat). (Sebaliknya) dengan menyelisihi (petunjuk) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjadikan amal perbuatan kita tertolak (tidak diterima oleh Allah Ta’ala). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan (dalam agama Islam) yang tidak sesuai dengan petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak” (HSR Muslim)[23].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 23 Syawwal 1431 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id


[1] Lihat ucapan imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “I’laamul muwaqqi’iin” (4/118).

 

[2] Dinukil oleh imam asy-Syaathibi dalam kitab “al-I’tishaam” (1/106 – Tahqiiq syaikh Salim al-Hilali).

[3] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 417).

[4] Ibid.

[5] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/72).

[6] Dinukil oleh murid beliau Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilush shayyib” (hal 69).

[7] Lihat kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 69).

[8] Lihat penjelasan Ibnu Rajab al-Hambali dalam “Jaami’ul uluumi wal hikam” (hal. 197).

[9] Tafsir Ibnu Katsir (4/489).

[10] Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah,  yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah r.

[11] HSR Muslim (no. 867), an-Nasa-i (no. 1578) dan Ibnu Majah (no. 45).

[12] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (1/267).

[13] HSR Al Bukhari (no. 79) dan Muslim (no. 2282).

[14] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 685).

[15] Lihat kitab “Ma’aalimut tanziil” (3/180).

[16] Dalam kitab beliau “al-Waabilush shayyib” (hal. 40-41).

[17] HR Ahmad (1/235) dan Abu Dawud (no. 5112).

[18] HSR Mualim (no. 132).

[19] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Fawaa-id” (hal. 174).

[20] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “al-Waabilush shayyib” (hal. 41).

[21] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).

[22] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 121- cet. Muassasatu ummil qura’).

[23] Kitab “fadha-ilush shalaati wassalaam” (hal. 49).



Sumber: https://muslim.or.id/5389-meraih-ketenangan-hati-yang-hakiki.html

 

 

Bagi anda yang sudah ingin nikah namun sulit untuk menikah atau sulit untuk menemukan calon pasangan idaman, maka renungkan dan perhatikanlah beberapa nasehat ringkas berikut ini:

1. Luruskan niat, menikah untuk mencari rida Allah

Karena menikah adalah ibadah dan perintah dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menikah dalam firnan-Nya,

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. An-Nur: 32).

Dalam ayat di atas menggunakan kata وَأَنْكِحُوا (nikahkanlah) yang merupakan fi’il amr (kata perintah).

Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam juga memerintahkan kita untuk menikah, beliau bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya” (HR. Bukhari no. 5056, Muslim no. 1400).

Dalam hadis di atas juga digunakan fi’il amr فَلْيَتَزَوَّجْ (menikahlah).

Maka jika niat sudah benar, apapun kekurangan yang ada pada calon pasanganmu, maka bersikap longgarlah, selama ia adalah orang yang mau diajak bersama-sama mencari rida Allah.



2. Sulit jodoh itu adalah musibah, dan musibah terjadi karena maksiat, maka banyak-banyaklah bertaubat kepada Allah dari semua maksiat.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Qs. Asy-Syuura: 30).

Akuilah semua dosa-dosa dan kesalahanmu selama ini, baik yang kecil-kecilan apalagi dosa yang besar. Tinggalkan itu semua dan sesalilah. Bertaubatlah kepada Allah. Semoga Allah angkat musibah darimu.

Jauhi juga maksiat-maksiat dalam proses mencari pasangan seperti:

  • pacaran,
  • berdua-duaan,
  • chatting dengan lawan jenis tanpa kebutuhan,
  • flirting/ rayu-merayu padahal belum halal,
  • melihat-lihat foto para akhwat
  • berbohong dan menipu demi tampil baik dihadapan calon pasangan,
  • merusak rumah tangga orang lain,
  • dan lain-lain,

karena ini hanya akan menambah musibahmu.

Orang yang banyak bertaubat dan meminta ampunan kepada Allah, akan diberikan kemudahan dalam memperoleh keturunan dan jodoh tentunya. Karena tidaklah orang memiliki keturunan kecuali ia menikah terlebih dahulu. Allah ta’ala berfirman,

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًا وَيُمْدِدْكُم بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَارًا

“Aku mengatakan: beristighfarlah kepada Rabb kalian, karena ia Maha Pengampun. Ia akan mengirimkan hujan yang melimpah melalui langit kepada kalian. Dan Ia akan memberikan harta serta anak-anak kepada kalian, serta menumbuhkan kebun-kebun kalian dan mengalirkan sungai-sungai kalian” (QS. Nuh: 10-12).

 

3. Sulit jodoh adalah masalah. Allah menjanjikan jalan keluar dari masalah, bagi orang yang bertakwa.

Allah ta’ala berfirman,

ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar baginya. Dan akan memberinya rezeki dari jalan yang tidak ia duga” (QS. Ath-Thalaq: 2-3).

Dijelaskan dengan indah oleh Ibnu Abi Izz Al-Hanafi rahimahullah,

فقد ضمن الله للمتقين أن يجعل لهم مخرجا مما يضيق على الناس، وأن يرزقهم من حيث لا يحتسبون، فإذا لم يحصل ذلك دل على أن في التقوى خللا، فليستغفر الله وليتب إليه

“Allah ta’ala menjamin bagi orang-orang bertakwa bahwa Ia akan memberikan jalan keluar dari perkara yang menyulitkannya dalam hubungan terhadap manusia. Dan Allah menjamin bahwa Ia akan memberikan rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka.

Jika itu belum terjadi, maka ini menunjukkan bahwa dalam ketakwaannya masih ada cacat. Maka hendaknya ia meminta ampunan kepada Allah dan bertaubat kepadanya” (Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyah dengan ta’liq Syaikh Yasin Abul Abbas Al-Adeni hal. 333-334).

Maka bagi yang punya masalah dan solusi belum kunjung datang, coba renungkan,

  • mungkin akidahmu belum lurus,
  • mungkin shalatmu belum benar,
  • mungkin belajar agamamu masih kurang semangat,
  • mungkin zikirmu belum banyak,
  • mungkin menutup auratmu belum sempurna,
  • mungkin baktimu kepada orang tua masih kurang,
  • mungkin sedekahmu kurang banyak,
  • mungkin lisanmu masih suka offside, dan
  • mungkin semua yang kau lakukan di atas masih kurang ikhlas.

 

4. Utamakan sisi agama, perkara lain bersikap longgarlah!

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تُنْكَحُ المَرْأَةُ لأرْبَعٍ: لِمالِها ولِحَسَبِها وجَمالِها ولِدِينِها، فاظْفَرْ بذاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَداكَ

“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi” (HR. Bukhari no.5090, Muslim no.1466).

Dari Abu Hatim Al Muzanni radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إذا جاءَكم مَن ترضَونَ دينَه وخُلقَه فأنكِحوهُ ، إلَّا تفعلوا تَكن فتنةٌ في الأرضِ وفسادٌ

“Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka bumi” (HR. Tirmidzi no.1085. Al-Albani berkata dalam Shahih At-Tirmidzi bahwa hadis ini hasan lighairihi).

Carilah pasangan yang shalih atau shalihah, yang mau taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mau tunduk kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Itulah yang utama. Andaipun ada kekurangan dalam hal lain:

  • kurang ganteng / cantik,
  • kurang pintar,
  • kurang kaya,
  • kurang besar gajinya,
  • kurang modis,
  • kurang kurus,
  • kurang gemuk,
  • dan lainnya,

maka bersikap longgarlah. Sebab semua hal-hal ini pun kelak akan sirna juga. Namun apa yang diniatkan untuk Allah ta’ala, akan senantiasa abadi. Allah ta’ala berfirman,

مَا عِندَكُمْ يَنفَدُ ۖ وَمَا عِندَ اللَّهِ بَاقٍ

“Apa yang ada pada kalian akan sirna. Dan apa yang ada di sisi Allah akan abadi” (QS. An-Nahl: 96).

Boleh saja mempertimbangkan hal-hal di atas, namun jangan jadikan patokan utama sehingga membuatmu menjauh dari calon pasangan yang shalih atau shalihah.

 

5. Orang tua itu terkadang perlu dilobi!

Betapa banyak pemuda-pemudi yang sudah siap menikah namun terhambat orang tuanya yang menetapkan kriteria-kriteria yang memberatkan:

  • harus lulus dulu,
  • harus satu suku,
  • harus dekat-dekat saja,
  • harus PNS,
  • harus kaya, dan lain-lain.

Maka ketahuilah, orang tua tidak bisa memaksakan semua kehendaknya dalam masalah pernikahan anaknya. Dalam pemilihan calon, wajib atas rida dari anaknya. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda.

لا تُنكحُ الأيِّمُ حتى تُستأمرَ ، و لا تُنكحُ البكرُ حتى تُستأذنَ ، قيل : و كيف إذْنُها ؟ قال : أنْ تسكتَ

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan sampai ia menyatakan persetujuan dengan lisan, dan tidak boleh seorang perawan dinikahkan sampai ia menyatakan persetujuan.” Seorang sahabat bertanya, “Bagaimana persetujuan seorang perawan?.” Nabi bersabda “Dengan diamnya ketika ditanya.” (HR. Bukhari no.6970, Muslim no.1419).

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Maknanya, pernikahan tidak sah hingga mempelai wanita diminta persetujuan lisannya. Berdasarkan sabda Nabi [حتى تُستأمرَ] menunjukkan tidak sahnya pernikahan hingga ia setuju secara lisan. Namun dalam hadis ini bukan berarti tidak disyaratkan adanya wali dalam pernikahan, bahkan justru terdapat isyarat bahwa disyaratkan adanya wali.” (Fathul Baari, 9/192).

Dan tidak semua kriteria-kriteria dari orang tua harus kita taati. Jika itu kriteria yang melanggar syariat atau membahayakan si anaknya, maka tidak wajib ditaati. Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

”Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang makruf.” (HR Bukhari no. 7257, Muslim no. 1840).

Perkara yang makruf didefinisikan oleh As Sa’di,

المعروف: الإحسان والطاعة، وكل ما عرف في الشرع والعقل حسنه

Al-ma’ruf artinya perbuatan kebaikan dan perbuatan ketaatan dan semua yang diketahui baiknya oleh syariat dan oleh akal sehat.” (Tafsir As Sa’di, 1/194-196).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan,

ويلزم الإنسان طاعة والديه في غير المعصية ، وإن كانا فاسقين … وهذا فيما فيه منفعة لهما ولا ضرر عليه … ؛ لسقوط الفرائض بالضرر . وتحرم الطاعة في المعصية ، ولا طاعة لمخلوق في معصية الخالق

“Seseorang wajib taat kepada orang tuanya selama bukan dalam perkara maksiat. Walaupun kedua orang tuanya fasik… ini dalam perkara-perkara yang bermanfaat bagi orang tua dan tidak membahayakan diri si anak. Karena semua kewajiban itu gugur jika menimbulkan bahaya. Dan ketaatan itu haram jika dalam perkara maksiat. Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq (Allah).” (Al Akhbar Al ‘Alamiyyah min Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah, hal. 170).

Namun kriteria-kriteria dari orang tua yang memberatkan tersebut, sebisa mungkin dilobi. Caranya:

  • berikan nasehat yang baik pada orang tua,
  • gunakan bahasa yang sopan dan lemah lembut,
  • cari waktu yang tepat,
  • beri hadiah,
  • tunjukkan anda sudah punya rencana matang untuk berumah tangga,
  • coba berkali-kali, dan
  • minta hidayah dari Allah untuk orang tua.

Adapun kriteria-kriteria dari orang tua yang baik dan tidak memberatkan, maka hendaknya ditaati.

 

6. Minta bantuan perantara yang shaleh dan dipercaya

Jika sulit menemukan calon pasangan, maka mintalah bantuan kepada orang lain yang dipercaya untuk mencarikan calon pasangan yang baik. Perantara tersebut bisa:

  • ustazmu atau ustazahmu,
  • temanmu yang shaleh dan dipercaya,
  • karib kerabatmu yang bisa dipercaya,
  • saudara atau keluarga dari calon pasangan, yang bisa dipercaya, dan lain-lain.

Sebagaimana pernikahan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan Khadijah yang diperantarai oleh Nafisah binti Muniyyah dan paman-paman Rasulullah (Rahiqul Makhtum, Syekh Shafiyurahman Al Mubarakfuri, hal 13-15, Asy Syamilah).

 

7. Berdoa dan istikharah

Jangan lalai untuk terus memperbanyak doa kepada Allah. Karena Allah-lah yang menentukan jodoh manusia. Dan kesulitan atau kemudahan, itu semua atas kehendak Allah. Dan hanya Allah yang dapat mengangkat semua kesulitan. Allah ta’ala berfirman,

وَإِن يَمْسَسْكَ اللَّـهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ

“jika Allah menimpakan suatu mudarat kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Allah sendiri.” (QS. Al An’am: 17).

Allah ta’ala berfirman,

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّـهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudaratan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (QS. An Nahl: 53).

Maka berdoalah kepada Allah, dan yakinlah bahwa Allah akan kabulkan. Allah ta’ala berfirman,

ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Berdoalah kepada-Ku, Aku akan kabulkan doa kalian. Sungguh orang-orang yang menyombongkan diri karena enggan beribadah kepada-Ku, akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir: 60).

Ketika sudah ada calon pasangan yang diharapkan, dianjurkan salat istikharah, atau berdoa istikharah walaupun tanpa salat.

Syekh Abdul Aziz bin Baz mengatakan,“Boleh, dianjurkan untuk melakukan istikharah walaupun tanpa salat istikharah. Jika ia sedang haid atau ia dalam perkara yang butuh segera dilakukan, hendaknya ia istikharah (yaitu, membaca doa istikharah) tanpa melakukan salat. Ini tidak mengapa.” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi no. 20949).

Semoga yang sampai sekarang masih sulit jodohnya, segera Allah mudahkan, dan semoga Allah beri taufik untuk mendapatkan pasangan yang saleh atau salehah.

Wallahu waliyyu dzalika wal qadiru ‘alaihi.

 

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id



Sumber: https://muslim.or.id/59458-nasehat-bagi-yang-sulit-jodoh-bag-2.html

Islam adalah agama yang penuh keadilan dan jauh dari kezaliman. Oleh karena itu Islam juga memerintahkan untuk berbuat adil dan melarang berbuat zalim.

Makna Zalim

Secara bahasa, zalim atau azh zhulmu artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Disebutkan dalam Lisaanul Arab:

الظُّلْمُ: وَضْع الشيء في غير موضِعه

Azh zhulmu artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya”

Secara istilah, zalim artinya melakukan sesuatu yang keluar dari koridor kebenaran, baik karena kurang atau melebih batas. Al Asfahani mengatakan:

هو: (وضع الشيء في غير موضعه المختص به؛ إمَّا بنقصان أو بزيادة؛ وإما بعدول عن وقته أو مكانه) 

“Zalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada posisinya yang tepat baginya, baik karena kurang maupun karena adanya tambahan, baik karena tidak sesuai dari segi waktunya ataupun dari segi tempatnya” (Mufradat Allafzhil Qur’an Al Asfahani 537, dinukil dari Mausu’ah Akhlaq Durarus Saniyyah).

Zalim juga diartikan sebagai perbuatan menggunakan milik orang lain tanpa hak. Al Jurjani mengatakan:

هو عبارة عن التعدِّي عن الحق إلى الباطل وهو الجور. وقيل: هو التصرُّف في ملك الغير، ومجاوزة الحد) 

“Zalim artinya melewati koridor kebenaran hingga masuk pada kebatilan, dan ia adalah maksiat. Disebut oleh sebagian ahli bahasa bahwa zalim adalah menggunakan milik orang lain, dan melebihi batas” (At Ta’rifat, 186, dinukil dari Mausu’ah Akhlaq Durarus Saniyyah).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin memiliki penjelasan yang bagus dalam memaknai zalim. Beliau mengatakan:

واعلم أن الظلم هو النقص، قال الله تعالى (كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آتَتْ أُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِمْ مِنْهُ شَيْئاً) (الكهف: 33) ، يعني لم تنقص منه شيئاً، والنقص إما أن يكون بالتجرؤ على ما لا يجوز للإنسان، وإما بالتفريط فيما يجب عليه. وحينئذٍ يدور الظلم على هذين الأمرين، إما ترك واجب، وإما فعل محرم

“Ketahuilah bahwa zalim itu adalah an naqsh (bersikap kurang). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu lam tazhlim (tidak kurang) buahnya sedikitpun‘. Maksudnya tidak kurang buahnya sedikit pun. Bersikap kurang itu bisa jadi berupa melakukan hal yang tidak diperbolehkan bagi seseorang, atau melalaikan apa yang diwajibkan baginya. Oleh karena itu zalim berporos pada dua hal ini, baik berupa meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram” (Syarah Riyadush Shalihin, 2/486).

Oleh karena itu, jika dikatakan “Amr menzalimi Zaid”, artinya Amr melakukan hal yang tidak diperbolehkan terhadap Zaid atau Amr meninggalkan apa yang wajib ia lakukan terhadap Zaid.

Lawan dari zalim atau azh zhulmu adalah adil atau al ‘adl. Maka adil artinya menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya dan berada dalam koridor kebenaran.



Larangan Berbuat Zalim 

Perbuatan zalim terlarang dalam Islam. Terdapat banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mencela dan melarang perbuatan zalim. 

Allah Ta’ala berfirman:

أَلاَ لَعْنَةُ اللّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ

Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim” (QS. Hud: 18).

وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ 

Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras” (QS. Hud: 102).

نَقُولُ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا ذُوقُوا عَذَابَ النَّارِ الَّتِي كُنتُم بِهَا تُكَذِّبُونَ 

Dan Kami katakan kepada orang-orang yang zalim: “Rasakanlah olehmu azab neraka yang dahulunya kamu dustakan itu”” (QS. Saba: 40).

مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلا شَفِيعٍ يُطَاعُ 

Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya” (QS. Ghafir: 18).

إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ 

“Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan” (QS. Al An’am: 21).

Dan ayat-ayat yang semisal sangatlah banyak. Adapun dalil-dalil dari As Sunnah, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

قال الله تبارك وتعالى: يا عبادي، إني حرمت الظلم على نفسي، وجعلته بينكم محرمًا؛ فلا تظالموا

Allah Tabaaraka wa ta’ala berfirman: ‘wahai hambaku, sesungguhnya aku haramkan kezaliman atas Diriku, dan aku haramkan juga kezaliman bagi kalian, maka janganlah saling berbuat zalim’” (HR.  Muslim no. 2577).

Beliau juga bersabda: 

اتَّقوا الظُّلمَ . فإنَّ الظُّلمَ ظلماتٌ يومَ القيامةِ

“jauhilah kezaliman karena kezaliman adalah kegelapan di hari kiamat” (HR. Al Bukhari no. 2447, Muslim no. 2578).

Beliau juga bersabda:

المسلم أخو المسلم، لا يظلمه، ولا يسلمه

“Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh menelantarkannya” (HR. Muslim no. 2564).

Dan dalil-dalil yang mencela dan melarang perbuatan zalam datang dalam bentuk muthlaq, sehingga perbuatan zalim dalam bentuk apapun dan kepada siapa pun terlarang hukumnya. Bahkan kepada orang kafir dan kepada binatang sekalipun, tidak diperkenankan berbuat zalim. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لَوْ غُفِرَ لَكُمْ مَا تَأْتُونَ إِلَى الْبَهَائِمِ , لَغُفِرَ لَكُمْ كَثِيرًا

“Andaikan perbuatan yang kalian lakukan terhadap binatang itu diampuni, maka ketika itu diampuni banyak dosa” (HR. Ahmad 6/441, dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 2/41-42).

Al Albani setelah menjelaskan derajat hadits ini beliau mengatakan, “maknanya larangan dan peringatan terhadap perbuatan zalim pada hewan. Jadi, andaikan si pemilik binatang yang tidak memiliki kasih sayang terhadap binatangnya itu dimaafkan, maka ketika itu sungguh telah diampuni dosa yang banyak” (Silsilah Ahadits Shahihah, 2/41-42).

Jelas sudah bahwa Allah dan Rasul-Nya melarang kezaliman dalam bentuk apapun. Dan wajib untuk berbuat adil dalam segala sesuatu, Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS. Al Maidah: 8).



Akibat Perbuatan Zalim

Perbuatan zalim menyebabkan pelakunya mendapat keburukan di dunia dan di akhirat. Diantaranya:

  1. Akan di-qishash pada hari kiamat

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya:

أتدرون ما المفلِسُ ؟ قالوا : المفلِسُ فينا من لا درهمَ له ولا متاعَ . فقال : إنَّ المفلسَ من أمَّتي ، يأتي يومَ القيامةِ بصلاةٍ وصيامٍ وزكاةٍ ، ويأتي قد شتم هذا ، وقذف هذا ، وأكل مالَ هذا ، وسفك دمَ هذا ، وضرب هذا . فيُعطَى هذا من حسناتِه وهذا من حسناتِه . فإن فَنِيَتْ حسناتُه ، قبل أن يقضيَ ما عليه ، أخذ من خطاياهم فطُرِحت عليه . ثمَّ طُرِح في النَّارِ

“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?”. Para shahabat pun menjawab, ”Orang yang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda”. Nabi bersabda, ”Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah, dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan, sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa orang yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim no. 2581).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Siapa yang pernah berbuat aniaya (zhalim) terhadap kehormatan saudaranya atau sesuatu apapun hendaklah dia meminta kehalalannya (maaf) pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang ketika itu tidak bermanfaat dinar dan dirham. Jika dia tidak lakukan, maka (nanti pada hari kiamat) bila dia memiliki amal shalih akan diambil darinya sebanyak kezholimannya. Apabila dia tidak memiliki kebaikan lagi maka keburukan saudaranya yang dizhaliminya itu akan diambil lalu ditimpakan kepadanya”. (HR. Al-Bukhari no. 2449)



  1. Mendapatkan laknat dari Allah

Allah Ta’ala berfirman:

يَوْمَ لا يَنفَعُ الظَّالِمِينَ مَعْذِرَتُهُمْ وَلَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ 

“(yaitu) hari yang tidak berguna bagi orang-orang zalim permintaan maafnya dan bagi merekalah laknat dan bagi merekalah tempat tinggal yang buruk” (QS. Ghafir: 52).

Laknat dari Allah artinya dijauhkan dari rahmat Allah.

  1. Mendapatkan kegelapan di hari kiamat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ القِيَامَةِ

“Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat” (HR. Al Bukhari no. 2447, Muslim no. 2578).

  1. Terancam oleh doa orang yang dizhalimi

Doa orang yang terzalimi dikabulkan oleh Allah, termasuk jika orang yang terzalimi mendoakan keburukan bagi yang menzaliminya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

“Dan berhati-hatilah terhadap doa orang yang terzalimi, karena tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah.” (HR. Bukhari no.1496, Muslim no.19).



  1. Jauh dari hidayah Allah

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ 

Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. Al Maidah: 51).

  1. Dijauhkan dari Al Falah

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan mendapatkan al falah” (QS. Al An’am: 21).

Al falah artinya mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat

  1. Kezaliman adalah sebab bencana dan petaka

Allah Ta’ala berfirman:

فَكَأَيِّن مِّن قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا وَهِيَ ظَالِمَةٌ فَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا وَبِئْرٍ مُّعَطَّلَةٍ وَقَصْرٍ مَّشِيدٍ

“Berapalah banyaknya kota yang Kami telah membinasakannya, yang penduduknya dalam keadaan zalim, maka (tembok-tembok) kota itu roboh menutupi atap-atapnya dan (berapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi” (QS. Al Hajj: 45).



Jenis-Jenis Perbuatan Zalim

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Zalim ada dua macam: pertama, kezaliman terkait dengan hak Allah ‘Azza wa Jalla, kedua, kezaliman terkait dengan hak hamba.

Kezaliman terhadap hak Allah

Kezaliman yang terbesar yang terkait dengan hak Allah adalah kesyirikan. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya: ‘dosa apa yang paling besar?’, beliau menjawab:

أن تجعل لله نداً وهو خلقك

‘Engkau menjadikan sesuatu sebagai sekutu bagi Allah, padahal Allah yang menciptakanmu’ (HR. Bukhari no. 4477, Muslim no. 86).

lalu tingkatan setelahnya adalah kezaliman berupa dosa-dosa besar, kemudian setelahnya adalah dosa-dosa kecil. 

Kezaliman terhadap hak hamba

Adapun kezaliman yang terkait hak hamba, berporos pada tiga hal, yang dijelaskan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam khutbahnya ketika haji Wada’, beliau bersabda:

إن دماءكم وأموالكم وأعراضكم حرام عليكم، كحرمة يومكم هذا، في شهركم هذا، في بلدكم هذا

‘Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian, semuanya haram atas sesama kalian. Sebagaimana haramnya hari ini, bulan ini, di tanah kalian ini’ (HR. Bukhari no. 67, Muslim no. 1679).

Kezaliman terhadap jiwa

Kezaliman terhadap jiwa seseorang itulah yang dimaksud kezaliman dalam darah, yaitu seseorang berbuat melebihi batas kepada sesama Muslim dengan menumpahkan darahnya, melukainya, atau semisal itu. 

Kezaliman terhadap harta

Kezaliman terhadap harta yaitu seseorang berbuat melebihi batas terhadap sesama Muslim dalam masalah harta, baik berupa enggan mengeluarkan yang wajib ia keluarkan, atau dengan melakukan hal yang haram dalam masalah harta, atau berupa meninggalkan hal wajib ia lakukan, atau juga berupa melakukan sesuatu yang diharamkan terhadap harta orang lain. 

Kezaliman terhadap kehormatan

Adapun kezaliman terhadap kehormatan orang lain itu mencakup berbuat melebihi batas terhadap sesama Muslim dengan melakukan zina, atau liwath (sodomi), qodzaf, dan semisalnya. Semua jenis kezaliman ini haram hukumnya” (Syarah Riyadus Shalihin, 2/485).

Dan barangsiapa yang melakukan dua jenis kezaliman di atas, baik zalim terhadap hak Allah maupun zalim terhadap hak hamba, maka ia telah melakukan kezaliman kepada dirinya sendiri. Karena ia adalah makhluk yang dicipta untuk beribadah kepada-Nya, dengan menaati segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Maka dengan melanggar hal itu, ia tepat menempatkan dirinya pada tempat yang tidak sesuai dan inilah kezaliman. Oleh karena itu Allah Ta’ala menyebutkan hamba-Nya yang bermaksiat dengan “menzalimi dirinya sendiri”,

مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ

di antara hamba Kami ada yang menzalimi dirinya sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang berlomba berbuat kebaikan” (QS. Fathir: 32).

As Sa’di mengatakan: “ada yang menzalimi dirinya, yaitu dengan maksiat” (Taisir Karimirrahman).



Syirik Adalah Kezaliman Terbesar

Ketahuilah bahwa kezaliman terbesar itu bukanlah kezaliman dari penguasa, bukan kezaliman dari diktator yang keji, bukan kezaliman dari kaum kapitalis, namun kezaliman terbesar di dunia ini adalah mempersembahkan ibadah kepada selain Allah, atau perbuatan syirik. Kezaliman mana lagi yang lebih besar dari menyekutukan Rabb yang telah menciptakan kita, memberi segala nikmat dan keselamatan selama ini? Oleh karena itu ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya: ‘dosa apa yang paling besar’, beliau menjawab:

أن تجعل لله نداً وهو خلقك

‘Engkau menjadikan sesuatu sebagai sekutu bagi Allah, padahal Allah yang menciptakanmu’

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya kesyirikan adalah kezaliman yang terbesar” (QS. Luqman: 13).

As Sa’di menjelaskan ayat ini, “alasan mengapa syirik adalah kezaliman tersbesar adalah, bahwasanya tidak ada yang lebih parah dan lebih buruk dari orang yang menyetarakan makhluk yang terbuat dari tanah dengan Sang Pemilik semua makhluk, menyetarakan makhluk yang tidak memiliki sesuatu apapun dengan Dzat yang memiliki semuanya,  menyetarakan makhluk yang serba kurang dan fakir dari segala sisinya dengan Rabb yang sempurna dan Maha Kaya dari segala sisinya, menyetarakan makhluk yang tidak bisa memberikan satu nikmat pun dengan Dzat yang memberikan semua nikmat dalam agamanya, dunianya dan akhiratnya. Padahal hati orang tersebut beserta raganya, adalah dari Allah. Dan tidaklah keburukan tercegah darinya, kecuali karena Allah. Maka adakah kezaliman yang lebih besar dari ini?” (Taisir Karimirrahman).

Maka saudaraku, jauhilah perbuatan syirik! jauhilah semua bentuk perbuatan zalim! Berlaku adil lah dalam segala sesuatu. Semoga Allah memberi taufiq. Wallahu waliyyu dzalika wal qaadiru ‘alaihi.



Akhukum fillah,

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Referensi

  • Mausu’atul Akhlaq, bab Zhalim, yang disusun oleh tim Durarus Saniyah dibawah isyraf Syaikh Alwi bin Abdil Qadir As Segaf
  • Syarah Riyadus Shalihin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
  • Taisir Karimirrahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di



Sumber: https://muslim.or.id/53105-janganlah-berbuat-zalim.html

Pembaca yang budiman, ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah memberikan tips dalam menghafalkan Al Qur’an agar cepat hafal dan tidak mudah hilang dari ingatan. Simak hadits berikut ini..

Dicatat oleh Ibnu Nashr dalam Qiyamul Lail (73),

حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى ، أَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ ، عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” إِذَا قَامَ صَاحِبُ الْقُرْآنِ فَقَرَأَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِنْ لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ “

“Yunus bin Abdil A’la menuturkan kepadaku, Anas bin ‘Iyadh mengabarkan kepadaku, dari Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’ dari Ibnu Umar radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda:

Jika seseorang shahibul Qur’an membaca Al Qur’an di malam hari dan di siang hari ia akan mengingatnya. Jika ia tidak melakukan demikian, ia pasti akan melupakannya‘”

hadits ini dicatat juga imam Muslim dalam Shahih-nya (789), oleh Abu ‘Awwanah dalam Mustakhraj-nya (3052) dan Ibnu Mandah dalam Fawaid-nya (54).

 

Derajat hadits

Hadits ini shahih tanpa keraguan, semua perawinya tsiqah. Semuanya perawi Bukhari-Muslim kecuali Yunus bin bin Abdil A’la, namun ia adalah perawi Muslim.

 

Faidah hadits

  1. Hafalan Al Qur’an perlu untuk dijaga secara konsisten setiap harinya. Karena jika tidak demikian akan, hilang dan terlupa. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam,

    إنما مَثَلُ صاحبِ القرآنِ كمثلِ الإبلِ المعَقَّلَةِ . إن عاهد عليها أمسكَها . وإن أطلقها ذهبَت

    Permisalan Shahibul Qur’an itu seperti unta yang diikat. Jika ia diikat, maka ia akan menetap. Namun jika ikatannya dilepaskan, maka ia akan pergi” (HR. Muslim 789)

    Imam Al ‘Iraqi menjelaskan: “Nabi mengibaratkan bahwa mempelajari Al Qur’an itu secara terus-menerus dan membacanya terus-menerus dengan ikatan yang mencegah unta kabur. Maka selama Al Qur’an masih diterus dilakukan, maka hafalannya akan terus ada”.

    Beliau juga mengatakan: “dalam hadits ini ada dorongan untuk mengikat Al Qur’an dengan terus membacanya dan mempelajarinya serta ancaman dari melalaikannya hingga lupa serta dari lalai dengan tidak membacanya” (Tharhu At Tatsrib, 3/101-102)

  2. Kalimat فَقَرَأَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ (membaca Al Qur’an di malam hari dan mengingatnya di siang hari) menunjukkan bahwa membaca Qur’an dan muraja’ah (mengulang) hafalan Al Qur’an hendaknya dilakukan setiap hari
  3. Anjuran untuk terus mempelajari, membaca dan muraja’ah (mengulang) hafalan Al Qur’an secara konsisten, setiap hari, di seluruh waktu. Al Qurthubi menyatakan: “hal pertama yang mesti dilakukan oleh shahibul qur’an adalah mengikhlaskan niatnya dalam mempelajari Al Qur’an, yaitu hanya karena Allah ‘Azza wa Jalla semata, sebagaimana telah kami sebutkan. Dan hendaknya ia mencurahkan jiwanya untuk mempelajari Al Qur’an baik malam maupun siang hari, dalam shalat maupun di luar shalat, agar ia tidak lupa” (Tafsir Al Qurthubi, 1/20).
  4. Anjuran untuk lebih bersemangat membaca Al Qur’an di malam hari. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

    إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا

    Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan (Qur’an) di waktu itu lebih kuat masuk hati” (QS. Al Muzammil)

  5. Anjuran untuk muraja’ah (mengulang) hafalan Al Qur’an di siang hari dan malam hari
  6. Hadits di atas tidak membatasi membaca Qur’an dan muraja’ah (mengulang) hafalan Al Qur’an hanya malam dan siang saja, namun sekedar irsyad (bimbingan) dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam agar senantiasa melakukannya. Hadits riwayat Muslim di atas menunjukkan bahwa semakin sering membaca dan muraja’ah itu semakin baik dan semakin mengikat hafalan Al Qur’an. Dan pemilihan waktunya disesuaikan apa yang mudah bagi masing-masing orang. Syaikh Shalih Al Maghamisi, seorang pakar ilmu Al Qur’an, ketika ditanya tentang hal ini beliau menjawab: “waktu menghafal yang utama itu tergantung keadaan masing-masing orang yang hendak menghafal. Adapun berdasarkan tajribat (pengalaman), waktu yang paling baik adalah setelah shalat shubuh” (Sumber: 
    )
  7. Hadits ini dalil bahwa shahibul qur’an, dengan segala keutamaannya, yang dimaksud adalah orang yang menghafalkan Al Qur’an, bukan sekedar membacanya. Al Imam Al Iraqi mengatakan: “yang zhahir, yang dimaksud shahibul qur’an adalah orang yang menghafalkannya” (Tharhu At Tatsrib, 3/101). Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “ketahuilah, makna dari shahibul Qur’an adalah orang yang menghafalkannya di hati. berdasarkan sabda nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

    يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله

    “hendaknya yang mengimami sebuah kaum adalah yang paling aqra’ terhadap kitabullah”

    maksudnya yang paling hafal. Maka derajat surga yang didapatkan seseorang itu tergantung pada banyak hafalan Al Qur’annya di dunia, bukan pada banyak bacaannya, sebagaimana disangka oleh sebagian orang. Maka di sini kita ketahui keutamaan yang besar bagi pada penghafal Al Qur’an. Namun dengan syarat ia menghafalkan Al Qur’an untuk mengharap wajah Allah tabaaraka wa ta’ala, bukan untuk tujuan dunia atau harta” (Silsilah Ash Shahihah, 5/281).

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslimah.Or.Id



Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/6390-tips-dari-rasulullah-bagi-penghafal-al-quran.html

 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Perayaan Maulid Nabi tidak dikenal oleh generasi salafus shalih. Serta tidak dilakukan oleh Khulafa Ar Rasyidin, juga tidak dilakukan oleh para sahabat Nabi atau pun juga oleh para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik. Juga tidak dilakukan oleh para imam kaum Muslimin yang hidup setelah mereka. Dari sini kita bertanya-tanya: apakah kita yang hidup sekarang ini lebih hebat dalam mengagungkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam daripada mereka? Jawabnya tentu tidak. Apakah kita yang hidup sekarang ini lebih hebat cintanya kepada Rasulullah daripada mereka? Jawabnya tentu tidak. Jika demikian maka sudah semestinya kita mengikuti jejak mereka dan sudah semestinya kita tidak merayakan Maulid Nabi (sebagaimana juga mereka tidak merayakan). Karena amalan tersebut adalah perkara baru dalam agama.

Bagaimana ajaran Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hal ini? Mengapa beliau tidak membuat perayaan hari kelahirannya? Bagaimana ajaran para Khulafa Ar Rasyidin dalam hal ini? Apakah mereka jahil tentang kebaikan perayaan ini? Ataukah mereka mendiamkan sebuah kebenaran (jika memang perayaan ini benar)? Ataukah mereka enggan mengadakannya karena mereka sombong? Semua ini tidaklah mungkin.

Dan tidak ragu lagi bahwa orang yang merayakan Maulid Nabi ini mereka dilandasi oleh niat yang baik. Mungkin karena kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam atau mungkin karena meniru kaum Nasrani yang mereka merayakan hari kelahiran Isa bin Maryam ‘alaihissalam. Lalu mereka mengatakan: (dengan alasan ini) tentu kami lebih benar.

Namun semua alasan tersebut tidak dibenarkan. Karena seseorang itu semakin ia cinta kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ia akan semakin jauh dari bid’ah. Karena jika seseorang merayakannya lalu berkata: “saya bertaqarrub kepada Allah dengan perayaan ini”, maka kami katakan: “namun anda telah memasukkan ke dalam agama Allah suatu ritual yang bukan berasal dari-Nya, dan anda melangkahi Allah dan Rasul-Nya (dengan membuat ritual baru dalam agama)”. Jika mereka mengatakan: “tapi ini sudah menjadi tradisi kami”, maka kami katakan: “apakah anda membuat suatu hari raya agama berdasarkan kepada tradisi, ataukah berdasarkan syariat?”. Tentu jawab yang benar: berdasarkan syariat.

Bahkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika datang ke Madinah beliau mendapati penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka rayakan dalam rangka mengenang hari bersejarah. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarangnya dengan bersabda:

« إن الله أبدلكم بخيرٍ منهما: عيد الأضحى وعيد الفطر»

sesungguhnya Allah telah menggantikan hari raya untuk kalian dengan hari raya yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri” (HR. Abu Daud 1134, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Maka bagaimana dengan anda yang malah membuat hari raya baru?

Jika mereka mengatakan: “kami merayakan ini dalam rangka mengingat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam“. Maka jawabannya:

Pertama, tidaklah shahih bahwa hari kelahiran beliau pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal.

Kedua, katakanlah hal tersebut shahih. Namun yang namanya mengingat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam itu semestinya dilakukan setiap hari. Bukankah setiap Muslim setiap hari mengucapkan: asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah) dalam adzan? Bahkan dalam shalat, setiap insan juga membaca tasyahud dengan membaca:

السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته، السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين، أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمداً عبده ورسوله

semoga keselamatan dilimpahkan atasmu wahai Nabi, serta rahmat Allah dan keberkahan dari-Nya. Semoga keselamatan dilimpahkan kepada kami dan juga kepada para hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah

Mengingat Rasulullah itu semestinya terus-menerus di dalam hati seorang Mukmin dan bukan dikhususkan dalam satu hari saja.

Namun sayangnya dikarenakan banyak orang yang tidak memahami hal ini dan tidak memahami bahaya bid’ah, mereka mengadakan perayaan seperti ini terus-menerus (setiap tahun). Tapi walhamdulillah, ada secercah harapan baik, karena mulai banyak juga orang-orang di masa ini, khususnya para pemuda, yang memahami masalah ini dan memahami bahwasanya perayaan ini adalah bid’ah yang tidak ada asalnya dan tidak ada tuntunannya.

Sumber: Al Liqa Asy Syahri (rekaman n0. 66), dari channel telegram @othaymen

 

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel Muslim.or.id



Sumber: https://muslim.or.id/27134-mengapa-generasi-terbaik-umat-islam-tidak-merayakan-maulid-nabi.html

 

Syaikh Shalih Al Ushaimi
(Anggota perhimpunan ulama senior kerajaan Saudi Arabia, dan pengajar di masjidil Haram dan masjid Nabawi)

Merayakan maulid Nabi hukumnya tidak boleh karena tiga dalil berikut :

Pertama, amalan ini termasuk perkara baru dalam agama, yang tidak ditemui di masa sahabat –radhiyallahu’anhum-, tidak juga masa setelah mereka (tabi’in), dan generasi berikutnya (tabi’ut tabi’in). Tiga masa keemasan berlalu dan tidak ditemui perayaan maulid Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apabila diketahui perkara ini adalah perkara yang baru dalam agama, ini menunjukkan bahwa hal ini adalah bid’ah. Sementara setiap bid’ah itu menyimpang dari kebenaran, sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Kedua, para ulama sendiri -semoga Allah merahmati mereka- berbeda pendapat terkait penetapan hari kelahiran Nabi shallallahu alaihi wa sallam :

  • Ada yang mengatakan 8 Rabiul awwal
  • 10 Rabiul awwal
  • 12 Rabiul awwal
  • 18 Rabiul awwal
  • Diantara mereka ada yang berpandangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak dilahirkan di bulan Rabiul awwal, akan tetapi bulan Rajab.

Perbedaan pendapat mereka dalam menentukan tanggal kelahiran Nabi shallallahu alaihi wa sallam, menunjukkan tidak benarnya memilih tanggal 12 Rabiul awwal sebagai hari perayaan kelahiran beliau. Karena para ulama tidak sepakat kalau beliau lahir pada hari tersebut.

Pengarang kitab Irbil berusaha mencari solusi permasalahan ini, dengan merayakan maulid pada tanggal 8 Rabiul awwal, kemudian tahun berikutnya merayakan pada 12 Rabiul awwal. Hanya saja pendapat ulama dalam penentuan hari kelahiran Nabi shallallahu alaihi wa sallam lebih dari dua opsi tersebut. Seharusnya ia merayakan maulid sebanyak pendapat ulama yang ada. Itupun Nabi lahir hanya pada satu hari, bisa jadi tanggal 8, 10 atau 12, sebagaimana pendapat para ulama -semoga Allah merahmati mereka- terkait hari kelahiran Nabi.

Ketiga, ulama –rahimahumullah– sepakat bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam wafat pada 12 Rabiul awwal. Anggap saja hari itu benar hari perayaan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Namun tentu saja bersedih pada hari tersebut lebih layak daripada merayakan dengan kegembiraan. Karena dalam penentuan hari kelahiran nabi shallallahu alaihi wa sallam yang mereka rayakan terdapat beberapa pendapat. Adapun hari wafat nabi shallallahu alaihi wa sallam dapat dipastikan terjadi pada tanggal 12 Rabiul awwal.

Anggaplah 12 Rabiul awwal adalah hari kelahiran Nabi shallallahu alaihi wa sallam, tentu mereka yang merayakan pantasnya membagi perayaannya ; perayaan gembira dan perayaan kesedihan. Bergembira di awal hari 12 Rabiul awwal karena kelahiran Nabi, kemudian bersedih di akhir hari atas wafatnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yang juga terjadi pada tanggal 12 Rabiul awwal. Namun tetap saja semua ini adalah perkara baru dalam agama. Tidak menutup kemungkinan pada hari tersebut ada orang yang merayakan kesedihan dan merayakan kegembiraan. Karena suatu bid’ah akan melahirkan bid’ah yang lain. Dan bid’ah itu awalnya kecil, lalu menjadi besar, sebagaimana diterangkan al Barbahari dalam kitab  Syarhussunnah.

***

(Disampaikan saat mensyarah kitab “Risalah fi Hukmi al Maulid” karya Asy-Syaukani rahimahullah)

Sumber : https://goo.gl/hvxhWK

Penerjemah : Ahmad Anshori (Mahasiswa Universitas Islam Madinah)

Artikel Muslim.or.id



Sumber: https://muslim.or.id/29094-nasehat-ulama-mengapa-maulid-nabi-tidak-boleh-dirayakan.html

Page 2 of 3