Penuntut ilmu memiliki tanggung jawab yang sangat besar di tengah-tengah masyarakat. Besarnya tergantung tingkat keilmuan yang dimilikinya, tingkat kebutuhan masyarakat terhadap-nya serta kemampuan yang dimilikinya. Diantara tanggung jawab terpenting atas para penuntut ilmu adalah:


Tanggung jawab terhadap diri sendiri Yaitu mempersiapkan diri dan jiwa untuk belajar dan berdakwah, menunaikan kewajiban serta perhatian terhadap ilmu, tafaqquh (berusaha sungguh sungguh) dalam memahami agama. Di samping itu ia harus banyak menelaah
dalil-dalil syar'i serta perhatian terhadapnya, sebab seorang penuntut ilmu sangat membutuhkan perbendaharaan dalil sebanyak mungkin. Selain itu ia harus memahami pendapat-pendapat para ulama serta perbedaan (khilafiyah) yang terjadi di antara mereka, mengetahui pendapat yang terkuat berdasar dalil dari Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah bukan semata-mata karena taklid terhadap ulama fulan. Sebab jika sekedar taklid semua orang tentu bisa dan tak perlu membutuhkan ilmu.

Imam Ibnu Abdil Barr (Penulis kitab "At-Tamhid", seorang ulama terkemuka pada masanya) pernah berkata: "Para ulama sepakat bahwa muqallid (orang yang bertaklid) tidaklah dianggap sebagai ulama. "


Faham betul terhadap dalil merupakan keharusan dan tanggung jawab seorang penuntut ilmu, ia harus bersungguh sungguh mengerti setiap persoalan dengan jelas. Dasar-dasar pengambilan hukum haruslah berpijak kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah serta kaidah-kaidah yang mu'tabarah di atas bayyinah (penjelasan) yang terang. Ia hendaknya juga menghubungkan serta memperkuat (hujjah) dengan ucapan para ulama. Memahami
pendapat para ulama sangat membantu dalam memahami dalil, menarik kesimpulan hukum serta membantu dalam mengeta-hui pendapat yang kuat dan yang lemah.
Penuntut ilmu harus bersikap ikhlas semata-mata karena Allah Yaitu untuk mendekatkan diri kepadaNya dan hanya untuk mencapai keridhaanNya. Juga kesadaran bahwa itu merupakan kewajiban yang harus ditunaikan dan lebih dari itu adalah agar dapat memberikan manfaat kepada sesama manusia. Jangan sekali-kali seorang penuntut ilmu bertujuan (dengan ilmunya) untuk sekedar mendapatkan harta dunia serta perolehan yang bersifat sementara. Atau bertujuan agar dipandang (riya') serta populer di tengah manusia (sum'ah) yang kesemua itu merupakan sifat dan keadaan orang munafik-wal 'iyadzu billah.
Seorang thalib ilmu atau da'i ucapan, penjelasan, fatwa serta perbuatannya harus diatas bayyinah (petunjuk ilmu), dan ia tidak boleh menyepelekan masalah ini. Tingkah laku dan tindak tanduk seorang penuntut ilmu (santri, ustadz, kiyai dan sebagainya, red) akan menjadi sorotan dan ikutan bagi orang yang disekitarnya.


Seorang pengajar misalnya, tentu perilakunya akan menjadi panutan dan contoh bagi anak didiknya. Seorang mufti jelas ucapannya akan diambil oleh banyak orang, demikian pula dengan para da'i, dan akan lebih besar lagi urusan-nya adalah jika ia seorang qadhi (hakim).


Maka wajib bagi para penuntut ilmu untuk menentukan sikap dihadapan Rabbnya, yaitu sikap ikhlas dan jujur dalam mencari ridhaNya. Memiliki semangat dan kemauan yang tanpa batas dalam menyelami dalil serta menelitinya, selalu berdiri diatas dalil tersebut. Dengan ini terbentanglah dihadapannya dunia, berfatwa berdasar ilmu, berdakwah dan mengajar atas dasar ilmu, beramar ma'ruf nahi munkar dengan ilmu sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala :


"Katakanlah: "Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata (ilmu)." (Yusuf: 108)
Mengajarkan serta menyampai-kan ilmu kepada orang lain. Para ulama adalah pengganti rasul dan pewaris para nabi. Telah jelas kedudukan para rasul adalah sebagai
pemandu dan penunjuk jalan bagi umatnya, mengantarkan mereka menuju kebahagiaan dan keselamatan.

Para ulama juga menempati posisi dan kedudukan ini, yaitu menyampaikan dan mengajarkan ilmu, karena sudah tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam.

Jadi yang harus dilakukan adalah menyampaikan syari'at yang dibawa oleh Nabi Muhammad, mendakwahkan, menjelaskan serta menyebarkannya kepada umat manusia. Orang-orang yang ahli dan berkompeten dalam bidang ini tak lain adalah mereka para
ulama. Mereka adalah penyeru dan penuntun umat dengan ucapan, perbuatan, tingkah laku baik yang lahir maupun yang batin.


Kewajiban para da'i amatlah besar, demikian pula resiko dan bahayanya. Umat berada dalam tanggungannya, mereka semua butuh bimbingan dan pengarahan melalui berbagai cara dan bentuk. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:


"Siapakah yang lebih baik perkata-annya daripada orang yang menyeru kepada Allah,mengerjakan amal yang saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. (Fushshilat: 33).


Memang demikianlah kenyataannya bahwa tiada ucapan yang paling baik melebihi ucapan mereka para da'i yang menyeru ke jalan Allah, yang pelopor dan pembesarnya adalah para rasul dan anbiya' alaihimus salam, kemudian diikuti oleh para alim ulama dan para da'i.


Agar mencapai hasil yang optimal dalam dakwah seorang da'i dituntut untuk memperbanyak ilmu, memperbaiki ketakwaan, rasa takut kepada Allah serta keikhlasan semata-mata karenaNya.

Dengan demikian maka manfaat yang diperoleh semakin banyak dan luas serta tabligh yang ia lakukan akan sempurna.


Allah menerangkan bahwa Nabi n diutus untuk keperluan dakwah (menye-ru) ke jalan Allah di atas bashirah,sebagaimana firman Allah dalam surat Yusuf ayat 108.


Maka wajib bagi setiap penuntut ilmu untuk menelusuri jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah yaitu berdakwah di atas bashirah (petunjuk ilmu). Itulah jalan Nabi dan para pengikutnya. Seorang hamba tak mungkin akan menjadi pengikut Nabi yang baik jika tidak menempuh jalan tersebut.Dengan diharuskannya berdakwah maka berarti seorang penuntut ilmu dan da'i tidak boleh menyembunyikan ilmu, namun hendaknya ia berusaha menjelaskan yang haq serta berusaha membela Islam dari pihak-pihak yang
menentang atau menyelewengkannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:


"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, Kecuali mereka yang telah taubat
dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebe-naran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (Al-Baqarah: 159-160)


Dalam ayat di atas Allah memperingatkan kita dari menyembunyikan ilmu sekaligus memberi ancaman serta melaknat pelakunya. Dan agar kita semua selamat dari laknat dan ancaman tersebut Allah menjelaskan tiga perkara yang harus ditempuh, yaitu taubat, ishlah dan bayan. Taubat dari berbagai dosa dan kekurangan di masa lalu, ishlah atau memperbaiki diri dalam berbagai segi dan bayan atau menjelaskan ilmu atau amalan yang dulu disembunyi-kan, ta'wil yang salah karena adanya tujuan pribadi yang sifatnya sementara.
Setiap penuntut ilmu berkewajiban untuk memiliki akhlak yang luhur sebagaimana yang dicontohkan Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam Dia harus jujur dihadapan Allah dalam perbuatan dan bicaranya, menyampaikan perintah dan larangan Allah, beramar ma'ruf nahi mungkar kepada orang lain sesuai kemampuan-nya. Hal ini merupakan keharusan apalagi di zaman sekarang ini di mana kemaksiatan dan kemungkaran merajalela sedangkan jumlah ulama sangatlah sedikit, tak seimbang dengan umat yang harus ditanganinya.
Hampir tak terhitung penyeru-penyeru yang mengajak kepada kebatilan, perilaku rendah dan mengajak ke neraka dengan berbagai macam bentuk, cara dan sarana. Maka dibutuhkan pasukan kebaikan sebanyak mereka bahkan jika perlu lebih banyak lagi untuk membendung para antek kemungkaran tersebut.Tidak lain yang diinginkan syetan dan bala tentaranya dengan seruannya, melainkan kehancuran umat Islam dan
menggiring mereka ke neraka. Mereka semua menginginkan agar kita kaum muslimin sama dengan mereka dalam tingkah laku, kehidupan dan gaya sehingga akhirnya bersama-sama pula masuk Neraka menemani mereka.


Sebagaimana difrmankan Allah:


"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syetan-syetan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala." (Fathir: 6)


Seorang penuntut ilmu pantang untuk bersikap lemah dan patah semangat dalam menyampai-kan agama Allah kepada manusia. Di manapun berada terus berusaha untuk saling menasehati dengan segenap kemampuan. Menasehati siapa saja yang ia mampu, pemimpin, tokoh masyarakat, para pemuka atau siapa saja yang terpandang dan punya
kedudukan di desa maupun di kota. Berbicara dengan mereka secara baik-baik dan saling menolong dalam kebaikan dan takwa, menasihati dan saling mengingatkan dengan ucapan yang sopan, lembut dan tidak saling mencela.


Demikian pula jika mampu ia dapat menasihati para pejabat dan petinggi negara, para hakim atau qadhi sesama da'i dan secara umum kepada segenap kaum muslimin. Wallahu a'lam. (Dari "Mas'uliyah Thalib Al-Ilm", Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz).

Dalam kajian ini ada beberapa poin yang harus diperhatikan bagi seorang penuntut ilmu, yaitu sebagai berikut.

 

Ilmu adalah Ibadah

Sesuatu yang paling pokok dari adab ini, bahkan pada semua perkara yang dianjurkan, adalah engkau harus meyakini bahwa ilmu adalah ibadah. Bahkan, hal itu merupakan ibadah yang paling agung dan paling utama, sehingga Allah menjadikannya sebagai bagian dari jihad fisabilillah. Allah SWT berfirman (yang artinya), ".... Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (At-Taubah: 122).

 

Rasulullah saw. juga bersabda (yang artinya), "Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk menjadi baik, maka akan diberi kepahaman dalam perkara agama." (HR Bukhari dan Muslim, dari hadits Mu'awiyah).

 

Apabila Allah menganugerahkan kepadamu kepahaman dalam masalah agama ini, yang meliputi segenap ilmu syar'i, baik ilmu tauhid, aqidah, atau lainnya, maka berbahagialah, karena berarti Allah menginginkan kebaikan bagimu.

 

Imam Ahmad rhm. berkata, "Ilmu itu sesuatu yang tiada bandingnya bagi orang yang niatnya benar." Orang-orang bertanya kepada beliau, "Bagaimanakah benarnya niat itu, wahai Abu Abdillah?" Imam Ahmad rhm. menjawab, "Yaitu berniat untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain."

 

Dari sini, maka syarat diterimanya ibadah adalah sebagai berikut.

Niat yang ikhlas karena Allah Ta'ala semata.

Allah SWT berfirman, "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus ...." (Al-Bayyinah: 5).

 

Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya semua amal itu tergantung pada niatnya." (HR Bukhari, dari hadits Umar bin Khatbtbab). Apabila ilmu itu tidak didasari dengan niat yang ikhlas, dia berubah dari ibadah yang paling mulia menjadi kemaksiatan yang paling hina. Apabila ada yang bertanya bagaimana caranya agar bisa ikhlas dalam menuntut ilmu, jawabannya bahwa ikhlas dalam menuntut ilmu itu bisa dicapai dengan beberapa cara.

Pertama, harus berniat bahwa menuntut ilmu itu untuk menjalankan perintah Allah. Kedua, harus berniat untuk menjaga syariat Allah. Karena, menjaga syariat Allah itu bisa dilakukan dengan belajar, baik dengan cara menghapal, menulis, juga mengarang kitab. Ketiga, harus berniat untuk membela syariat Allah. Karena, seandainya tidak ada ulama, maka syariat ini tidak akan terjamin kebenarannya, juga tidak ada seorang pun yang akan membelanya. Keempat, harus berniat untuk mengikuti ajaran Rasulullah. Karena, seseorang tidak mungkin bisa mengikuti ajaran beliau kecuali jika orang itu mengetahuinya terlebih dahulu.

 

Berangkat dari sini, maka hendaklah setiap penuntut ilmu selalu konsisten untuk memurnikan niat dari semua yang akan merusak komitmen, seperti senang popularitas, ingin lebih unggul dibanding dengan teman sebayanya, atau menjadikannya alat mencapai tujuan tertentu, misalnya pangkat, kekayaan, kehormatan, dll. Karena, itu semua jika sudah mengotori niat seorang penuntut ilmu, ia akan merusaknya, dan lenyaplah barokah ilmu itu. Oleh karena itu, setiap penuntut ilmu wajib menjaga niat dari segala tujuan selain ikhlas, bahkan ia pun harus menjaga hal-hal yang meliputinya.

 

Imam Sufyan rhm. berkata, "Dulu saya mampu memahami Al-Qur'an, namun tatkala saya menerima hadiah, maka hilanglah kepahaman itu." Adapun yang dimaksud hadiah di sini adalah hadiah dari seorang penguasa. Para ulama sangat memahami masalah ini, sehingga mereka sangat hati-hati menerima pemberian penguasa. Mereka berkata, "Para penguasa itu tidak akan memberikan sesuatu apa pun kepada kita, kecuali untuk membeli agama kita dengan harta dunia mereka." Oleh karena itu, kita dapati para ulama tersebut tidak bersedia menerimanya. Juga, disebabkan oleh karena harta kekayaan para penguasa pada zaman dahulu itu biasanya diperoleh dengan cara yang tidak halal.

 

Sesungguhnya telah kita ketahui bersama bahwa seorang ulama tidak boleh menerima pemberian penguasa kalau memang bertujuan untuk menjadikannya tunggangan sehingga dapat mengendalikannya. Adapun kalau harta kekayaan sang penguasa tersebut bersih dan sang alim menerimanya tidak untuk menjual agamanya, maka diperbolehkan menerimanya, sebagaimana sabda Rasulullah saw. kepada Umar r.a., "Harta ini kalau datang kepadamu tanpa engkau harapkan dan tanpa engkau minta, maka ambillah, juga selagi tidak diinginkan oleh nafsumu." (HR Bukhari dan Muslim). Adapun tujuan Imam Sufyan dari perkataan beliau di atas adalah untuk memperingatkan orang lain dari perkara ini dan mencela apa yang dulu beliau lakukan.

 

Diriwayatkan dari Sufyan bin Sa'id ats-Tsauri rhm., bahwasannya beliau berkata, "Tidak ada sesuatu yang aku usahakan untuk diperbaiki yang lebih berat daripada keikhlasan niatku."

 

 

Mengikuti Sunnah Rasulullah saw.

Allah SWT berfirman, "Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu ...." (Ali Imran: 31).

 

Imam Ibnul Qayyim menyebutkan dalam kitab Raudhatul Muhibbin bahwa semua aktivitas manusia itu didasari dengan rasa cinta. Seseorang tidak akan berniat untuk berbuat sesuatu kecuali yang memberikan manfaat atau menghilangkan mudharat pada dirinya, karena semua orang menginginkan berbuat sesuatu yang bisa memberinya manfaat dan membenci sesuatu yang membahayakannya. Adapun cinta kepada Rasulullah saw. akan membuatmu mengikuti beliau secara lahir maupun bathin, karena orang yang sedang jatuh cinta akan mengikuti kekasihnya, sampai pada urusan dunia sekalipun, mengikuti cara berpakaian, mengikuti cara berbicara, mengikuti tingkah lagu, dan seterusnya. Oleh karena itu, jika engkau benar-benar mencintai Rasulullah saw., maka engkau akan mengikuti Sunnah beliau. Syaikh Bakar menyebut sebuah ayat yang oleh para ulama salaf disebut sebagai ayat ujian, karena ada sebagian orang yang mengaku mencintai Allah, maka Allah pun berfirman, "Katakanlah (wahai Muhammad): 'Kalau memang engkau mencintai Allah, ikutilah aku'." Apa jawaban dari syarat ini? Jawaban sebenarnya adalah: "Ikutilah aku, baru engkau benar-benar jujur dalam pengakuanmu." Sekarang jadilah syarat dan yang disyaratkan itu adalah "jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, maka baru kalian jujur dalam pengakuan kalian," namun ternyata jawaban dalam ayat tersebut adalah "Ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian." Ini sebagai sebuah isyarat bahwa inti permasalahan ini adalah agar Allah mencintaimu dan bukan bagaimana engkau mencintai-Nya, karena semua orang mengaku mencintai Allah, padahal sebenarnya tidak.

Ikutilah Jalan Salafush Shaleh

Setiap penuntut ilmu hendaklah mengikuti jalan yang ditempuh oleh para salafush shaleh dari kalangan para sahabat serta orang-orang setelah mereka yang mengikuti jejak mereka dalam semua masalah agama, mulai dari masalah tauhid, ibadah, dan selainnya. Tetaplah konsisten untuk mengikuti Sunnah Rasulullah saw. dan merealisasikannya dalam kehidupanmu dan jauhilah perdebatan, jauhilah mempelajari ilmu kalam (filsafat), serta jauhilah segala hal yang mendatangkan dosa dan menjauhkan dari syariat Allah Ta'ala.

 

Ini adalah masalah yang sangat penting. Seseorang harus mengikuti jejak salafush shaleh pada semua permasalahan agama, mulai dari masalah tauhid, ibadah, muamalah, dan sebagainya. Juga, harus meninggalkan perdebatan, karena perdebatan adalah pintu yang menutupi jalan kebenaran, dikarenakan seseorang yang berdebat akan banyak berbicara dan hanya untuk membela diri saja. Sehingga, seandainya sudah jelas baginya suatu kebenaran namun tetap menolaknya, atau membawanya kepada penafsiran yang munkar demi membela diri dan memaksa lawan debat untuk menerima pendapatnya. Maka, jika engkau menjumpai lawan debatmu masih terus membangkang, padahal sebenarnya sudah nampak kebenaran itu, maka jauhilah dia.

 

Selain menjauhi perdebatan, mempelajari ilmu kalam juga membuang-buang waktu, karena ilmu ini membahas sesuatu yang sangat amat jelas. Pernah suatu hari saya mengajar, ada seorang murid yang bertanya, "Apakah akal itu?" Lalu dia menerangkan kepadaku definisi akal secara bahasa, istilah, adat kebiasaan, dan syar'i. Ini adalah sesuatu yang tidak punya definisi, namun ilmu kalam memasukkan hal-hal itu kepada kita. Kita dengar ada yang bertanya, "Apakah akal itu?" Subhanallah!

 

Yang jelas bahwa orang yang duduk termenung memikirkan apa definisi akal telah menjadi gila, karena ini adalah sesuatu yang tidak butuh didefinisikan. Ahli kalam menghalangi manusia dari mempelajari kebenaran dan manhaj salaf yang mudah dengan segala subhat, berbagai definisi, batasan, dan lainnya. Lihatlah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tatkala membantah orang-orang ahli manthiq (jilid ke-9 dan ke-10 Majmuu' Fataawa), niscaya akan jelas perkara ini bagimu, atau lihatlah kitab Naqdhul Manthiq. Kitab ini lebih ringkas dan lebih bisa dipahami oleh para penuntut ilmu, niscaya akan jelas bagimu kesesatan mereka. Apakah yang menjadikan para ulama menakwilkan ayat-ayat tentang sifat Allah? Tidak lain adalah ilmu kalam. Mereka mempersembahkan kepadamu ilmu yang hanya akan menyesatkanmu, meskipun mereka menyangka memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.

 

Berakata Imam Adz-Dzahabi (lihat Siyar A'laamin Nubalaa' [XVI/57]): "Diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Imam Ad-Daruquthni bahwasanya beliau berkata: 'Tidak ada sesuatu yang lebih saya benci melebihi ilmu kalam.' Saya (Adz-Dzahabi) berkata: 'Padahal beliau sama sekali belum pernah belajar ilmu kalam, juga ilmu perdebatan, serta belum pernah mendalaminya, akan tetapi beliau adalah seorang salafi.'."

 

Beliau sangat membenci ilmu kalam karena memang ilmu ini mempunyai banyak pengaruh negatif: memperpanjang sebuah permasalahan tanpa ada faidahnya, membuat ragu sesuatu yang sudah pasti, menggoncangkan akal pikiran, serta menolak Sunnah. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa tidak ada yang paling membahayakan aqidah umat Islam dari ilmu kalam dan manthiq. Dari sini, maka banyak tokoh-tokoh kaliber ilmu kalam yang pada akhir hayatnya mengakui bahwasannya mereka kembali kepada aqidahnya orang-orang awam, juga kembali kepada fitrahnya setelah mengetahui keruskaan ilmu kalam.

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Al-Fataawa al-Hamawiyah (Majmuu' Fataawa [V/118]): "Kebanyakan orang yang dikhawatirkan menjadi sesat adalah orang yang masih sedang-sedang dalam mempelajari ilmu kalam, karena orang yang sama sekali tidak pernah mempelajarinya akan selamat dari bahayanya, sedangkan orang yang mencapai puncaknya ilmu kalam pasti akan mengetahui kerusakan dan kebathilannya, maka dia akan bertaubat."

 

Ilmu kalam ini sangat berbahaya karena berhubungan dengan Sifat dan Dzat Allah, menolak nash dan menuhankan akal. Mereka memiliki prinsip yang bertentangan dengan apa yang ditempuh para salaf. Prinsip atau kaidah-kaidah yang mereka gunakan sama sakali tidak berdasar, mereka sesat dan menyesatkan, mereka juga ragu-ragu dan bingung. Oleh karena itu, orang yang paling bingung pada akhir hayatnya adalah para ulama kalam. Mereka mengutak-atik apakah Allah itu benda konkret atau abstrak, apakah Dia berdiri sendiri atau butuh lainnya, apakah Allah berbuat atau tidak, dan begitu seterusnya sampai saat kematian menjemput dia masih ragu-ragu. Kita memohon kepada Allah semoga selamat dari bencana ini.

 

Adapun jika jalan yang ditempuh adalah jalan ulama salaf, maka urusannya akan menjadi mudah dan hatinya tidak akan terhinggapi penyakit bingung dan ragu-ragu. Mereka Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang mengikuti Sunnah Rasulullah. Merekalah orang-orang yang dikatakan oleh Syakhul Islam Ibnu Taimiyah: "Ahlus Sunnah adalah umat Islam yang bersih dan sebaik-baik manusia bagi manusia lainnya." (Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah [V/158]).

 

Maka, tetaplah mengikuti jalan ini dan jangan mengikuti jalan-jalan lainnya yang akan memisahkan kalian dari jalan Allah. ".... Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya ...." (Al-An'aam: 153).

 

 

Senantiasa Takut kepada Allah Ta'ala

Allah SWT berfirman, ".... Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama ...." (Faathir: 28).

Imam Ahmad rhm. berkata, "Inti ilmu adalah rasa takut kepada Allah."

Jika seseorang telah mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, dia akan taat kepada Allah dengan sebenar-benarnya dari hati sanubarinya. Maka, senantiasa takutlah kepada Allah, baik dalam keadaan sembunyi maupun terang-terangan. Dengan demikian, ilmu itu menuntut untuk diamalkan, karena jika seorang ulama tidak mengamalkan ilmunya, dia akan menjadi orang yang pertama kali dimasukkan ke dalam neraka pada hari kiamat nanti. Seorang ulama yang tidak mengamalkan ilmunya akan diazab sebelum para penyembah berhala. Ini adalah kerugian pertama bagi yang tidak mengamalkan ilmunya.

 

Orang yang tidak mengamalkan ilmunya juga akan gagal dalam proses belajarnya, ilmunya tidak akan membawa berkah, juga dia akan menjadi lupa, sebagaimana firman Allah Ta'ala, "(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dati tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya ...." (Al-Maa-idah: 13).

 

Adapun jika seseorang itu mengamalkan ilmunya, maka Allah Ta'ala menambahkan petunjuk baginya, sebagaimana fiaman-Nya, "Dan orang-orang yang mendapat petunjuk Allah menambah petunjuk kepada mereka ...." (Muhammad: 17).

 

 

Selalu Merasa Diawasi oleh Allah Ta'ala

Hiasilah dirimu dengan merasa selalu mendapatkan pengawasan dari Allah Ta'ala, baik dalam keadaan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Berjalanlah menuju Rabbmu dengan rasa takut dan penuh harapan, karena bagi seorang muslim keduanya bagaikan dua sayap burung, hadapkan dirimu semuanya kepada Allah, penuhilah hatimu dengan rasa cinta kepada-Nya dan lisanmu dengan selalu berdzikir kepada-Nya, serta selalu gembira, senang, suka dengan semua hukum dan hikmah-Nya.

 

Selalu merasa diawasi oleh Allah adalah buah dari rasa takut kepada-Nya. Jikalau seseorang selalu merasa bersama Allah, dalam beribadah dia akan merasa dilihat oleh Allah, saat ingin mendirikan shalat lalu berwudhu seakan-akan dia menunaikan perintah Allah SWT dalam firman-Nya, "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu ...." (Al-Maa-idah: 6).

 

Dan, seakan-akan dia melihat Rasulullah saw. sedang berwudhu lalu bersabda, "Barang siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini ...." (HR Bukhari dan Muslim). Begitulah kesempurnaan merasa diawasi oleh Allah, dan ini adalah sesuatu yang sangat penting.

 

Perkataan syaikh: "Hendaklah seseorang itu selalu berjalan antara rasa takut dan penuh harap, karena keduanya bagi seorang muslim semacam dua sayap burung," ini adalah salah satu pendapat para ulama tentang manakah yang lebih utama apakah seseorang itu harus menyatukan antara rasa takut dan harap ataukah mengutamakan rasa takut, ataukah sebaliknya, lebih mengutakaman rasa harap.

 

Imam Ahmad rhm. berpendapat, "Hendaknya seseorang itu menyatukan antara rasa takut dan harap, kalau salah satu di antara keduanya lebih kuat, akan rusaklah iman orang tersebut."

 

Sebagian ulama merinci masalah ini, mereka mengatakan, "Apabila engkau ingin melakukan perbuatan ketaatan, utamakan rasa berharap bahwa jika engkau melakukan amalan itu niscaya Allah akan menerimanya dan mengangkat derajatmu. Namun, apabila engkau hendak melaksanakan semua kemaksiatan, maka utamakanlah rasa takut sehingga engkau tidak jadi melakukannya. Nah, atas dasar inilah, maka tentang mana yang diutamakan antara dua hal tersebut adalah tergantung pada keadaan seseorang itu sendiri.

 

 

Tawadhu', Rendah Hati, dan Tidak Sombong dan Congkak

Hiasilah dirimu dengan etika-etika jiwa (hati), berupa menjaga kehormatan diri, santun, sabar, rendah hati dalam menerima kebenaran, berperilaku tenang dengan sikap yang berwibawa, teguh serta tawadhu, juga mampu menanggung beban berat selama belajar demi memperoleh kemuliaan ilmu serta bersedia tunduk pada kebenaran.

 

Oleh karena itu, hidarilah segala perilaku yang akan merusak adab ini, karena disamping mengundang dosa juga akan menunjukkan bahwa ada cacat pada akalmu, serta engkau tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan mampu mengamalkannya. Maka dari itu, jauhilah sikap sombong, karena itu adalah kemunafikan dan sikap takabbur. Dulu para ulama salaf amat sangat keras dalam menjaga diri dari kesombongan.

 

Adz-Dzahabi dalam biografi 'Amr bin Al-Aswad al-'Ansy rhm. yang wafat pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan rhm., konon apabila beliau keluar dari masjid pasti menggenggamkan tangan kanan pada tangan kirinya. Tatkala beliau ditanya: "Mengapa berbuat begitu?" Beliau menjawab: "Saya khawatir tangan saya ini akan berbuat kemunafikan." Saya berkata, "Beliau menggenggamnya karena takut akan melenggangkan tangannya tatkala sedang berjalan, karena perbuatan itu termasuk kesombongan." (Lihat Siyar A'laaamin Nubalaa' [IV/80]).

 

Ini adalah sesuatu yang tidak sengaja dilakukan oleh Al-Ansy rhm., oleh karena itu berhati-hatilah terhadap kesombongan yang merupakan penyakit para diktator. Kelancangan pada gurumu adalah kesombongan, keangkuhanmu pada orang yang telah mengajarkan ilmu kepadamu hanya karena umurnya lebih muda daripada engkau merupakan suatu kesombongan, engkau sembrono tidak mengamalkan ilmumu adalah lumpur kesombongan dan tanda diharamkan ilmu itu darimu. Ilmu itu musuh bagi pemuda yang sombong, seperti aliran air juga musuh bagi tempat yang tinggi.

 

 

Qana'ah (Puas) dan Zuhud

Qana'ah adalah sikap paling utama yang harus dimiliki seorang penuntut ilmu, maksudnya yaitu menerima apa adanya yang diberikan oleh Allah Ta'ala serta tidak menginginkan menjadi orang yang kaya raya. Karena, sebagian para pelajar ingin mengikuti tren orang-orang kaya, maka akhirnya dia banyak mengeluarkan biaya. Oleh karena itu, hendaklah engkau menjadi orang yang qana'ah karena sifat ini adalah sebaik-baik bekal bagi seorang muslim.

 

Adapun yang dimaksud zuhud di sini adalah tidak berbuat yang haram serta menjauhkan diri dari segala sesuatu yang bisa menjerumuskan pada keharaman dengan cara menahan diri dari segala syubhat, juga tidak menginginkan terhadap apa yang dimiliki orang lain.

 

Diriwayatkan dari Imam Asy-Syafi'i rhm bahwasannya beliau berkata, "Seandainya ada seseorang yang berwasiat agar memberikan sesuatu kepada orang yang paling berakal, maka harus diberikan kepada orang-orang yang zuhud." Menapa demikian, sebab orang yang zuhud adalah orang yang paling berakal, karena mereka menjahui segala yang tidak membawa manfaat bagi akhirat mereka.

 

Dulu guru kami, Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi (beliau wafat 17/12/1393 H), adalah orang yang sangat zuhud pada urusan dunia. Saya menyaksikan bahwa beliau tidak pernah memiliki lembaran uang dalam jumlah besar. Pernah suatu hari beliau berbicara kepadaku: "Saya datang dari negeri Syinqith dengan membawa modal yang jarang dimiliki orang lain, yaitu rasa qana'ah, seandainya saya menginginkan jabatan, saya akan bisa mencapainya, namun saya tidak akan mementingkan urusan duniaku di atas akhiratku, saya tidak akan menjadikan ilmu ini untuk memperoleh kedudukan duniawi." Semoga Allah mencurahkan kepada beliau keluasan rahmat-Nya.

 

 

Hiasilah Diri dengan Keindahan Ilmu

Menghiasi diri dengan keindahan ilmu berupa bagusnya budi pekerti, bersikap tenang, berwibawa, khusus, tawadhu, dan senantiasa bersikap istiqamah secara lahir maupun batin, serta tidak melakukan segala yang bisa merusaknya.

 

Imam Ibnu Sirin berkata, "Dulu para ulama mempelajari budi pekerti sebagaimana mereka mempelajari ilmu." (Diriwayatkan oleh Al-Khathib al-Baghdadi dalam Al-Jaami' [9]).

 

Dari Raja' bin Haiwah, beliau berkata kepada seseorang, "Sampaikanlah kepadaku sebuah hadits, tetapi jangan sampaikan hadits dari riwayat orang yang pura-pura mati, juga jangan dari orang yang suka mencela." (Diriwayatkan oleh Al-Khathib al-Baghdadi dalam Al-Jaami' [166] dan Al-'Uqaili dalam Adh-Dhu'afa' [I/12]). Kedua kisah ini diceritakan oleh Al-Khatib dalam kitab Al-Jami', lalu beliau berkata, "Wajib bagi penuntut ilmu hadits untuk menghindari suka bermain, berbuat yang sia-sia dan bersikap rendah dalam majelis ilmu serta tertawa terbahak-bahak, banyak membuat lelucon, suka senantiasa bersenda gurau. Senda gurau itu hanya diperbolehkan kalau dilakukan kadang-kadang saja asal tidak sampai melanggar adab dan sopan santun dalam menuntut ilmu. Adapun kalau dilakukan secara terus-menerus, mengucapkan ucapan kotor, jorok, serta yang bisa menyakitkan hati, semua itu adalah perbuatan tercela. Sebab, banyak senda gurau dan tertawa akan menghilangkan kewibawaan dan harga diri." (Lihat Al-Jaami' oleh Al-Khathib [I/156]).

 

Ada sebuah pepatah: "Barang siapa yang banyak melakukan sesuatu, maka dia akan dikenal dengannya." Jauhilah segala perusak ilmu ini, baik dalam majelis maupun dalam setiap pembicaraanmu. Namun, sebagian orang-orang dungu menyangka bahwa bersikap longgar dalam seperti ini adalah sebuah sikap toleransi.

 

Dari Imam Al-Ahnaf bin Qais, ia berkata, "Jauhkanlah majelis kita dari menyebut-nyebut wanita dan makanan, saya benci seorang laki-laki yang suka membicarakan kemaluan dan perutnya." (Lihat Siyar A'laamin Nubalaa' [IV/94] dan Faidhul Qadir [I/537]).

 

Hal ini karena akan bisa mengalihkan perhatian dari menuntut ilmu, semacam kalau berkata, "Tadi malam saya makan sampai kekenyangan." Atau, ucapan sejenis yang tidak ada gunanya sama sekali. Juga berbicara seputar urusan wanita, terlebih lagi kalau ada yang membicarakan hubungan suami istri yang dilakukannya, maka orang semacam ini adalah sejelek-jelek manusia pada hari kiamat dalam pandangan Allah Ta'ala.

 

Umar bin Khaththab r.a. berkata dalam surat yang ditulisnya kepada Abu Musa al-Asy'ari tentang qadha': "Barang siapa yang menghiasi dirinya dengan sesuatu yang tidak dia miliki, maka Allah akan menampakkan keburukannya." (Riwayat Al-Baihaqi [21124], Daruquthni [IV/206], Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad [X/449], dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq [XXXII/71-72] dari Abu 'Awwam al-Bashri).

 

Apa pun akhlak yang terdapat pada diri seseorang, meskipun dia sembunyikan dari manusia, pasti akan ketahuan juga. Bagaimanapun usaha manusia untuk menyembunyikannya, Allah pasti mengetahuinya dan akan membongkar kedok orang yang beramal tidak ikhlash untuk-Nya. Maka, jadikanlah ucapan Umar ini untuk menimbang seluruh aktivitasmu.

 

 

Berhiaslah dengan Muru-ah (Kehormatan/Kesatriaan)

Selalu berhias dengan muru-ah serta segala yang bisa membawamu kepada muru-ah dengan selalu berakhlak mulia, berwajah manis saat bertemu, menyebarkan salam, menolong orang lain, tegas tanpa sombong, gagah berani tanpa kediktatoran, bersikap kesatria tanpa harus fanatik golongan dan punya semangat yang menggelora tanpa harus seperti orang-orang jahiliah.

 

Muru-ah adalah melakukan segala perbuatan yang bisa membuatnya terhormat serta menjahui segala perbuatan yang bisa merendahkan martabatnya. Hal ini bersifat umum. Bahwasannya segala sesuatu yang bisa membuatnya terhormat dalam pandangan orang lain serta membuat orang lain akan memujinya adalah sifat muru-ah meskipun bukan sebuah perkara ibadah, dan segala sesuatu yang merupakan kebalikan dari perbuatan tersebut berarti lawan dari muru-ah.

 

Maka, hindarilah hal-hal yang dapat merusak kehormatan, baik dalam watak (perangai), perkataan, perbuatan, dan juga sikap yang rendah dan jelek lainnya seperti ujub (berbangga diri), riya, sombong, takabur, meremehkan orang lain, serta mengunjungi tempat-tempat yang kotor penuh meragukan.

 

 

Bersikap Kesatria

Milikilah sifat kesatria, berupa keberanian, tegas dalam mengatakan kebenaran, berakhlak mulia, berkorban demi kebaikan agar engkau disegani oleh orang lain, dan jauhilah sifat-sifat yang sebaliknya, berupa tidak tabah, tidak sabar, tidak bermoral. Karena, itu akan menghanurkan ilmu dan menyebabkan lisanmu tidak mau mengatakan sebuah kebenaran, yang berakibat pada pertikaian pada saat tersebarnya racun-racun di antara hamba Allah yang shaleh.

 

Ada ungkapan yang indah dari seorang penyair, Al-Mutanabbi, "Barpikir harus didahulukan sebelum keberanian para kesatria. Yang pertama adalah berpikir dahulu, baru yang kedua mengambil sikap berani. Apabila kedua sifat ini ada pada seorang yang merdeka, maka akan bisa mencapai cita-cita yang tertinggi."

 

 

Menjauhi Kemewahan

Janganlah terus-menerus hanyut dalam kelezatan dan kemewahan, karena kesederhanaan termasuk sebagian dari iman dan ambillah wasiat dari Amirul Mukminin Umar bin Khaththab dalam suratnya yang masyhur, di dalamnya tertulis, "Jauhilah oleh kalian hanyut dalam kemewahan, dan senang berhias dengan mode orang asing, bersikaplah dewasa dan berpakaianlah secara sederhana (tidak mewah) ...." (Shahih riwayat Ibnu Hibban [5454], Abu 'Awanah [8514], Al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra [X/14] dan dalam Syu'abul Iman [6186], Ahmad dalam Musnad [301], Abu Ya'la [213], dan Ibnul Ja'd dalam Musnad [995] dari hadits Abu Usman an-Nahdi).

 

Oleh karena itu, hidarilah kepalsuan peradaban modern, karena itu watak (perangai) menjinakkan sikap dan mengendorkan otot serta mengikatmu dengan tali angan-angan. Orang-orang yang bersungguh-sungguh sudah dapat mencapai tujuan, namun engkau masih belum beranjak dari tempatmu, engkau hanya sibuk dengan penampilan pakaianmu. Anggaplah pakaian itu tidak haram juga tidak makruh, namun itu bukan ciri pakaian orang-orang shaleh. Penampilan luar semacam pakaian merupakan tanda kecenderungan hati seseorang, bahkan itulah jati diri yang sebenarnya. Bukankah pakaian sekadar salah satu cara untuk mengungkapkan siapa sebenarnya jati dirinya?

 

Behari-hatilah dalam berpakaian, karena pakaian itu dapat mengungkapkan kepada orang lain mengenai jati diri Anda dalam hal kecenderungan, sikap, dan perasaan. Dari sini ada sebuah ungkapan: "Penampilan luar menunjukkan kecenderungan hati." Orang lain akan menggolongkanmu dari pakaianmu, bahkan cara engkau berpakaian pun akan memberikan gambaran bagi orang lain bahwa yang memakainya itu memiliki keteguhan dan kecerdasan ataukah ia orang yang ahli ibadah ataukah orang yang glamour dan suka popularitas. Berpakaianlah yang pantas bagimu, jangan membuat orang lain mencelamu, juga jangan membuat orang lain menggunjingmu. Jika pakaianmu serta caramu memakainya sesuai dengan keluhuran ilmu syar'i yang engkau miliki, niscaya itu semua akan lebih membuatmu mulia serta ilmumu lebih bermanfaat, bahkan jika engkau berniat yang baik, maka itu semua akan menjadi amal shaleh karena merupakan wasilah (perantara) untuk bisa memberi hidayah pada orang lain agar menerima kebenaran. Ada sebuah atsar dari Amirul Mukminin Umar bin Khaththab: "Saya lebih senang melihat pembaca Al-Qur'an itu berpakaian putih." (Diriwayatkan oleh Malik [1621]).

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengungkapkan bahwa manusia itu seperti sekumpulan burung terbang yang memiliki watak untuk saling menyerupai satu sama lainnya. Oleh karena itu, hidarilah pakaian kekanak-kanakan. Adapun mengenai pakaian orang-orang kafir, maka hukumnya tidak asing lagi bagimu.

 

 

Menghindar dari Tempat-Tempat yang Sia-Sia

Janganlah injakkan kakimu di tempat orang-orang yang bergelimang dengan kemungkaran serta merobek-robek tirai kesopanan dengan berpura-pura bodoh terhadap semua itu. Jika engkau melakukannya, maka dosamu pada ilmu dan ulama akan sangat besar.

 

Allah SWT berfirman, "Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain ...." (An-Nisaa': 140).

 

Barang siapa yang duduk di tempat yang ada kemungkarannya, maka wajib atasnya mencegah kemungkaran tersebut. Kalau keadaannya berubah menjadi baik, itulah yang diharapkan; jika tidak, dan bahkan mereka tetap terus-menerus melakukan kemungkarannya, maka wajib untuk menghindarinya. Bukan seperti yang dipikirkan oleh kebanyakan orang bahwa saya membenci kemungkaran itu dalam hati sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Maka jika engkau tidak mampu (mencegah kemungkaran dengan tangan dan lisan), maka cegahlah dengan hati." (HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban dari hadits Abu Sa'id al-Khudri r.a.). Katakan kepada orang semacam itu: "Seandainya benar engkau membencinya, pasti engkau tidak akan duduk bersama mereka, karena manusia tidak mungkin duduk bersama yang dibencinya, kecuali kalau terpaksa, adapun engkau duduk dengan suka hati, lalu engkau mengaku membencinya, maka pengakuan ini tidak mungkin benar."

 

 

Hindari Hura-Hura

Jagalah dirimu dari kegaduhan dan hiruk-pikuk, karena kesalahan sering kali disebabkan oleh hiruk-pikuk, dan ini dapat menafikan adab menuntut ilmu.

 

Hiruk-pikuk yang dimaksud di sini adalah keramaian pasar. Hal itu sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits yang memperingatkan pergi ke pasar, karena dalam pasar terdapat keributan, cercaan, can makian. Ada sebagian penuntut ilmu yang berkata: "Saya duduk-duduk di pasar untuk melihat apa saja yang terjadi dan diperbuat orang-orang di sana." Kita katakan kepada orang semacam ini: "Ada perbedaan antara sekadar ingin tahu dengan kalau dilakukan terus-menerus." Maksudnya, seandainya disebutkan bahwa di pasar anu ada periwtiwa begini dan begitu, maka tidak mengapa engkau datang untuk mengetahuinya, namun kalau engkau selalu duduk-duduk di pasar setiap waktu, maka ini adalah sebuah kesalahan, karena bisa membuatmu hina, bahkan bisa juga merupakan penghinaan bagi ilmu itu sendiri.

 

Bersikap Lemah Lembut

Bersikaplah lemah lembut selau dalam bertutur kata, jauhilah ucapan yang kasar, karena ucapan yang lemah lembut akan mampu menjinakkan jiwa yang sedang berontak. Sangat banyak dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah mengenai hal ini.

 

Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan pada semua perkara." (HR Bukhari dan Muslim).

 

Juga, sabda beliau, "Tidaklah kelemahlembutan itu terdapat pada sesuatu kecuali akan mengiasinya, dan tidak dicabut dari sesuatu kecuali akan merusaknya." (HR Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Hibban).

 

Hanya saja, seharusnya seseorang dalam bersikap lemah lembut itu tanpa dibarengi dengan sifat lemah diri. Adapun kalau lemah lembutnya menjadikan dia dihina, pendapatnya tidak dipakai dan tidak diperhatikan, maka ini bertentangan dengan keharusan bersikap tegas. Oleh karena itu, harus lemah lembut pada saat butuh kelembutan dan harus tegas pada saat butuh ketegasan.

 

Tidak ada satu pun yang paling penyayang dengan makhluk selain Allah Ta'ala sendiri, meskipun begitu, Dia berfirman, "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah ...." (An-Nuur: 2).

 

Setiap keadaan menuntut kebijakan sikap masing-masing. Seandainya seseorang memperlakukan anaknya dengan lemah lembut terus-menerus sampai-sampai pada masalah yang butuh ketegasan, maka dia tidak akan mampu mendidiknya.

 

Berpikir dan Merenung

Hiasilah dirimu dengan selalu berpikir, karena orang yang berpikir akan bisa mengetahui. Ada sebuah ungkapan: "Berpikirlah, niscaya engkau akan tahu." Oleh karena itu, berpikirlah tatkala berbicara, dengan apa engkau berbicara? Apakah dampaknya? Berhati-hatilah dalam mengungkapkan kata dan menyampaikannya namun tanpa harus keterlaluan atau menampakkan kepandaian. Berhati-hatilah tatkala mengingatkan orang lain, bagaimana engkau memilih bahasa yang pas dengan yang engkau kehendaki, berpikirlah tatkala ada yang bertanya, bagaimana engkau berusaha memahami pertanyaan tersebut dengan sebenarnya, sehingga tidak akan mengandung dua kemungkinan. Dan begitu seterusnya.

 

Para ulama dulu berkata, "Janganlah engkau letakkan kakimu kecuali mengetahui bahwa tempat itu selamat bagimu." Karena, bisa saja seseorang melangkah berjalan, namun jangan meletakkan kaki pada lubang duri atau batu, jangan letakkan kaki kecuali engkau tahu di mana harus diletakkan. Berpikir dan merenung ini penting, jangan tergesa-gesa kecuali kalau memang harus melakukannya.

 

 

Teguh Pendirian dan Selektif Menerima Berita

Hiasilah dirimu dengan teguh pendirian, serta mengecek kebenaran setiap kabar yang diterima, terutama pada saat-saat genting dan penting. Sikap ini mencakup sabar dan teguh dalam belajar dan melewatkan waktu-waktunya untuk belajar kepada para ulama, karena orang yang teguh (sabar) akan tumbuh menghsailkan yang dia inginkan.

 

Sumber: Diringkas dari Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu, terj. Ahmad Sabiq, Lc (Pustaka Imam Asy-Syafi'i, 2005); judul asli: Syarah Hilyah Thaalibil 'Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin (Maktabah Nurul Huda, 2003).

Mengapa Kita Harus Menuntut Ilmu Agama? (2)

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut lanjutan penjelasan tentang urgensi (pentingnya) menuntut ilmu agama, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Mengapa kita harus mempelajari ilmu agama?

  1. Ilmu tidak sulit untuk dijaga; berbeda dengan harta.

Terhadap harta, uang misalnya, engkau harus menjaganya di tempat yang aman agar tidak hilang, di samping dirimu harus terus waspada terhadapnya. Adapun ilmu agama, dialah yang menjagamu agar tidak salah langkah, dan dengan memilikinya dirimu merasa tenang.

  1. Allah menjadikan Ahli Ilmu sebagai saksi atas keesaan-Nya

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian). Tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Ali Imran: 18)

Cukuplah kebanggaan bagimu wahai penuntut ilmu, bahwa dirimu termasuk orang-orang yang dijadikan saksi oleh Allah atas keesaan-Nya.

  1. Ahli Ilmu termasuk ulil amri (pemegang urusan atau kuasa).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59)

Para ulama menafsirkan ulil amri di sini dengan umara (pemerintah) dan ulama. Hal itu, karena wilayah ulama adalah menerangkan syariat Allah dan mengajak manusia kepadanya, sedangkan wilayah umara adalah memberlakukan syariat Allah dan menekan manusia untuk mengikutinya.

  1. Memahami agama merupakan tanda, bahwa Allah menginginkan kebaikan kepada dirinya, dan bahwa merekalah al firqah an najiyah (golongan yang selamat)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللَّهُ يُعْطِي، وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ الأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللَّهِ، لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ

“Barang siapa yang diinginkan Allah mendapatkan kebaikan, maka Allah akan pahamkan terhadap agama. Saya hanyalah menyampaikan ilmu, namun Allah yang memberinya. Akan senantiasa ada di umat ini orang-orang yang menjaga perintah Allah, tidak meresahkan mereka orang-orang yang menyelisihinya sampai datang janji Allah (hari Kiamat).” (HR. Bukhari)

Paham terhadap agama di sini mencakup paham tehadap akidah yang benar dan syariat-syariat dalam agama ini.

Imam Ahmad berkata tentang orang-orang yang menjaga perintah Allah dalam hadits di atas, “Jika mereka bukan Ahli Hadits, maka aku tidak mengetahui siapa mereka.”

Al Qadhiy Iyadh berkata, “Maksud Imam Ahmad adalah Ahlussunnah dan orang yang berakidah seperti akidah Ahli Hadits.”

  1. Orang yang memiliki ilmu agama tidak mengapa dighibthahi (diiirikan)

Iri yang tidak tercela adalah ghibthah, yakni seseorang berkeinginan memiliki apa yang ada pada orang lain tanpa ada keinginan agar apa yang ada pada orang lain hilang daripadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan iri kepada Ahli Ilmu yang mengamalkannya, dan kepada orang kaya yang menggunakan hartanya di jalan Allah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا، فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الحَقِّ، وَرَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً، فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

“Tidak boleh iri kecuali kepada dua orang; seorang yang Allah berikan harta, lalu ia keluarkan untuk kebenaran, dan seorang yang Allah berikan hikmah (ilmu), lalu ia memutuskan dengannya dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

  1. Orang yang berilmu dan mengamalkannya seperti permukaan tanah yang baik yang dapat menyerap air dan menumbuhkan tanaman

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنَ الهُدَى وَالعِلْمِ، كَمَثَلِ الغَيْثِ الكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ، قَبِلَتِ المَاءَ، فَأَنْبَتَتِ الكَلَأَ وَالعُشْبَ الكَثِيرَ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ، أَمْسَكَتِ المَاءَ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى، إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَلَأً، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ، وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ»

“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengan membawanya adalah seperti hujan yang lebat yang turun mengenai tanah. Di antara jenis tanah itu, ada tanah yang baik yang dapat menyerap air dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Ada pula tanah yang keras, yang menahan air (tergenang), sehingga Allah memberikan manfaat kepada manusia dengannya, mereka dapat meminumnya, memberi minum hewan ternaknya, dan menyiram tanaman. Ada pula permukaan tanah yang datar dan licin yang tidak dapat menampung air dan tidak dapat menumbuhkan tanaman. Demikianlah perumpamaan orang yang paham terhadap agama Allah dan dapat memanfaatkan apa yang aku diutus dengannya, dia pun mempelajarinya dan mengajarkannya dengan orang yang tidak peduli terhadapnya serta tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

  1. Orang yang berilmu merupakan cahaya bagi manusia yang menunjuki mereka dalam urusan agama dan dunia

Sudah kita ketahui bersama, kisah seorang dari kalangan Bani Israil yang telah membunuh 99 orang, lalu ia ingin bertaubat, kemudian ia bertanya kepada Ahli Ibadah, namun bukan Ahli Ilmu tentang taubatnya, yakni masih bisa diterimakah taubatnya. Kemudian Ahli Ibadah itu menyatakan tidak diterima, hingga Ahli Ibadah ini pun dibunuh, sehingga yang ia bunuh menjadi 100 orang. Orang itu pun tidak berputus asa dan akhirnya bertemu dengan Ahli Ilmu, lalu ia bertanya tentang taubatnya, yakni apakah masih diterima taubatnya, lalu Ahli Ilmu menyatakan masih bisa diterima taubatnya, dan menyuruhnya pergi mendatangi kampung orang-orang saleh agar tidak kembali melakukan maksiat itu, namun di tengah perjalanan ke sana, maut tiba, dan Allah menerima taubatnya. Perhatikanlah bagaimana perbedaan antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.

  1. Allah Azza wa Jalla menyuruh Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta kepada-Nya tambahan ilmu; bukan harta.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

Dan katakanlah, “Ya Rabbi, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Thaha: 114)

Kalau sekiranya harta lebih utama daripada ilmu, tentu Allah menyuruh Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan harta; bukan ilmu.

Hukum menuntut ilmu agama

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

 “Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani)

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Menuntut ilmu syar’i hukumnya fardhu kifayah, dimana jika sudah dilakukan oleh sebagian orang, maka bagi yang lain hukumnya sunah. Tetapi menuntut ilmu bisa menjadi wajib atau fardhu ‘ain (wajib bagi setiap muslim), batasannya adalah mengetahui ibadah yang hendak dilakukannya atau mu’amalah yang hendak dijalankannya, maka dalam kondisi ini ia wajib mengetahui bagaimana ia beribadah kepada Allah dan bagaimana seharusnya ia menjalankan muamalah itu. Selain itu adalah fardhu kifayah. Dan bagi penuntut ilmu seharusnya merasakan bahwa dirinya sedang melakukan perbuatan fardhu kifayah agar ia memperoleh pahala orang yang mengerjakan amalan fardhu (kifayah) di samping memperoleh ilmu. Dan tidak diragukan lagi, bahwa menuntut ilmu termasuk amalan yang utama, bahkan termasuk jihad fi sabillah.” (kitabul Ilmi, pasal ke-3, hukmu thalibil ilmi).

Ilmu yang fardhu ‘ain juga bisa didefinisikan dengan ilmu yang seorang muslim harus mengetahuinya, seperti ilmu akidah, ilmu tentang ibadah yang hendak ia lakukan, dan muamalah yang hendak ia jalankan agar ibadah dan muamalahnya benar.  

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam, wal hamdulillahi Rabbil alamin.

Marwan bin Musa

Maraji’: Kitabul Ilmi (Syaikh M. bin Shalih Al Utsaimin), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

Mengapa Kita Harus Menuntut Ilmu Agama? (1)

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut penjelasan tentang urgensi (pentingnya) menuntut ilmu agama, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Ta’rif (definisi) ilmu agama

Ilmu agama atau ilmu syar’i adalah ilmu yang mempelajari wahyu yang diturunkan Allah Azza wa Jalla kepada Rasul-Nya Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Dengan demikian, ilmu ini mempelajari kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.

Allah menurunkan ilmu ini sebagai bentuk perhatian dan rahmat-Nya kepada manusia agar manusia tidak tersesat dalam kehidupan di dunia, karena sebagaimana Dia memperhatikan kebutuhan jasmani mereka dengan menciptakan hewan dan tumbuh-tumbuhan, serta menurunkan hujan, Dia juga memperhatikan kebutuhan rohani mereka, maka Dia menurunkan kitab dan mengutus para rasul-Nya ‘alaihimush shalatu was salam. Dan Rasul terakhir yang Dia utus adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini merupakan nikmat yang sangat besar yang patut kita syukuri.

Mengapa kita harus mempelajari ilmu agama?

Ada beberapa alasan yang menuntut kita untuk mempelajari ilmu agama atau ilmu syar’i. Di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Manusia terdiri dari jasad dan ruh atau jasmani dan rohani.

Jasmani kita butuh gizi agar dapat tumbuh berkembang dan tetap sehat. Gizi ini diperoleh dari makanan dan minuman. Jika jasmani kita kekurangan gizi, maka badan kita akan sakit, dan bahkan jika tidak mendapatkan gizi sama sekali, jasad kita akan mati. Demikian pula rohani kita, ia butuh mendapatkan gizi yang berupa siraman rohani.

Demi Allah, tidak ada siraman yang lebih baik dan menyehatkan rohani kita dibanding siraman agama yang terdiri dari firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan sabda Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Oleh karena itu, jika rohani kita kurang mendapatkan siraman rohani dari Al Qur’an dan As Sunnah, maka rohani kita akan sakit, dan jika tidak pernah mendapatkan sama sekali siraman rohani, maka rohani kita (baca: hati kita) akan mati, seperti halnya hati orang-orang kafir yang nasihat sudah tidak lagi bermanfaat bagi mereka. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.” (QS. Al Baqarah: 6)

  1. Orang yang berilmu lebih mulia dan utama daripada orang yang tidak berilmu

Sudah sama-sama kita ketahui, bahwa orang yang berilmu atau berpendidikan tidaklah sama dengan orang yang tidak berilmu atau tidak berpendidikan. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

Katakanlah, "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az Zumar: 9)

Orang yang berilmu, ucapan dan tindakannya lebih terkendali daripada orang yang tidak berilmu. Dan perumpamaan orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu adalah seperti orang yang mendengar dengan orang yang tuli, orang yang melihat dengan orang yang buta, dan seperti orang yang hidup dengan orang yang mati. Dengan ilmu seseorang mendapat petunjuk dalam hidupnya di dunia dan tidak berada dalam gelapnya kesesatan, berbeda dengan orang yang tidak berilmu.

  1. Allah meninggikan derajat orang yang berilmu

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al Mujadilah: 11)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Oleh karena itu, kita temukan para ulama menjadi objek pujian. Setiap nama mereka disebut, maka mereka mendapatkan pujian. Hal ini merupakan ketinggian untuk mereka di dunia, adapun di akhirat, maka derajat mereka bertingkat-tingkat sesuai dakwah yang mereka lakukan dan amal yang mereka kerjakan.” (Kitabul Ilmi, hal. 11) 

  1. Ilmu agama adalah penopang tegaknya agama

Mempelajari ilmu agama termasuk ibadah yang utama, bahkan lebih utama daripada ibadah sunah. Hal itu karena mempelajari ilmu agama termasuk bagian jihad fi sabilillah, karena agama Islam hanya tegak dengan dua perkara:

  1. Dengan ilmu
  2. Dengan kekuatan (perang)

Di antara kedua perkara di atas,  berjihad dengan ilmu lebih didahulukan daripada berjihad dengan kekuatan. Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum berjihad dengan kekuatan, berjihad dulu dengan ilmu, seperti yang Beliau lakukan ketika berada di Mekkah. Dan termasuk Sunnah Beliau juga dalam berjihad adalah tidak menyerang musuh sampai mendakwahi mereka terlebih dahulu.

  1. Seseorang tidak dapat bertakwa kecuali dengan ilmu agama

Kita mengetahui, bahwa arti takwa adalah menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi larangan-Nya. Dengan bertakwa, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memasukkan kita ke dalam surga-Nya. Bagaimana kita bisa mengetahui mana perintah Allah dan mana larangan-Nya kalau kita tidak belajar agama?

Oleh karena itu, jika seseorang ingin menjadi orang yang bertakwa, maka ia harus belajar agama.

Dari sini kita mengetahui, bahwa menuntut ilmu agama atau ilmu syar’i adalah jalan untuk menjadi orang yang bertakwa sekaligus jalan menuju surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barang siapa yang menempuh jalan unuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

  1. Dengan ilmu agama, amal menjadi benar dan diterima oleh Allah Azza wa Jalla

Tolok ukur benar-tidaknya dan diterima atau tidaknya suatu amal yang tampak adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amal itu dipandang benar dan diterima. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang mengerjakan amalan yang tidak kami perintahkan, maka amal itu tertolak (tidak diterima).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Inilah tolok ukur untuk menentukan benar-tidaknya dan diterima atau ditolaknya amalan yang tampak. Adapun tolok ukur untuk menentukan benar-tidaknya dan diterima atau ditolaknya amalan yang tersembunyi adalah niatnya, apakah ia lakukan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’aa atau karena selain-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal itu tergantung niat, dan seseorang akan memperoleh sesuai niatnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

  1. Ilmu agama merupakan warisan para nabi

Para nabi ketika wafat tidak meninggalkan harta, bahkan yang mereka tinggalkan adalah ilmu agama, Oleh karena itu, para ulama adalah pewaris para nabi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّهُ لَيَسْتَغْفِرُ لِلْعَالِمِ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ، وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، لَمْ يُوَرِّثُوا  دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، وَإِنَّمَا وَرِثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَ بِهِ، أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Barang siapa yang menempuh sebuah jalan untuk mencari ilmu (agama), maka Allah akan memperjalankannya di salah satu jalan surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya kepada penuntut ilmu karena ridha kepadanya. Dan sesungguhnya seorang yang berilmu dimintakan ampunan oleh makhluk yang ada di langit dan di bumi, sampai ikan-ikan di laut. Keutamaan Ahli Ilmu di atas Ahli Ibadah adalah seperti keutamaan bulan di atas semua bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham, yang mereka warisi adalah ilmu. Barang siapa yang mengambilnya, maka berarti ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Ahmad, Empat Imam Ahli Hadits, dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6297)

  1. Ilmu akan kekal, sedangkan harta akan binasa

Lihatlah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Beliau adalah salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang fakir, bahkan pernah tersungkur jatuh karena lapar, tetapi lihatlah beliau, namanya terus disebut ketika kita membaca hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Abu Hurairah adalah seorang yang mendapatkan banyak pahala karena orang-orang mendapatkan manfaat dari hadits-haditsnya. Dan kita sudah sama-sama mengetahui, bahwa jika seorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak yang saleh yang mendoakannya (sebagaimana dalam hadits riwayat Muslim). 

Bersambung…

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam, wal hamdulillahi Rabbil alamin.

Marwan bin Musa

Maraji’: Kitabul Ilmi (Syaikh M. bin Shalih Al Utsaimin), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut pembahasan tentang adab guru dan murid merujuk kepada bagian akhir kitab Musthalah Hadits karya Syaikh Ibnu Utsaimin, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Faedah ilmu dan buahnya adalah mengamalkan ilmu yang diketahuinya. Barangsiapa yang tidak mengamalkan ilmunya, maka ilmunya akan menjadi musibah baginya dan hujjah yang akan menyengsarakannya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ

“Dan Al Qur’an itu hujjah yang akan membelamu atau yang menyengsarakanmu.” (Hr. Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah)

Masing-masing guru dan murid memiliki adab yang patut diperhatikan, di antaranya ada yang menjadi adab bagi keduanya dan ada juga yang khusus bagi salah satunya.

Adab Guru dan Murid

Yang menjadi adab bagi keduanya (guru dan murid) adalah sebagai berikut:

  1. Mengikhlaskan niat karena Allah, yakni belajarnya dan mengajarkannya sebagai bentuk pendekatan dirinya kepada Allah dengan menjaga syariat-Nya, menyebarkannya, menghilangkan kebodohan yang menimpa dirinya dan manusia. Barang siapa yang meniatkan dalam belajarnya karena hendak memperoleh kesenangan dunia, maka sama saja telah menyiapkan dirinya kepada siksa. Di dalam hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda,

«مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

“Barangsiapa yang mencari ilmu yang seharusnya diniatkan karena Allah, namun ia belajarnya untuk memperoleh salah satu dari kesenangan dunia, maka ia tidak akan mencium wanginya surga.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)

Dan telah ada riwayat bahwa Beliau bersabda,

«مَنْ طَلَبَ العِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ العُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ»

“Barangsiapa yang menuntut ilmu agar sejalan dengan ulama (dalam perdebatan), atau agar dapat mendebat orang-orang yang bodoh, atau agar perhatian manusia kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi)[i]

  1. Mengamalkan ilmu yang diketahuinya, siapa saja yang mengamalkan ilmunya, niscaya Allah akan memberikan kepadanya ilmu yang tidak diketahuinya. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ

“Dan oraang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketakwaannya.” (Qs. Muhammad: 17)

Sebaliknya, barang siapa yang meninggalkan mengamalkan ilmunya, bisa saja Allah mencabut ilmunya, Allah Ta’ala berfirman,

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang telah diperingatkan kepada mereka dengannya.” (Al Maa’idah: 13)

  1. Berakhlak dengan akhlak yang mulia, seperti sopan, berperilaku baik, bersikap lembut, memberikan hal yang ma’ruf, siap memikul gangguan, dan akhlak-akhlak lainnya yang dipuji oleh syara’ atau ‘uruf (adat) yang lurus.
  2. Menjauhi akhlak yang hina, seperti berkata keji, mencaci-maki, menyakiti, bersikap kasar, kurang hati-hati dalam berkata dan bersikap serta akhlak-akhlak lainnya yang pelakunya dicela baik secara syara’ maupun ‘uruf yang masih lurus.

Adab Guru

  1. Berusaha menyebarkan ilmu dengan berbagai sarana, memberikannya kepada orang yang memintanya dengan wajah ceria dan lapang dada, senang dengan nikmat Allah berupa ilmu dan cahaya-Nya serta dimudahkan memperolehnya. Dan hendaknya ia berhati-hati dari menyembunyikan ilmu pada saat orang-orang butuh penjelasannya atau saat diminta penjelasan oleh seorang penanya. Dalam hadits, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ القِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ»

“Barangsiapa yang ditanya tentang suatu ilmu, lalu dia menyembunyikannya, maka akan dipakaikan kepadanya tali kekang (kendali) dari api pada mulutnya di hari Kiamat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)[ii]

  1. Bersabar terhadap gangguan dari murid dan buruknya cara bergaul mereka, agar ia memperoleh pahala orang-orang yang bersabar, serta dapat melatih mereka bersabar dan siap memikul gangguan dari orang lain. Tentunya, dengan disertai pengarahan, bimbingan dan sering mengingatkan dengan hikmah terhadap sikap buruk yang mereka (para murid) lakukan terhadapnya, agar wibawanya tidak hilang dari hati mereka, akibatnya usaha kerasnya mengajarkan mereka pun hilang.
  2. Hendaknya dia memberikan contoh di hadapan para murid dengan ibadah dan akhlak yang patut dilakukan, karena guru itu lebih banyak ditiru oleh muridnya, sikapnya ibarat cermin, dimana ibadah dan akhlaknya tergantung kepadanya.
  3. Hendaknya ia menempuh cara yang lebih dapat menyampaikan ilmu kepada muridnya dan menahan diri dari hal yang dapat menghalangi hal tersebut. Oleh karena itu, ia menggunakan kata-kata yang jelas dan dapat dipahami sekaligus menanamkan rasa cinta di hati mereka, agar ia mudah mengarahkan mereka dan mereka mau mendengarkan kata-katanya serta siap menerima arahannya.

Adab Murid

  1. Mengerahkan kemampuan untuk memperoleh ilmu, karena ilmu tidak mungkin diperoleh dengan santai bermalas-malasan. Oleh karena itu, ditempuhnya semua cara yang dapat menghasilkan ilmu. Di dalam hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim)

  1. Mendahulukan yang lebih penting dahulu, tentunya yang dibutuhkannya berupa ilmu tentang masalah agamanya dan dunianya, karena hal itu termasuk hikmah (kebijaksanaan). Allah Ta’ala berfirman,

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

“Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Hanya orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Qs. Al Baqarah: 269)

  1. Tawaadhu’ dalam mencari ilmu, yakni dengan tidak sombong dalam mengambil faedah dari siapa saja, karena tawadhu’ dalam hal ilmu merupakan ketinggian, rendah hati dalam mencarinya merupakan kemuliaan. Betapa banyak orang yang lebih sedikit ilmunya daripada anda secara umum, namun ia memiliki ilmu dalam masalah tertentu yang tidak kamu ketahui.
  2. Menghormati guru dan memuliakannya secara layak, karena guru yang memberikan nasehat seperti seorang bapak, ia memberikan makanan bagi jiwa dan hati dengan ilmu dan iman. Maka termasuk haknya adalah dimuliakan oleh murid dan dihormatinya secara pantas tanpa berlebihan dan tanpa meremehkan. Kalau pun hendak bertanya, maka pertanyaannya menunjukkan rasa minta saran, bukan bertanya dengan nada menantang apalagi menyombongkan diri, dan hendaknya ia siap memikul sesuatu yang diperolehnya dari gurunya berupa sikap kasar, keras, dan mudah membentak. Karena hal itu, bisa saja disebabkan oleh hal-hal luar, dimana seorang murid tidak menerima hal itu dari guru saat kondisinya jernih dan tenang.
  3. Berusaha mengingat-ingat, mencatat, dan menghafal apa yang dipelajarinya dalam hatinya atau mencatat dalam bukunya, karena manusia mudah lupa. Jika tidak seperti itu, ia akan melupakan ilmu yang dipelajarinya dan tentu akah hilang darinya, bahkan ada yang berkata,

اَلْعِلْمُ صَيْدٌ وَالْكِتَابَةُ قَيْدُهُ

قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالْحِبَالِ الْوَاثِقَةِ

Ilmu adalah binatang buruan, menulis adalah pengikatnya, maka ikatlah binatang buruanmu dengan tali-tali yang kuat.

Termasuk kebodohan ketika kamu berhasil memburu rusa, namun kamu lepaskan begitu saja di tengah-tengah manusia.

Hendaknya ia berusaha menjaga sebaik-baiknya buku-buku miliknya agar tidak hilang dan memeliharanya dari bencana yang mungkin datang, ia merupakan simpanannya di masa hidup dan rujukannya saat dibutuhkan.

(Lihat bagian akhir kitab Musthalah Hadits karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah).

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Kutubus Sittah, Musthalah Hadits (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), dll.

Page 3 of 3